Fitur

Mental Digital: Terlalu Kental dan Banal?

Sesat Pikir dan Salah Tindak tentang Relasi Masyarakat dan Teknologi(nya)

Naufal R. Indriansyah
Kolektif Agora

--

Foto oleh Shafiera Syumais (Bandung, 2018)

Belakangan ini, saya tidak lagi mampu bekerja offline.

Fenomena tersebut sebenarnya berawal dari tuntutan untuk dapat bekerja lebih efisien dalam tim. Terasa sekali memang, dengan folder yang bisa diakses oleh anggota tim lain, segala progres akan terdeteksi dan dapat diikuti dengan mudah. Jika ada evaluasi, seorang teman bisa meninggalkan komentar atau bahkan menyunting langsung dalam file yang sudah dibagikan.

“Tidak mampu” di awal tulisan mungkin terkesan agak berlebihan, tetapi peralihan dari Microsoft Office Word(offline) ke Google Docs (online) semenjak enam bulan yang lalu memang membuat saya suka menggerutu jika tidak ada wifi di mana saya hendak bekerja. Saya sadar betul, sekarang, preferensi saya terhadap kedai kopi semakin sempit: selain harus ada colokan, harus ada internet gratis.

Perubahan lain yang saya rasakan adalah semakin maksimalnya utilisasi ponsel saya dalam pekerjaan. Dengan sinkronisasi (PC-mobile phone sync), segala suntingan, jadwal kegiatan, dan surel bisa dengan mudah diakses lewat canggihnya koneksi internet. Dari awalnya hanya untuk chatting-hiburan, ponsel saya saat ini juga berfungsi sebagai tempat chatting-hiburan-mencari nafkah. Ujung-ujungnya, perhatian saya juga jadi lebih sering dialokasikan untuk bolak-balik mengecek notifikasi alih-alih menikmati hal lain.

Di luar dunia saya, pastinya teknologi semakin jauh berkembang. Arusnya melegakan dahaga dan membawa petaka — dari kemudahan berekreasi sampai ancaman privasi. Saya pribadi masih sering takut dengan data yang saya berikan demi segala kemudahan, tapi saya masih berlari dengan pendeteksi denyut jantung dan melakukan jual beli dengan aplikasi serba bisa. Teknologi, pada akhirnya, menjadi arena yang banal untuk dikelahi, karena laku pribadi dan keluhan kita berkontradiksi.

Lantas, bagaimana cara terbaik bagi manusia untuk hidup dengan teknologi ciptaannya? Pantaskah kita menyalahkan niat yang baik untuk menembus batasan duniawi — untuk terus maju ke depan?

Berjaya di Mana-mana

Digital society (masyarakat digital) muncul sebagai konsep kemasyarakatan yang mengkristalisasi fenomena perkembangan teknologi yang terjadi belakangan ini, terutama satu dekade terakhir. Center for Digital Society (CFDS) Universitas Gadjah Mada mengaitkan konsep ini dengan network society (masyarakat jejaring), yakni masyarakat yang struktur sosialnya adalah jaringan dengan teknologi mikro-elektronik berbasis informasi digital dan teknologi komunikasi. Deutsche Bank juga memaknai masyarakat digital sebagai masyarakat yang mengalami perubahan struktural, di mana kita bisa terlibat interaktif dalam ruang-ruang digital. Hal ini kemudian memunculkan bentuk-bentuk baru dalam partisipasi dan pola-pola anyar dalam kreasi nilai, yang juga disertai dengan pergeseran kekuasaan terhadap masyarakat dan kedaulatan konsumen (Dapp, 2011).

Kementerian Komunikasi dan Informatika menyatakan bahwa saat ini, pengguna internet di Indonesia mencapai 63 juta orang, dengan 95% di antaranya menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial, terutama Facebook dan Twitter. Kemudian, salah satu penelitian dari perusahaan media di Inggris menyebutkan bahwa orang Indonesia rata-rata menghabiskan tiga jam 23 menit per harinya untuk mengakses media sosial.

Saat ini, dapat kita perhatikan dalam keseharian kita bagaimana mudahnya mengakses hal-hal yang kita inginkan lewat media sosial. Kita bisa tahu apa yang dilakukan seorang teman, mendapatkan berita terkini tentang Pemilu, atau menonton video kucing lucu. Tak hanya menjadi pasif, kita juga bisa menciptakan konten-konten yang kita minati, dan tidak jarang hal ini bisa menambah uang jajan atau bahkan menjadi sumber penghidupan.

Pesatnya perkembangan teknologi kemudian mendorong manusia untuk terus maju ke depan. Inovasi menjadi kian mudah saat individu atau kelompok lain juga menyajikan pengetahuan yang bisa kita gunakan untuk menyelesaikan permasalahan, entah untuk membuat perusahaan semakin untung atau mengentaskan perkara publik. Banyak start-up dan komunitas saling bahu membahu untuk bangkit, menutupi kekurangan satu sama lain melalui berbagai mekanisme kerjasama.

Tidak hanya di ranah privat, pemerintah juga memanfaatkan berbagai teknologi yang sudah ada untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja pelayanan publik. Kita mengenal istilah open government, di mana partisipasi masyarakat diakomodasi sedemikian rupa dan inklusivitas pembangunan menjadi “agenda wajib” yang harus diusung pemerintah. Aplikasi pintar, website dinas, dan layanan digital terus dirintis, tidak hanya sebagai tindakan taktis mengayomi masyarakat, tetapi juga menunjukkan taring sebagai kota yang “maju”.

Kita juga sekarang semakin mampu memahami berbagai hal di dunia ini lewat internet. Pastinya di antara kita pernah berpikir, “Untuk apa sekolah? Wong, segala pengetahuan ada di dunia maya.” Wikipedia, pdf gratis, dan video tutorial telah menggantikan ruang kelas dan guru. Selain ilmunya, nilai-nilai budaya juga bertransmisi melalui internet, menjadikan cipta karya dan perilaku anak negeri ini terpapar berbagai budaya luar.

Tidak hanya manfaat yang besar, ke-digital-an dalam masyarakat juga tak lepas dari dampak buruknya. Arus informasi yang begitu masif dan deras menuntut kita semakin peka dan berhati-hati dengan kabar palsu dan pernyataan keliru. Cyber-bullying juga semakin merajalela, yang tidak jarang berujung pada kematian seseorang. Transaksi “gelap” dan tindak kriminal juga merambat lewat internet, begitu sulit untuk dikontrol dan diawasi.

Beberapa contoh tersebut menunjukkan betapa kita telah berubah begitu jauh dari awal peradaban manusia yang kita kenal. Besok, lusa, dan seterusnya akan selalu ada temuan baru, yang laju tumbuhnya juga semakin cepat dan tidak bisa diperkirakan. Hari ini kita punya mobil otomatis, mungkin besok akan ada pacar android.

Sejauh ini, kita selalu antusias dengan hal-hal baru. Asal semakin membuat kita nyaman dalam mengarungi hidup, seringkali kita tidak berpikir dua kali kemudian rela merogoh kocek dalam-dalam (apalagi kalau gratis). Hal-hal disruptif terus menerus kita terima begitu saja. Masa bodoh juga dengan rencana hidup, menabung untuk menikah atau istirahat di hari tua.

Baik manfaat yang kita dapat dan dampak buruk yang kita terima, sulit rasanya untuk tidak menuduh teknologi itu sendiri. Saat kita kecewa karena produktivitas kita menurun, kita menghapus Twitter atau Instagram dari ponsel kita, atau melakukan deaktivasi akun. Saat kita lelah dengan segala pemberitaan media maya, kita memilih untuk tidak peduli dan berlari mencari tempat sepi. Kita menyalahkan apa yang sudah kita gunakan, tanpa ada refleksi tentang bagaimana diri kita sendiri dari awal menanggapi perkembangan yang ada.

Memantik dari Mesin Ketik

Perkembangan teknologi mengajarkan kita bahwa alat-alat yang kita ciptakan, dari mulai kapak, pakaian, sampai kereta kuda, adalah tanggapan kita terhadap segala kesulitan hidup dan tuntutan untuk menjalaninya dengan mudah. Kita dan kebutuhan kita berinteraksi, saling berdialog dan menanggapi satu sama lain. Saat ada hal yang kurang atau cacat, kita lalu mengambil waktu dan sumber daya untuk memperbaiki dan mengembangkan alat-alat yang telah kita ciptakan.

Mesin ketik adalah salah satu terobosan mutakhir pada masanya. Mesin ketik yang kita lihat di pasar loak atau di rumah kakek kita sejatinya telah mengalami banyak iterasi desain dan manufaktur sehingga bisa berbentuk seperti itu. Dulunya, mesin ketik pertama diciptakan oleh Fransesco Rampazetto dengan nama “scrittura tattile” (penulisan taktil) pada tahun 1575. Seratus lima puluh tahun setelahnya, yakni pada 1714, Henry Mill dari Inggris mendapat hak paten untuk mengembangkan “Machine for Transcribing Letters” (mesin untuk menulis huruf). Isi patennya seperti ini:

[He] hath by his great study and paines & expence invented and brought to perfection an artificial machine or method for impressing or transcribing of letters, one after another, as in writing, whereby all writing whatsoever may be engrossed in paper or parchment so neat and exact as not to be distinguished from print; that the said machine or method may be of great use in settlements and public records, the impression being deeper and more lasting than any other writing, and not to be erased or counterfeited without manifest discovery.

Setelahnya, bermunculan berbagai paten dan bentuk mesin baru di Eropa dan Amerika, mulai dari tahun 1829 sampai 1870, namun banyak yang gagal untuk dikomersialisasi. Pada tahun 1865, Rasmus Malling-Hansen dari Denmark mengembangkan “Hansen Writing Ball”, yang akhirnya menjadi mesin ketik pertama yang dijual bebas. Kesuksesan tersebut dibuktikan dengan banyaknya kantor-kantor di London yang menggunakan mesin ini sampai sekitar awal 1900-an.

Model “Hansen Writing Ball” dari tahun 1870. Sumber: wikipedia.org

Tapi, yang benar-benar tenar dan digadang menjadi cikal bakal mesin ketik modern adalah karya Christopher Latham Sholes, Frank Haven Hall, Carlos Glidden dan Samuel W. Soule pada tahun 1878. Paten mesin ini kemudian dijual ke Remington and Sons, yang mana pada saat itu merupakan perusahaan pembuat mesin jahit. Mesin inilah yang pertama kali menggunakan konfigurasi QWERTY.

Sekarang, kita mengenal konfigurasi mesin ketik tersebut dari laptop atau ponsel kita. Desain ini kita gunakan untuk menyelesaikan tugas akhir, menyusun laporan tahunan, membuat artikel di blog, dan juga mengobrol dengan mantan. Jarang di antara kita yang mungkin mempertanyakan dari mana QWERTY berasal, atau mungkin berandai-andai apa saja yang telah dilewati oleh evolusi tatanan keyboard kita.

Salah satu fenomena sosial yang paling penting dalam perkembangan mesin ketik adalah transformasi struktur tenaga kerja, terutama di Amerika Serikat selama Perang Dunia Pertama dan Kedua. Perempuan semakin banyak yang masuk dalam angkatan kerja sebagai seorang typist (pengetik). Perusahaan Remington pada awalnya membuat mesin ketik modern dengan asumsi bahwa mesin tersebut digunakan untuk menuliskan dikte, bukan untuk mengomposisi tulisan, dan yang melakukan itu seharusnya memang perempuan.

Dalam perkembangannya, mesin ketik lalu diinterpretasikan sebagai teknologi yang pantas untuk perempuan kelas menengah, sebagai cara untuk menarik perempuan ke dalam dunia kerja sebagai pegawai. Perusahaan Remington juga ikut andil dalam mendorong hal ini, dengan menambahkan ornamen bunga pada mesin yang mereka produksi.

Lebih jauh lagi, keberadaan perempuan dalam dunia kerja yang tadinya didominasi laki-laki pelan-pelan memunculkan gambaran bahwa perempuan bisa diperlakukan semena-mena. Komik strip “Tijuana Bible” yang tenar pada masa itu sering menjajakan humor “porno” tentang bos laki-laki dan perempuan pengetik. Dari sinilah konon penggambaran “sekretaris nakal” muncul di buku-buku dan film-film populer.

Mental yang Terlampau Kental dan Banal

Hari ini, mungkin mesin ketik hanya sekadar benda antik yang menjadi penghias kafe. Kita memandangnya sebagai peninggalan yang tidak membekaskan apapun kecuali estetika. Padahal, kelihaian kita mengayunkan jari di atas keyboard laptop merupakan bagian dari perubahan yang panjang. Saat ini pun, kita masih membuahkan berbagai hal dari mengetik: berbincang, bertugas, atau mengolok-olok orang lain. Ke depannya, kata dan tulisan di layar mungkin tidak lagi perlu diketik, apalagi dengan semakin canggihnya penggunaan voice command.

Namun, dari mesin ketik, kita belajar bahwa era digital dan masyarakatnya merupakan sebuah kontinum, memiliki garis besar yang terus memanjang dalam kerangka waktu, namun juga bercabang-cabang ke berbagai kemungkinan. Tidak hanya perubahan istilah dengan berbagai simtom yang menandakan kemajuan — entah ada apa lagi setelah digital society, information era, revolusi industri 4.0 — tetapi juga memiliki makna yang luas, entah dalam hal institusi, interaksi, atau kedaulatan dalam masyarakat.

Kadang, yang cukup membuat kita tersesat adalah memaknai teknologi sebagai sesuatu yang terpisah dari masyarakat. Lebih ekstrim lagi, mungkin, kita menganggap bahwa teknologi adalah “segala-galanya”, bahwa ia memiliki kekuatan kausal independen yang menjadi kekuatan utama dalam pembentukan sejarah manusia. Segala diskusinya diarahkan pada bagaimana teknologi akan menciptakan tatanan yang buruk atau baik.

Pemikiran determinisme teknologi seperti itu dikritik karena pada akhirnya mengindahkan fakta bahwa teknologi lahir dari berbagai kelompok sosial dan kultural (Reed, 2014). Hal ini kemudian meninggalkan impresi bahwa perubahan sosial itu ditentukan oleh teknologi. Pertama, penemuan-penemuan besar pun berakar dari tatanan sosial yang memungkinkan hal tersebut terjadi. Segunung tinggi uang telah digelontorkan untuk mengembangkan berbagai teknologi, sehingga kita bisa sampai di era masyarakat digital ini.

Kedua, label-label terhadap peristiwa masa lalu yang erat kaitannya dengan asal usul teknologi tertentu merupakan sebuah “sikap” yang menandakan bahwa kita terlepas secara moral dari apa yang kita lakukan. Dan ketiga, revolusi — yang sering bermakna tiba-tiba; tidak terkira — sebenarnya tidak sesederhana itu, tetapi juga mencerminkan kontinuitas. Tatanan sosial, ekonomi, dan politik dalam sebuah waktu memiliki pendahulu, pun juga memiliki visi ke depannya.

Ketiga hal tersebut, menurut Allan Martin (2008), adalah sumber sesat pikir tentang masyarakat digital yang kita bahas sebelumnya. Selama ini, kita hanya mengenal sebuah topeng — istilah-istilah kontemporer semacam digital society dan kawan-kawannya — dari ketimpangan sosial. Dominasi kapitalisme dan pasar bebas dalam masyarakat kita diamplifikasi oleh apa yang Martin sebagai “digital divide”, memisahkan elit-elit dunia dan mereka yang tidak termasuk di dalamnya.

Kota-kota harus bersaing, katanya. Di tengah arus globalisasi, kita berlomba-lomba menerapkan teknologi canggih, dalam hidup kita sendiri atau pendukung pelayanan publik. Tetapi, apakah semua ini didahului refleksi atas seberapa jauh kita sudah melangkah dari awal peradaban? Masihkah kita berpihak atau menyalahkan teknologi itu sendiri? Sejauh apa pula, saat ini, jarak kita dengan “kita” yang lain — mereka yang tersisihkan dari bahasan-bahasan digital atau hanya menjadi objek percobaan?

Daftar Pustaka

  • Dapp, Thomas F. (2011). The digital society: new ways to more transparency, participation, and innovation. Deutsche Bank Research.
  • Reed, T.V. (2014). Digitized lives: culture, power, and social change in the internet era. Routledge, New York.
  • Martin, Allan. (2008). Digital Literacy and the “Digital Society”. Digital literacies: concepts, policies, and practices. Peter Lang Inc.

Terima kasih kepada Alvaryan Maulana, empunya riset Kolektif Agora, yang sudah menyiapkan bahan bacaan di bawah dan membuat saya bisa menulis dengan lancar.

--

--

Naufal R. Indriansyah
Kolektif Agora

Managing Editor at Kolektif Agora | Writing about (Indonesian) cities, urbanization, informality, politics, and everything in between