IDE / HALUAN

Meredam Ingar Bingar Perkotaan

Upaya Mengurangi Polusi Suara dan Mendengar Bunyi yang Terbungkam

Alvaryan Maulana
Kolektif Agora

--

Foto oleh Eugenia Clara di Unsplash, 2019.

Apakah tempat punya suara? Maksudnya, apakah tempat tertentu, identik dengan suara yang spesifik?

Di rumah orang tua saya, misalnya, salah satu yang cukup membekas di ingatan adalah kokok ayam peliharaan tetangga. Di malam minggu, ada deru motor, karena konon tak jauh dari rumah orang tua saya, terdapat balapan motor liar di jalan raya. Bergeser sedikit ke Minggu subuh, akan terdengar suara anak-anak mengaji setengah mengantuk, karena rumah orang tua saya dikelilingi tiga masjid dan masing-masingnya punya kegiatan didikan subuh setiap Minggu pagi.

Saat menulis artikel ini, saya mencoba mengingat suara spesifik apa yang punya asosiasi dengan rumah tempat saya tumbuh itu. Sayangnya, tidak banyak yang bisa saya ingat. Tambahan lainnya adalah penjual salalauak yang berkeliling naik mobil bak, dan penjual sate yang bersorak dengan khas saat menjajakan dagangannya.

Saya lebih mudah mengingat suara-suara yang saya dengar saat tinggal di Depok. Di belakang rumah yang saya tinggali waktu itu, terdapat semak-semak yang belakangan dialihfungsikan menjadi kebun dan kolam ikan. Kebun itulah yang menjadi sumber orkestra siang dan malam. Kalau siang, akan ada bunyi soang dan ayam, ditambah mesin pompa air yang sepertinya sudah mau rusak. Kalau malam, giliran jangkrik, cecak, dan berbagai suara binatang lain yang tidak saya ketahui yang mendominasi.

Suara-suara tersebut tidak mengganggu buat saya pribadi, dan lambat laun menjadi white noise yang menemani aktivitas saya. Ada penelitian yang bilang bahwa white noise bisa mendorong produktivitas. Hal ini menjelaskan kenapa ada orang-orang, termasuk saya, yang butuh suara televisi atau suara musik untuk bekerja. Suasana hening justru membuat sebagian orang terganggu atau bahkan waswas.

Hal ini berhubungan dengan kemampuan telinga manusia untuk beradaptasi dengan mengabaikan gelombang suara yang diterima, termasuk saat beraktivitas sehari-hari, terutama di wilayah perkotaan. Telinga manusia lambat laun mulai menerima dan legowo terhadap intensitas bunyi yang bersumber dari kendaraan, mesin-mesin pendingin, serta benda dan aktivitas lainnya. Mau bising atau tidak, telinga manusia beradaptasi untuk tak mengacuhkan suara-suara tersebut.

Namun, mendengarkan suara di atas ambang tertentu sebetulnya berdampak buruk terhadap kesehatan manusia. Terpapar suara di atas 85 desibel (dB) secara terus-menerus menyebabkan kerusakan fungsi pendengaran secara permanen. Selain efeknya terhadap organ pendengaran, suara bising di atas ambang tertentu juga dapat mengganggu kapasitas kognitif manusia untuk berkonsentrasi dan fokus pada sebuah aktivitas. Selain itu, terpapar dengan suara dengan desibel yang tinggi secara terus menerus juga dapat memicu stres, yang kemudian mengganggu keseimbangan hormon, meningkatkan tekanan darah dan detak jantung.

Polusi suara masih kalah populer ketimbang polusi udara dan polusi cahaya. Pembahasan mengenai polusi udara sudah berhasil menembus arus utama, dibuktikan dengan banyaknya pengguna media sosial yang mengunggah kualitas udara di tempat tinggal mereka. Polusi cahaya juga lebih mudah untuk disadari, terutama polusi cahaya yang dihasilkan oleh billboard karena membahayakan pengguna jalan.

Dari sisi kebijakan pun, polusi udara dan polusi cahaya sudah mendapatkan perhatian. Intensitas cahaya setidaknya mulai diperhatikan atas inisiatif kawan-kawan pengamat antariksa. Jenis bohlam yang digunakan pun mulai diregulasi demi menjaga intensitas cahaya. Polusi udara bahkan sudah menjadi concern umum, karena kebijakan untuk menanggulanginya tidak terpisahkan dari pembangunan berkelanjutan dan pro lingkungan.

Sebaliknya, belum banyak terdengar anjuran-anjuran, atau bahkan regulasi, yang mengurangi kebisingan. Ingar bingar bahkan dipersepsikan asosiatif dengan kemajuan pembangunan. Semakin berisik sebuah wilayah malah dianggap semakin maju dan sejahtera. Padahal, efek kebisingan yang tidak lagi terkontrol itu bisa membawa berbagai persoalan medis dan psikologis bagi manusia. Terlebih bagi kelompok masyarakat yang tidak punya banyak pilihan atas ruang hidup atau ruang aktivitasnya, kerentanan terhadap kebisingan di atas ambang batas membuat posisi mereka menjadi lebih rentan.

Upaya Mengurangi Kebisingan Kota

Langkah pertama untuk menanggulangi polusi suara adalah dengan menyadari bahwa kebisingan melewati batas tertentu adalah sebuah permasalahan. Membangun upaya dan juga kerangka regulasi untuk mengurangi intensitas suara dimulai harus dimulai dengan sosialisasi bahaya dan ancaman polusi udara. Peran serta masyarakat dan juga berbagai pihak lainnya menjadi faktor utama, karena pada dasarnya, kebisingan tersebut berasal dari aktivitas manusia. Tanpa adanya kesadaran kolektif soal kebisingan, maka akan sulit untuk mengimplementasikan kebijakan yang menekan kebisingan yang dihasilkan ragam aktivitas, terutama di perkotaan.

Salah satu upaya yang pernah dilakukan oleh otoritas untuk mengendalikan suara aktivitas manusia dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 1972, dengan menerbitkan aturan mengenai ambang batas intensitas suara yang diizinkan di area tertentu. Dalam petunjuk tersebut, diatur bahwa ambang batas yang diizinkan adalah sebesar 75 dB.

Sejauh ini, sumber kebisingan yang dipetakan di berbagai kota mengindikasikan bahwa suara kendaraan menjadi salah satu sumber kebisingan di perkotaan. Selain suara mesin dan knalpot pembuangan, gesekan roda kendaraan dengan permukaan jalan menjadi sumber suara yang jika diagregasikan akan menghasilkan kebisingan yang mengganggu. Oleh karena itu, regulasi mengenai knalpot kendaraan menjadi salah satu bagian krusial dalam mengendalikan polusi suara di perkotaan.

Dengan kata lain, perkembangan teknologi juga perlu diatur agar dapat mengurangi kebisingan dari mesin-mesin dan teknologi yang digunakan dalam menunjang aktivitas manusia. Selain itu, bunyi mesin seperti mesin pendingin, mesin pompa air, dan juga alat-alat lain yang mengeluarkan bunyi idealnya dikendalikan. Adanya regulasi semakin meningkatkan urgensi agar alat-alat yang digunakan oleh aktivitas manusia menerapkan teknologi noise reduction.

Sumber suara lain yang perlu diperhatikan adalah sumber bunyi artifisial seperti pengeras suara, serta rambu-rambu seperti perlintasan kereta api dan pelican crossing. Intensitas suara pada kegiatan hiburan juga menjadi objek-objek yang perlu diregulasi. Begitu pula dengan intensitas suara pentas dan pertunjukan, hingga musik latar di kafe maupun di pusat-pusat perbelanjaan.

Upaya yang lebih makro dapat dilakukan melalui perencanaan dan zonasi. Pengaturan zonasi perumahan berjauhan dengan zona komersial, perkantoran, dan juga industri menjadi agenda sederhana yang dapat didorong. Pada zona-zona mixed-use pun ada batasan-batasan aktivitas yang perlu diacu berdasarkan ambang batas intensitas suara tersebut.

Menggunakan pepohonan sebagai barrier gelombang suara juga merupakan pendekatan lainnya yang dapat diterapkan untuk mengurangi kebisingan suatu aktivitas dan eksternalitasnya terhadap lingkungan di sekitarnya. Tentu, peran para perancang lanskap menjadi salah satu faktor yang tak kalah penting dalam agenda ini.

Namun, satu hal yang paling penting adalah merumuskan petunjuk ambang batas intensitas suara yang memiliki kekuatan hukum, sehingga mau tidak mau harus menjadi acuan dalam penyelenggaraan pembangunan. Ambang batas tersebut bisa diinkorporasi ke dalam rencana tata ruang, peraturan zonasi, syarat mengurus Izin Mendirikan Bangunan (IMB), hingga persyaratan izin usaha dan penyelenggaraan kegiatan. Begitu dasar hukum itu telah tersedia, maka ketentuan teknisnya dapat dirumuskan lebih detail.

Ketentuan teknis tersebut dapat berupa mekanisme pelaporan, pihak-pihak yang berhak menindak, dan juga sanksi yang dapat diberikan kepada pelanggar. Tentu, gagasan teknokratis ini perlu ditindaklanjuti dengan exercise politik untuk memengaruhi kebijakan yang diambil, entah secara nasional, maupun di lingkup pemerintahan daerah.

Di Indonesia, pengaturan mengenai ambang batas tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun 1996 tentang Baku Mutu Kebisingan. Peraturan ini perlu ditinjau lebih lanjut dan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi saat ini, termasuk merumuskan kerangka implementasi dan pengendalian yang kompatibel dengan peraturan perundangan yang berlaku saat ini.

Baku Tingkat Kebisingan (Lampiran Kepmen LH №48 tahun 1996).

Contoh ambang batas intensitas suara tersebut dapat mengacu pada tautan berikut atau pada petunjuk lebih detail seperti pada tabel berikut, yang merupakan peraturan lokal di Cove Lane, sebuah distrik suburban di Australia. Pada beberapa kota di Jerman juga ditemukan larangan untuk menggunakan mesin penghisap debu atau mesin bor di hari Minggu, karena dianggap sebagai waktu untuk beristirahat dan bebas dari kebisingan.

Aturan aktivitas yang menimbulkan kebisingan tertentu di Cove Lane, Australia. Sumber: inthecove.com, 2018.

Di Indonesia sendiri sebenarnya sudah ada beberapa kearifan lokal yang menyadari bahwa intensitas suara tertentu di waktu-waktu tertentu boleh di atur. Di gang-gang permukiman padat misalnya, sering didapati aturan untuk mematikan mesin motor di atas jam tertentu di saat warga lokal beristirahat. Namun, kearifan lokal tersebut masih bersifat swadaya dan sangat situasional dan tidak punya landasan hukum yang pasti.

Suara Lain di Kota

Bisa dibilang, upaya mengurangi dan meregulasi intensitas suara di perkotaan tidak hanya dalam rangka meningkatkan kualitas hidup manusia di dalamnya, tapi juga upaya untuk menggali identitas masing-masing wilayah perkotaan melalui aspek bebunyian.

Seperti suara khas di sekitar rumah orang tua saya tadi, di balik ingar bingar kota, ada suara-suara khas dari tiap-tiap sudutnya. Di balik deru kendaraan yang juga menyemburkan gas beracun, terdapat suara-suara kehidupan lainnya yang terkesan “kurang penting” dibandingkan mesin-mesin yang melambangkan kemajuan. Masing-masing lokasi punya aktivitas keruangan yang unik dengan bebunyian yang unik pula.

Suara kentungan tukang bakso atau mie ayam, dering bel sepeda penjual roti, atau suara pelanggan tukang sayur keliling adalah beberapa contoh suara khas tersebut. Pada lokasi tertentu, di Jakarta, masih sayup-sayup terdengar bunyi ondel-ondel yang kadang diiringi suara anak kecil menangis, karena ketakutan melihat sosok yang bisa jadi menakutkan.

Bebunyian itu semakin tidak akrab di telinga, karena nyaris tertutup suara-suara yang memekakkan dan membuat kota terdengar monoton dan homogen. Wilayah perkotaan mudah sekali terjebak dalam anggapan negatif, yaitu berisik sekaligus membungkam suara-suara lain yang lebih lembut dan sederhana.

Mengurangi polusi suara bukan hanya tentang mengurangi risiko kesehatan yang mengancam tubuh manusia. Meregulasi kebisingan juga memberikan kesempatan untuk memunculkan suara kota yang sebenarnya, lebih organik, dan bisa melekat dengan memori manusia yang beraktivitas di dalamnya.

Bersamaan dengan ini, Kolektif Agora mengundang kawan-kawan semua untuk merekam bebunyian unik di lingkungan teman-teman. Siapa tahu, di balik ingar bingar suara kota yang berisik masih terdapat suara-suara yang merdu dan syahdu, yang merupakan bunyi asli dari kota yang layak huni, bukan sekadar kota yang serba tergesa-gesa.

BacaanMorillas, J.M.B., Gozalo, G.R., González, D.M. et al . 2018. Noise Pollution and Urban Planning. Curr Pollution Rep 4, 208–219. https://doi.org/10.1007/s40726-018-0095-7Belluz, J. 2018. Why restaurants became so loud — and how to fight back. Vox. https://www.vox.com/2018/4/18/17168504/restaurants-noise-levels-loud-decibelsMinistry of Environment and Forests of India. 2017. The Noise Pollution (Regulation and Control) Rules, 2000. http://dstegoa.gov.in/Noise%20rules-10-08-2017.pdfBhatia, R. 2014. Noise Pollution: Managing the Challenge of Urban Sounds. earthjournalism.net. https://earthjournalism.net/resources/noise-pollution-managing-the-challenge-of-urban-sounds#:~:text=Urban%20noise%20affects%20more%20than,Noise%20disturbs%20sleep 

--

--