Editorial

Meralat Sehat: Sebuah Pengantar

Menyusuri Pelbagai Bangsal Kesehatan Perkotaan

Kolektif Agora
Kolektif Agora

--

Foto oleh Mārtiņš Zemlickis di Unsplash, 2020.

Marhaban ya Ramadan.

Apa kabar semuanya? Bagaimana hidup? Bulan Ramadan ini sepertinya menjadi agak suram dibanding yang biasanya; yang meriah, semarak, dan lekat dengan kebiasaan kumpul-kumpul.

Apa yang bisa dilakukan dalam menghadapi pandemi ini? Selain merawat kesehatan diri dan keluarga, menjaga jarak adalah upaya paling minimal yang bisa dilakukan. Selama vaksin belum ditemukan, maka risiko untuk terjangkit virus ini akan selalu ada. Karenanya, anjuran untuk di rumah saja dan jaga jarak adalah hal yang perlu diupayakan. Perlu diingat bahwa mendisiplinkan hal tersebut pun tidaklah murah dan mudah. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) memiliki efek samping yang sangat berat, terutama terhadap lambatnya pertumbuhan ekonomi.

Tidak semua orang mampu bekerja atau belajar dari rumah. Sebagian dari kita tetap harus keluar untuk kelangsungan hidup. Ada kondisi-kondisi yang harus dipahami dan prasyarat yang harus dipenuhi, terutama bagi mereka yang tidak bisa sekadar di rumah. Harusnya, negara dapat menjamin pemenuhan kebutuhan tersebut, setidaknya begitu kata pasal 34 konstitusi kita. Tapi, tidak begitu kenyataannya di lapangan.

Kenapa, ya, kira-kira?

Selagi mempertanyakan keabsenan tersebut, yang tak kalah dibutuhkan adalah solidaritas dengan saling membantu dan berbagi. Bentuknya bisa bermacam-macam. Ada yang konvensional, baik dalam skala lokal maupun nasional. Ada pula yang memanfaatkan perkembangan teknologi dan sisi baik media sosial untuk saling peduli. Tidak sulit sama sekali untuk bisa turut turun tangan dalam solidaritas ini. Kanalnya banyak dan terbuka lebar.

Selain riset soal sifat alamiah virus dan pengembangan vaksin yang kejar-kejaran dengan waktu, tentu saja dukungan tanpa henti untuk tenaga kesehatan dengan menyediakan logistik medis dan fasilitas kesehatan yang mumpuni harus terus dipastikan, dan hal tersebut adalah pekerjaan rumah yang berat. Dialog dan kerangka kerja yang iteratif untuk mendukung physical distancing demi melandaikan kurva ini sepertinya jauh lebih rumit dibanding perkiraan awal. Lalu, ada pula faktor lain yang konyol: kemunculan teori-teori konspirasi soal pandemi ini. Kondisi lain yang tidak bisa disepelekan adalah bahwa pandemi ini terjadi jelang bulan Ramadan dan hari raya Idul Fitri, di mana pergerakan manusia dan barang antar wilayah sangat intens.

Kerja jurnalisme juga menjadi ujung tombak untuk mendapatkan gambaran yang lebih jernih, utuh, dan menyeluruh mengenai kondisi pandemi. Hal ini juga sudah dilakukan oleh teman-teman media dan pihak-pihak lainnya. Ada pula inisiatif berupa portal untuk terus memperbarui data dan perkembangan kasus secara aktual.

Kolektif Agora sadar bahwa tempat kami bukan di barisan terdepan. Daripada memperkeruh dan membuat kusut jalur informasi, rasanya lebih bijak untuk meneruskannya dibanding membuat pemberitaan alternatif. Karena itu, Agora mencoba mengisi peran-peran yang bisa dilakukan di barisan belakang, seperti mulai mengumpulkan pengetahuan dan mempersiapkan wacana mengenai imajinasi kehidupan setelah pandemi ini berakhir, yang sepertinya tidak akan datang dalam waktu dekat.

Meralat Sehat

Lewat kekacauannya, dunia sedang tersadar bahwa kota-kota dan globalisasi adalah vektor penyakit yang ideal: kepadatannya, mobilitasnya, aktivitasnya, makanan dan kebersihannya, tempat tinggalnya, sampai kebiasaan berkumpulnya. Sederhananya, kita tengah dipertontonkan bagaimana kota begitu gampang sakit. Apakah kita pernah betul-betul membayangkan “kota sehat” secara sadar dan utuh sebelum pandemi ini bersemi?

Kita diajarkan bahwa lawan kata sehat adalah sakit. Asal tidak kena penyakit, bisa jadi kita sehat. Namun, kesehatan secara konseptual mencakup bukan hanya keadaan fisik, melainkan juga mental dan sosial. Imajinasi mengenai kota yang sehat pascapandemi ini mungkin akan mendorong diskusi kita beredar pada penyakit menular serta keadaan sakit dan tidak sakit. Tetapi, menjadi warga kota yang sehat tak sesederhana kebal masuk angin.

Kesehatan perkotaan (urban health) merupakan sebuah studi yang menelaah bagaimana karakteristik urban — mencakup aspek sosial, fisik lingkungan, hingga infrastruktur dan sumber daya kota — memengaruhi kesehatan pada konteks perkotaan. Hal-hal yang dapat berpengaruh negatif terhadap kesehatan dapat disebut sebagai isu kesehatan, yang mencakup penyakit, baik yang menular maupun tidak menular; malanutrisi; cedera tubuh; pilihan gaya hidup; kelainan genetik; hingga akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan. Wabah ini hanya sekelumit dari kerumitan menjadi sehat.

Oleh karena itu, bicara mengenai kesehatan di kota bukan hanya harapan hidup atau angka kematian balita saja. Bagaimana dengan diserempet mobil atau dibegal, atau kelaparan, atau rumah sakit yang terlalu jauh, atau tidak bisa bayar BPJS Kesehatan, atau terlalu banyak lembur, atau terlalu banyak makan hamburger, atau dimusuhi tetangga? Rasanya muskil sebuah kota bisa didaulat “sehat” ketika warganya masih mengalami hal-hal tersebut — jua ketika kotanya masih memungkinkan itu terjadi.

Berbagai isu kesehatan tersebut silang sengkarut dalam jalinan sebab-akibat yang kompleks di kota. Berbagai determinan sosial, ekonomi, lingkungan, dan politik ambil peran dalam membentuk kondisi kesehatan warga. Mulai dari kebijakan pemerintah sampai lokasi apotek, dari literasi kesehatan sampai pendapatan bulanan. Terlepas dari rumitnya pertalian ini, satu isu kesehatan yang sama muncul hampir di berbagai kota di belahan dunia: ketidaksetaraan.

Untuk hidup sehat, kota memiliki keunggulan relatif terhadap tempat hidup lainnya. Pelayanan dasar dan sumber daya untuk hidup sehat tersedia, fasilitas dan pelayanan kesehatan terpusat di kota, infrastruktur pergerakan hingga informasi juga tersuguhkan. Sayangnya, kelimpahan itu secara struktural lebih mudah diakses oleh sebagian kecil masyarakat. Sebaik apa pun teknologi atau fasilitas kesehatan disempurnakan, akan sia-sia ketika ada satu orang saja manusia yang terhalangi dalam menjangkau hak untuk mempertahankan hidupnya.

Berbicara pelayanan kesehatan bukan hanya bicara hasilnya (health outcome) seperti kesembuhan atau efikasi, melainkan juga kesetaraan kesehatan (health equity). Dalam konteks perkotaan, itu berarti memastikan bahwa semua warga kota memiliki kesempatan yang sama atas hidup sehat dan akses terhadap pelayanan kesehatan yang terjangkau selama masa hidupnya.

“When such differences, or inequalities, are not random but systematic, and not due to biologically determined factors but due to modifiable social factors, they are unjust inequities.”

(Global report on urban health. WHO, 2016)

Pada masa-masa ini, mungkin banyak dari kita yang tersadar bahwa privilese kerap tersembunyi dan ketidaksetaraan baru menyeruak ketika virus terlanjur merayap di mana-mana. Mari berharap saja kita dan kota tidak terlambat untuk berpikir ulang mengenai arti menjadi sehat serta ketidaksetaraan yang menghantuinya. Sebab selaiknya manusia, sehat baru dirindukan ketika jatuh sakit.

Sentosa Daring dan Luring

Dalam upaya mengumpulkan pengetahuan soal kesehatan perkotaan ini, kami akan mencoba membahas beberapa isu. Misalnya, tentang digital divide yang ternyata butuh perhatian terkait dengan penyebaran informasi soal kesehatan. Kelatahan untuk melakukan digitalisasi informasi ini seringkali melupakan bahwa internet dan kanal digital aksesnya masih terbatas. Dengan keterbatasan akses tersebut, penyebaran informasi kesehatan masih bersifat parsial.

Selanjutnya, terdapat pula amatan terhadap perilaku dan solidaritas masyarakat dalam menghadapi pandemi, diikuti dengan refleksi mengenai kebutuhan dan keberadaan ruang kecil dalam menghadapi kondisi seperti sekarang ini. Bahasan lain yang kami kira relevan adalah soal sektor usaha informal yang masih kurang mendapat perhatian dan perlindungan, baik dalam kondisi umum dan juga dalam menghadapi pandemi ini.

Lalu, ada sedikit utak-atik pemodelan mengenai kepadatan penduduk dan hubungannya dengan pandemi saat ini. Transportasi umum dan refleksi mobilitas yang lebih ideal juga kami bahas seiring dengan diberlakukannya PSBB sebagai ikhtiar dalam menekan penyebaran virus COVID-19. Lalu, tentu saja yang paling penting adalah ulasan mengenai ketersediaan infrastruktur kesehatan dan layanan kesehatan, serta aksesnya yang problematik dan tercium agak sedikit politis.

Catatan paling penting kami adalah semakin kuatnya bukti bahwa percakapan ilmiah dan hasil riset masih tidak punya tempat dalam domain eksekusi. Memang selama pandemi ini ada pengetahuan yang secara organik diadaptasi di tingkat individu seperti pengetahuan soal cuci tangan, menggunakan masker, dan menutup mulut saat bersin atau batuk. Namun, pengetahuan yang sudah beredar di publik, seperti suara para epidemiolog, masukan peneliti masyarakat soal proteksi sosial, dan saran ekonom soal prioritas kebijakan penganggaran yang seperti tidak direspon menunjukkan adanya bottleneck untuk menghasilkan kebijakan yang evidence-based/knowledge-based. Padahal, untuk keluar dari situasi ini, kita membutuhkan pengetahuan yang tidak sedikit. Sekarang, kita malah lebih banyak menyaksikan berita-berita soal kebijakan yang terdengar seperti guyon.

Pembahasan tentang kesehatan perkotaan ini tujuannya adalah agar kita tidak kecolongan lagi. Rasanya, tidak ada momentum yang lebih tepat selain pagebluk ini untuk terus mengumpulkan pengetahuan dan tentu saja memperbaiki pemahaman dan sikap kolektif kita, yang kiranya akan bermanfaat di kemudian hari, dalam rangka sembuh dari pandemi — mencegah supaya tidak terjadi hal yang sama lagi.

Ditulis oleh: Alvaryan Maulana dan Nayaka Angger

Disunting oleh: NR Indriansyah

--

--