Liputan

Menyibak Bayang Inklusi Pembangunan

Laporan dari Diskusir #12: Ilusi Inklusi

Nefertari Pramudhita
Kolektif Agora

--

Foto oleh Shafiera Syumais, 2018.

Pembangunan inklusif merupakan sebuah gagasan konseptual yang memiliki tujuan untuk mendorong pembangunan yang tidak hanya menguntungkan segelintir elemen masyarakat saja. Semangat inklusivitas yang mengusung “pembangunan untuk semua” ini tidak hanya berbicara mengenai kesempatan yang sama terhadap “ruang” kota, namun juga dalam dimensi-dimensi lain yang tak kalah penting di wilayah perkotaan, seperti dimensi ekonomi, sosial, dan politik. Namun, nyatanya, tidak seluruh elemen masyarakat mampu ikut ambil peran dalam masyarakat demokratis yang seringkali terjebak dalam ingar-bingar karena berusaha berbicara paling keras.

Dalam Diskusir #12 bertajuk “Ilusi Inklusi” yang diselenggarakan pada 26 November 2018 silam, Kolektif Agora mencoba membongkar narasi inklusi yang selama ini diagungkan dalam pembangunan. Diskusi kali ini dimoderasi oleh Naufal Rofi dengan mengundang mereka yang terlibat langsung dalam upaya mencipta pembangunan yang lebih inklusif, yakni Marthella Rivera atau biasa dipanggil Thella dari Bappenas sebagai Disability Specialist, dan Paulista Bunga Surjadi atau yang biasa dipanggil Ita yang merupakan Communication Specialist dari Kota Kita.

Diskusi diawali dengan penjelasan mengenai sejarah pembangunan inklusif dan bagaimana wacana tersebut dapat menjadi tren yang juga tumbuh di Indonesia. Thella menyampaikan bahwa pembangunan yang selama ini bertitik berat pada peningkatan ekonomi nyatanya tidak serta merta menjadikan semua orang diuntungkan olehnya. Hal ini menjadi sebuah isu mendunia yang direspon melalui Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai kelanjutan dari Millennium Development Goals (MDGs). Perubahan cara pandang terlihat dari MDGs yang lebih mementingkan perkembangan ekonomi yang kemudian bertransformasi menjadi pembangunan berkeadilan pada SDGs. Dengan munculnya SDGs yang menjadi tujuan pembangunan dunia pada tahun 2015 (bersama jargonnya leave no one behind), berubah pula pandangan mengenai pembangunan di Indonesia.

Marthella Rivera, Disability Specialist di Bappenas. Foto oleh Sangkara Nararya, 2018.

Kontestasi di ruang kota yang begitu ketat tidak dapat dimenangkan oleh mereka yang kekurangan akses terhadap sumber daya. Jika terus begini, bagaimana kota bisa menjadi tempat untuk semua? Merespon hal tersebut, Ita menekankan pentingnya partisipasi dalam pembangunan inklusif. Pembangunan inklusif berusaha untuk menihilkan kejanggalan pembangunan, kemudian membuatnya lebih adil bagi semua — memberikan kesempatan bagi kelompok bukan mayoritas untuk tidak hanya menjadi yang terdampak, namun juga menjadi pelaku aktif pembangunan. Pembangunan inklusif bukan hanya berbentuk bantuan melainkan meruntuhkan secara total batasan antara kita dan mereka, sehingga kota bisa menjadi sepenuhnya inklusif. Hal ini dapat terjadi melalui partisipasi dari seluruh warga kotanya, tanpa terkecuali.

Kota yang inklusif tidak dapat terwujud hanya lewat pemerintah dan peraturan serta kebijakannya. Inklusivitas merupakan sebuah tanggung jawab bersama. Thella mengatakan, saat ini, sudah begitu banyak peraturan yang dibuat untuk mengawal pembangunan yang inklusif. Namun, sebaik apapun peraturan yang dibuat oleh pemerintah, efektivitasnya akan sangat bergantung pada pemerintah daerah; seefektif apapun pemerintah daerah, efeknya juga tidak akan terasa apabila masyarakat tidak turut berpartisipasi dalam menjadi solusi bagi masalahnya sendiri. Biar bagaimanapun, ciri kota yang sehat adalah masyarakatnya yang berdaya, bukan?

Namun, mengapa partisipasi menjadi penting adanya? Ita menceritakan pengalamannya dengan sebuah kelompok masyarakat pembuat sangkar burung dari bambu yang dapat dikategorikan sebagai masyarakat tertinggal. Dengan semangat membantu, pemerintah daerah saat itu membuat gapura untuk meningkatkan daya tarik bagi wisatawan. Namun, dengan pendekatan yang lebih jauh, terkuak bahwa kebutuhan mereka sesungguhnya adalah pelatihan untuk meningkatkan daya jual produk mereka. Hal ini menjadi sebuah gambaran bahwa maksud baik tidak selalu menyelesaikan permasalahan. Minimnya pengetahuan kita tentang tantangan yang dihadapi masing-masing pihak menjadikan partisipasi serta dialog menjadi begitu penting untuk menciptakan ruang yang benar inklusif.

Paulista Surjadi dari Kota Kita. Foto oleh Sangkara Nararya, 2018

Diskusi berlanjut dengan sesi tanya jawab di mana peserta dan pemantik membahas lebih dalam mengenai bentuk partisipasi yang diharapkan dalam pembangunan yang lebih inklusif. Terlepas dari dorongannya — yang berupa kesadaran atau bentuk pemberontakan dari keserampangan pembangunan — partisipasi adalah hal yang diharapkan dalam pembangunan yang inklusif. Akan tetapi, kita juga perlu berhati-hati dengan asumsi yang kita gunakan dalam menerka kebutuhan kelompok yang bukan kita dalam bagiannya, karena hal tersebut dapat mempertegas batasan antara kita dan mereka alih-alih membuatnya setara.

Muncul pula pertanyaan mengenai partisipasi dalam disabilitas mental, terutama dalam demokrasi yang membutuhkan kewarasan dalam penyampaian pendapat. Memang proses inklusi pada penyandang disabilitas mental menjadi begitu rumit karena keterbukaan yang masih kurang akibat beratnya stigma yang dibebankan pada mereka. Bahkan, mereka dengan disabilitas mental semata-mata dicap “gila” tanpa memiliki label medis. Namun, hal ini seharusnya tidak menjadi penghambat, mengingat disabilitas mental bersifat episodik, sehingga tidak perlu bagi kita membatasi partisipasi akibat sebuah kondisi medis. Lagipula, secara konseptual dalam hak asasi manusia, semua orang memiliki hak untuk berpendapat tanpa terkecuali.

Peserta Diskusir dan pemantik berfoto bersama dengan bahasa isyarat “inklusif”. Foto oleh Sangkara Nararya, 2018.

Pemantik sepakat bahwa saat ini kepedulian tentang pembangunan yang lebih inklusif sudah ada, namun aksi dan interaksilah yang masih kurang. Tantangan utama dalam mewujudkan wacana inklusif adalah disrupsi konstan akibat media sosial, yang membuat kita lupa akan apa-apa yang dekat. Terlebih, hal tersebut juga membentuk masyarakat yang eksklusif, yang enggan untuk berinteraksi satu sama lain. Dalam upaya membentuk kota yang lebih inklusif, hendaknya kita saling mengenal agar kepedulian dapat tumbuh dan aksi dapat terciptakan. Karena, tidak ada inklusi tanpa kita, warga kota.

Bandung, 27 November 2018

Nefertari Pramudhita
Penulis dan Editor Mobilitas Perkotaan
Kolektif Agora

--

--

Nefertari Pramudhita
Kolektif Agora

Mainly interested in the city and the choices people make in it