ESAI / HALUAN
Merana karena Tapera, Koperasi Solusinya?
Tulisan ini tidak akan mengungkit perihal bobroknya kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang sempat “diserang” berbagai lapisan masyarakat. Wajar saja, sebab bagi banyak orang, Tapera menambah beban berat yang sudah ditanggung karena berbagai potongan gaji yang signifikan.
Dalam tulisan ini, saya hendak mengajak kita memahami masalah-masalah yang kemudian melahirkan ide ngawur ini, serta opsi atau solusi lainnya yang bisa jadi lebih masuk akal.
Mengingat Kembali Perkara Tapera
Beberapa waktu lalu kita sempat dihebohkan oleh peraturan Tapera yang diundangkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024. Peraturan Pemerintah ini kurang lebih mewajibkan iuran kepada pekerja sebesar 3% (2,5% ditanggung pekerja, 0,5% ditanggung pemberi kerja) dari jumlah gajinya untuk digunakan untuk membangun rumah buat kita semua rakyat Indonesia. Hore!
Selain kepastian jumlah potongan angka ini, sisa isi program ini samar, baik dari segi pelaksanaan, pengelolaan dana yang terkumpul nantinya, dan penerima manfaatnya. Hadirnya program ini tentu bikin kita semua ngamuk. Ini justru menguatkan keyakinan bahwa pemerintah memang tidak peka dan malah dengan sengaja memantik trauma kita yang sudah terlalu sering dikecewakan dengan program-program pemerintah.
Melansir berita terbaru yang bisa penulis akses, program Tapera ini dihadirkan untuk merespon backlog (ketimpangan akan kebutuhan rumah dengan jumlah rumah yang bisa diakses). Banyak orang butuh rumah, tapi tidak mampu membeli karena harga yang mahal.
Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho, mengatakan, “Pertumbuhan demand (permintaan) tiap tahun 700.000 sampai 800.000 keluarga baru yang tidak punya rumah. Jadi kalau mengandalkan pemerintah saja tak akan terkejar backlog-nya.”
Jika jumlah disampaikan adalah demand tahunan, secara nasional, akumulasi backlog hingga tahun 2023 sendiri sudah berjumlah 12,7 juta unit rumah. Dalam kasus Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) misalnya, backlog telah mencapai 252.000 unit. Sementara, untuk di Kota Yogyakarta mencapai 100.000 unit. Fenomena backlog memang telah menyebabkan kelangkaan hunian dan naiknya harga.
Secara pribadi, saya merasakan keanehan di sini. Sementara data backlog cukup besar, sebenarnya rumah-rumah dan tanah yang dijual pun juga masih banyak sekali. Meski saya belum menemukan datanya, tapi dari observasi sehari-hari, kita bisa melihat bahwa masih banyak rumah dijual di bursa. Pun ketika saya jalan-jalan sore di Yogyakarta, banyak sekali tanah dan rumah yang dijual.
Fenomena ini bisa dijelaskan dengan istilah“market-bubble”, yakni kondisi harga hunian yang terlalu tinggi sehingga tidak bisa terbeli oleh kemampuan finansial mayoritas penduduk yang membutuhkan perumahan. Hal ini disebabkan banyak faktor, tapi argumen terkuat yang saya bisa simpulkan ialah karena hunian sendiri telah berubah dari yang sebenarnya adalah hak asasi manusia — hak dasar yang seharusnya dapat diakses semua orang — menjadi komoditas dan ajang investasi.
Jika mau ditelisik lebih jauh lagi, kita akan menemukan hal-hal lain yang menyebabkan masalah akses hunian ini menjadi sangat kompleks, berlapis banyak, dan struktural. Sebut saja maraknya alih lahan (terutama di kota besar dan kota berkembang), gentrifikasi, penggusuran, dan lain-lain. Ini adalah masalah-masalah yang jelas tidak akan mudah diselesaikan oleh pemotongan gaji belaka.
Apalagi, kalau gajinya UMR Jogjakarta yang kadang bisa nunggak tiga bulan itu.
Apa Alternatif Solusi Lain?
Mengingat saya yang sedang berusaha belajar ilmu hukum, saat merefleksikan isu ini, saya tertarik untuk melihatnya lewat satu pandangan hukum yang belakangan sedang saya baca, yaitu teori hukum progresif dari Profesor Satjipto Rahardjo.
Gagasan mendasar dari pandangan hukum progresif ini adalah kritiknya terhadap masalah pelaksanaan hukum Indonesia yang acap diselesaikan dengan solusi positivis, alias bikin peraturan perundang-undangan dan regulasi baru. Akhirnya solusi top-down tersebut digunakan sebagai perpanjangan alat penguasa untuk mengukuhkan kuasanya atas negara.
Dalam konteks Tapera, pemerintah seakan hadir sebagai “juru selamat” yang seakan paling tahu permasalahan rakyatnya dan memberikan solusi secara sepihak. Agar solusinya menjadi konkret dan terbukti pelaksanannya, dibuatlah hukum dalam bentuk Peraturan Pemerintah, yang menurut saya, hanya ,enghasilkan ilusi fiksi ketertiban dan masa depan yang lebih cerah untuk Indonesia Emas 2045.
Padahal, alih-alih sekadar meregulasi, seharusnya hukum dimaknai sebagai alat untuk mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat. Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan cara-cara yang bermoral (baca: consent dan good listening skill) serta dihadirkannya ruang-ruang untuk rakyat dapat berpartisipasi.
Partisipasi ini dapat dimaknai secara luas, dari mengidentifikasi masalah, memberikan opsi solusi, hingga melaksanakan opsi-opsi solusi tersebut. Karena kita adalah rakyat yang menghadapi masalah-masalah tersebut, bukankah kita yang paling tahu tentang apa yang terjadi dan apa yang paling cocok untuk membantu kita mengatasinya?
Mungkin, sekarang, pertanyaan yang bisa kita refleksikan bersama adalah, apakah ada konsep praktikal tentang bagaimana kita dapat mewujudkan kesejahteraan tanpa melulu membebankan masyarakat?
Salah satu pilihan solusi adalah cooperative housing atau bisa disebut juga coop-housing. Ini adalah konsep yang mana hunian dimiliki secara bersama-sama di bawah sistem koperasi. Jadi, pemilik hunian adalah koperasi, dan penghuninya merupakan anggota dari koperasi tersebut.
Setiap anggota koperasi memiliki hak untuk tinggal dalam unit tertentu dalam sebuah kelompok hunian dan memiliki hak suara dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi pengelolaan dan aspek operasional hunian.
Coop-housing ini sebenarnya adalah turunan dari konsep “kepemilikan bersama” yang mungkin lebih populer yaitu, co-housing. Bedanya, coop-housing ini kepemilikannya diwakilkan dan dikelola oleh lembaga yang dimiliki secara bersama (koperasi). Sementara, co-housing masih dimiliki individu-individu, sehinga peralihan-peralihan hak yang terjadi antar individu ini masih mungkin.
Koperasi sendiri dipilih karena dapat meminimalisir komodifikasi lahan, sesuatu yang tadi kita bahas merupakan salah satu alasan kuat tanah-tanah jadi mahal dan melahirkan TAPERA busuk. Dengan membekukan aset dari market, akan dapat memastikan akses aset lahan dan hunian tersebut untuk kebutuhan anggota-anggotanya.
Melihat Praktik Coop-Housing di Indonesia
Praktik coop-housing sudah sering dijadikan cara advokasi oleh Jaringan Rakyat Miskin Kota. Dalam konteks lahan perkotaan yang diintai ancaman penggusuran dan pengalihan lahan oleh pihak swasta, strategi yang dilakukan adalah untuk membeli tanah bersertifikat individu dengan harga tinggi. Padahal, meski legal, pengalihan lahan hunian untuk penggusuran atau kepentingan swasta sebenarnya merupakan bentuk alienasi warga terhadap pusat kehidupan dan mata pencarian. Kepemilikan lahan secara individu juga membuat mereka lebih mudah ditekan untuk menjual tanahnya.
Dalam praktik coop-housing, kepemilikan atas lahan dimiliki bersama-sama atas nama koperasi dan warga diberi kepemilikan berupa HGB (Hak Guna Bangunan) yang bersifat sementara dan dapat dialihkan secara terbatas. HGB dapat dibeli kembali oleh sesama anggota koperasi atau koperasi sendiri.
HGB juga dapat dijual ke bukan anggota koperasi. Tapi, harus melalui prosedur penjualan melalui koperasi dan disetujui oleh 75% anggota. Hal ini untuk memastikan bahwa pembeli HGB tersebut bukan investor ataupun orang yang sebenarnya sudah banyak memiliki hunian atau akses tanah.[8]
Beberapa praktik lainnya yang sudah berjalan dapat kita lihat juga di Koperasi Kampung Susun Akuarium Jakarta Utara dan Project R11. Di Yogyakarta, advokasi sama juga tengah dijalankan oleh Arsitek Komunitas dan Koperasi Paguyuban Kalijawi.
Yang menjadi menarik adalah upaya coop-housing ini diupayakan sendiri oleh warga.
Di Kampung Susun Akuarium, warga melakukan identifikasi masalahnya sendiri dan turut terlibat dalam bentuk bangunan (berupa kampung susun) serta teknis operasional untuk mengatur berlangsungnya kampung susun (berupa koperasi). Dalam hal pembiayaan, warga tidak memohon untuk pemerintah mengubah hidup mereka, tapi memanfaatkan dana SP3L (Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lahan).[9]
Dari sini kita dapat melihat bahwa sebagai warga, kita tidak melulu butuh diselamatkan oleh pemerintah serta peraturan perundang-undangan baru (yang seakan berpihak pada kita). Masyarakat punya kekuatan dan kemampuan untuk menilai permasalahan serta solusi yang paling sesuai. Peran-peran pemerintah dan negara yang dibutuhkan justru menyediakan ruang-ruang untuk melakukan kegiatan swadaya-swakelola.
Penutup
Semua tahu bahwa isu hunian adalah permasalahan yang sangat kompleks dan Tapera agaknya solusi yang tak masuk akal. Kita harus terus mengritik dan mengupayakan advokasi agar pemerintah negara tercinta ini mau memperbaiki aturannya dan memberikan alternatif solusi yang lebih baik. Namun, kita sebagai warga perlu juga mengingat bahwa kita sebenernya bisa dan punya kuasa untuk memikirkan solusi yang terbaik untuk kita.
Selain positifistik hukum, kritik lainnya dalam pandangan hukum progresif adalah budaya masyarakat kita yang terlalu fokus pada masalah, marah-marah, sambat dan membredeli kesalahan-kesalahan negara, tapi lupa bahwa ada banyak opsi solusi yang bisa diupayakan dari kita untuk kita demi menyelamatkan diri kita sendiri.
Marahlah, ngamuk, tapi jangan lupa self-love.
Bacaan Lanjutan
[1] BBC, 2024, “Mengapa TAPERA disebut “tidak masuk akal’ menyediakan hunian rakyat yang terjangkau?”, https://www.bbc.com/indonesia/articles/cyxxjdwk5z8o , diakses 25 Juli 2024
[2] Panangian Simungkalit, 2023, “Mengatasi 12,7 Juta Backlog Perumahan”, https://www.kompas.id/baca/opini/2023/08/24/mengatasi-127-juta-backlog-perumahan , diakses 11 April 2024
[3] ibid
[4] Widiyanto, Danar. 2018. “Moratorium Perlu Dicabut, Apartemen Solusi Memangkas ‘Backlog.’”, https://www.krjogja.com/yogyakarta/1242584764/moratorium-perlu-dicabut-apartemen-solusi-memangkas-backlog, diakses 7 April 2024
[5] The Investopedia team, 2024 “What is Housing Bubble”, https://www.investopedia.com/terms/h/housing_bubble.asp, diakses pada 8 April 2024
[6] Anggalih Bayu, Muh Kamim, Ichlasul Amal, M. Rusmul Khandiq, “Problematika Perumahan Perkotaan di Kota Yogyakarta”, Jurnal Sosiologi USK : Media Pemikiran & Aplikasi, Vol. 13, №1, (Agustus, 2019), 34, https://doi.org/10.24815/jsu.v13i1.13494
[7] Ahmad Thovan Sugandi, “Belajar dari Rakyat Miskin Jakarta : Membangun Koperasi Mewujudkan Perumahan Kolektif”, https://projectmultatuli.org/belajar-dari-rakyat-miskin-jakarta-membangun-koperasi-mewujudkan-perumahan-kolektif/, diakses tanggal 8 April 2024
[8] Jika kamu tertarik, kamu bisa cek beberapa kasus yang di advokasi oleh JRMK di beberapa wilayah kampung kota : Kampung Akuarium, Kampung Susun Kunir, Kampung Tongkol, Kampung Marlina, dan beberapa kampung lainnya di Jakarta Utara. Untuk diluar negeri ada juga bentuk coop-housing yang diinisiasi sebagai program pemerintah, namun pelaksanaannya masih dalam bentuk koperasi dan dikelola oleh penghuninya, kamu bisa cek London CLT (Inggris), Sprefeeld Cohousing (Jerman). Ada juga U-court (Jepang) yang seperti dibahas dalam tulisan ini, diinisiasi sendiri oleh warga.
[9] Dana ini hadir dari kewajiban pengembang untuk membiayai dan membangun rumah susun murah serta fasilitas nya seluas 20% dari areal manfaat secara komersia Keputusan Gubernur №540 Tahun 1990