Esai / (Pra)Sarana

Merumahkan yang Tak Berpapan

Bisakah kita memenuhi hak atas tempat tinggal di tengah pandemi?

Atika Almira
Kolektif Agora

--

Ilustrasi mereka yang tinggal di jalanan selama kuncitara: Seorang perempuan di jalur pejalan kaki di Leeds, Inggris. (Foto oleh Dan Burton di Unsplash)

Barangkali tak semua dari kita sadar bahwa imbauan untuk #DiRumahAja yang belakangan baru saja naik kelas menjadi peraturan adalah sebuah kemewahan. Di antara para penghuni kota, masih ada yang tak bisa mengjangkau kenyamanan tidur di bawah atap, sehingga harus melontar tanya, “Diam di rumah? Rumah yang mana?”

Salah satunya Reza, pekerja yang “ikut orang” berdagang di Kota Tua. Pengunjung yang berkurang dan aturan pemerintah membuat tokonya ikut tutup sehingga semua pekerja diliburkan. Tak mampu membayar kos yang ditinggalinya karena kehabisan uang, ia mau tidak mau harus tidur di jalan; sudah sebulan lamanya sampai waktu ia diwawancarai Kompas TV [1]. Reza bukan satu-satunya, kisah serupa juga bisa kita dengar: soal mereka yang kebanyakan pendatang di kota besar, kehilangan tempat tinggal dan tak mampu membeli makan, tapi tak juga mendapat bantuan [2].

Memahami Skala Permasalahan Tunawisma

Melihat skala permasalahannya di level kota, kita bisa ambil DKI Jakarta sebagai simulasi. Data Dinas Sosial DKI Jakarta mengenai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) menyebutkan jumlah “gelandangan dan pengemis”, orang yang hidup di jalan, sejumlah 402 di tahun 2018 [3]. Data tersebut hanya merupakan jumlah tunawisma yang terdata oleh Dinsos. Terlebih, di tengah pandemi ini, sebetulnya jumlah itu bisa jauh meningkat. Seperti kisah yang kita dengar di awal, banyak dari penduduk kota tidak mampu membayar biaya sewa rumah yang ditinggalinya sehingga mereka terpaksa hengkang.

Diperkirakan 43.420 rumah tangga rentan terusir dari rumah sewa. (Penulis, 2020) Data jumlah penduduk, persentase rumah sewa, persentase penduduk miskin diperoleh dari BPS DKI Jakarta, 2019 [4], [5].

Data BPS DKI Jakarta tidak menyebutkan secara spesifik berapa dari jumlah penduduk miskin yang tinggal di rumah sewa. Namun, dengan mengambil persentase penduduk yang tinggal di rumah sewa sebagai proxy , kita bisa mendapatkan sejumlah 43.420 rumah tangga yang berada di piramida terbawah di antara mereka yang tinggal di rumah sewa. Apabila pemilik rumah (landlords) menolak untuk memberikan keringanan di masa pandemi, dengan perkiraan jumlah anggota keluarga sebanyak 3 orang sesuai dengan rata-rata BPS, sejumlah lebih dari 130.000 warga kota bisa kehilangan tempat tinggal.

Rumah yang Layak Huni adalah Hak Setiap Orang

Mungkin memang butuh pandemi agar kita bisa mengambil langkah yang tepat dalam mengatasi krisis perumahan. Risiko kesehatan yang muncul akibat COVID-19 perlu kita perhatikan mengingat virus yang bisa menular lewat droplets. Mereka yang terlantar di jalanan juga seringkali memiliki riwayat penyakit kronis [6], yang bisa memperparah kondisi apabila terjangkit Coronavirus. Penyakit yang lebih parah tentunya membutuhkan tindakan medis yang lebih serius, dan juga berdampak ke biaya. Tinggal di jalan juga berarti hidup tanpa ada perlindungan, sulitnya akses ke sanitasi, maupun terbatasnya akses ke pelayanan kesehatan [7].

Dilihat dari risiko penyakit COVID-19 ini, sebetulnya penting untuk merumahkan semua orang di tempat yang terisolasi. Artinya, setiap orang harus bisa tinggal di balik pintu; bukan di jalan, bukan di tenda, dan bahkan idealnya bukan di tempat penampungan (shelter) sementara [8]. Kita pun perlu menyadari, bahwa rumah adalah hak asasi manusia yang seharusnya dipenuhi, dengan atau tanpa adanya pandemi ini. Sejak kecil, bahkan kita telah diajarkan bahwa kebutuhan dasar manusia adalah pangan, sandang, dan papan, bukan?

Menakar Pemenuhan Hak atas Rumah

Pertanyaannya, apakah sebelum pandemi ini merebak, hak tersebut sudah terpenuhi? Kita tentunya boleh bermimpi tentang suatu kondisi ideal yang lebih baik: tentang kota milik semua di mana hunian yang layak tak jadi soal. Kaum miskin kota, pendatang yang berkontribusi pada ekonomi kota, anak muda — yang mengaku milenial atau bukan, lulusan ivy league ataupun tak mengenyam pendidikan tinggi; siapapun bisa tinggal di rumah layak huni yang dekat dengan akses ekonomi, tanpa mengorbankan aspek lainnya seperti sosial dan lingkungan.

Pada kenyataannya, peningkatan jumlah tunawisma bisa kita lihat sebagai fenomena gunung es. Ada masalah yang lebih mendasar yang bisa kita kupas: hak atas kota yang belum sepenuhnya terpenuhi, termarjinalkannya masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) baik secara sosio-ekonomi maupun secara spasial, dan dukungan pemerintah yang kurang tepat sasaran dalam menyokong perumahan yang terjangkau.

Hak atas Kota yang Belum Terpenuhi

Hak atas kota ada baiknya tidak kita sempitkan pada hak yang terkait dengan “ruang” secara spasial semata [9]. Hak-hak ini dapat kita pandang secara luas, baik dari level individu — hak pilih, akses ke kesehatan dan pendidikan; level rumah tangga — seperti rumah, air, listrik, dan pengelolaan sampah; level kota — seperti transportasi publik dan fasilitas sosial; hingga ke skala lingkungan yang bersifat makro — seperti selamat dari krisis ekonomi, pandemi, maupun krisis iklim [10].

Hari ini kita menyaksikan hak-hak tersebut masih bersifat utopis. Urbanisasi terakselerasi sedemikian cepat dan menjadi fenomena yang tak dapat dihindari. Akibatnya, pendatang baru terus bermunculan di kota-kota besar dan mereka membutuhkan juga akses yang sama terhadap pemenuhan hak. Nyatanya, jangankan akses ke kesehatan ataupun rumah yang layak, terdata pun tidak; sehingga ketika masa krisis seperti pandemi ini hadir, bantuan pun sulit untuk mereka akses. Masalah hak atas kota ini juga dapat kita lihat pada permukiman kumuh. Di saat kebersihan dan akses ke air adalah hal yang penting dalam menghadapi COVID-19, tidak semua warga kampung kumuh memiliki privilese untuk bisa cuci tangan. Paradigma “informal” dan “ilegal” membuat infrastruktur dasar tidak menjangkau lokasi-lokasi seperti ini. Padahal, fenomena kampung kumuh adalah bukti dari kegagalan pasar dalam menyediakan hunian yang terjangkau, layak huni, dan memiliki lokasi yang dekat dengan aktivitas ekonomi; sehingga, sebagian orang memaksakan diri tinggal di lokasi yang berbahaya dengan kondisi tidak layak.

Yang Miskin, Yang Terpinggir

Fenomena lain yang kita lihat adalah terpinggirkannya kaum miskin kota baik secara spasial maupun sosio-ekonomi. Banyak penggusuran terjadi dengan memindahkan masyarakat dari permukiman kumuh di pusat kota — yang sebetulnya dekat dengan sumber penghidupan mereka, ke hunian di pinggir kota. Hal ini bukan hanya membuat ruang kota semakin ekslusif secara spasial tetapi juga membebani MBR secara ekonomi dengan pilihan antara peningkatan biaya transportasi atau transisi pekerjaan ke kawasan peri-urban yang tak juga mudah didapatkan. Bahkan, fenomena ini tak hanya dialami oleh mereka yang ada di piramida terbawah. Kelas menengah juga mengalami hal yang sama dengan rumah-rumah formal yang lokasinya bergeser ke wilayah suburban. Pilihan tinggal dengan jarak yang jauh dari pekerjaan diambil secara sadar sebagai satu-satunya pilihan yang terjangkau.

Reorientasi kebijakan untuk memastikan ketersediaan hunian yang layak dan terjangkau di tengah kota menjadi amat penting, salah satunya dengan merancang kebijakan yang mendukung sektor rumah sewa, dan memperbanyak penyediaan melalui pemanfaatan aset yang terlantar di lokasi strategis. Akses ke rumah sewa yang layak huni dapat dikembangkan melalui pemberian insentif kepada penyedia jasa, sekaligus memberikan dukungan kepada penyewa: berupa housing voucher (subsidi untuk mendukung daya beli) dan juga stimulus untuk membentuk serikat penyewa. Tanah dan bangunan terlantar milik pemerintah di tengah kota juga sudah selayaknya dioptimalkan untuk menyediakan hunian yang apik [11].

Subsidi dan Dukungan yang Tidak Difokuskan Pada yang Membutuhkan

Untuk mendukung akses ke perumahan yang terjangkau, Pemerintah memang telah menyediakan subsidi. Namun, seperti yang terjadi pada umumnya, subsidi seringkali malah diterima oleh kelas menengah, dibanding kelas bawah [12]. Desain program yang kurang tepat, seperti batasan penghasilan individu yang terlalu tinggi misalnya, membuat program lebih mudah diakses oleh kelas menengah, contohnya pada program KPR Subsidi Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) — yang untungnya baru-baru ini mengalami penyesuaian. Program lain berupa bantuan untuk perbaikan rumah, Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS), yang harusnya lebih aksesibel untuk kelas bawah, justru berjumlah lebih sedikit dibandingkan subsidi KPR; artinya subsidi kita bersifat regresif. Ditambah lagi kenyataan bahwa seringkali mereka yang sangat butuh bantuan ini bersifat “invisible” dan dianggap sebagai penyakit di kota, sehingga hidup menggelandang menjadi satu-satunya pilihan.

Respon di Tengah Pandemi

Pandemi ini bisa kita jadikan momen untuk mulai memperbaiki hal-hal di atas: mengembalikan hak warga atas kota, menciptakan inklusi untuk semua kalangan, dan memberikan dukungan pada yang paling membutuhkan, salah satunya tunawisma. Terkhusus permasalahan tunawisma, ada beberapa langkah yang bisa diambil oleh pemerintah, dengan dukungan dari berbagai pihak.

Respon 1: Moratorium Penggusuran dan Pembebasan Biaya Sewa Rumah

Respon ini penting untuk memastikan tidak ada hak-hak yang direnggut; pemerintah bisa menerapkan kebijakan untuk melarang penggusuran. Beberapa negara telah menerapkan kebijakan ini seperti Australia [13] — membekukan penggusuran selama 6 bulan, Inggris [14] — 3 bulan, Jerman [15]—hingga 30 Juni 2020 , dan Amerika Serikat [16].

Di saat yang bersamaan, kebijakan bebas dari biaya sewa dalam keadaan khusus juga bisa diberlakukan. Di San Antonio [17], sebuah kota di Texas, Amerika serikat, penyewa rumah yang kehilangan pekerjaan selama pandemi akan mendapatkan keringanan. Asosiasi Apartemen di San Antonio, sebagai asosiasi landlords, bekerja sama dengan pemerintah kotanya untuk membebaskan 100% biaya sewa di bulan April. Sebanyak 75% biaya sewa akan ditanggung oleh pemerintahnya sementara 25%-nya akan direlakan oleh landlords. Dana tersebut diambil dari anggaran mitigasi darurat yang dimiliki kota tersebut.

Untuk pemerintah daerah di Indonesia, kebijakan ini paling mudah dimulai dari rusunawa. Di Jakarta sendiri terdapat setidaknya 27.124 unit rusunawa, yang penghuninya umumnya juga datang dari desil terbawah. Idealnya, kebijakan seperti ini termasuk untuk rumah sewa privat; meski demikian, perlu diakui bahwa ini bukan hal yang mudah untuk diterapkan mengingat lanskap rumah sewa Indonesia yang tergolong informal. Informal sendiri bukan berarti rumahnya bersifat ilegal, hanya saja tidak terdokumentasi aktivitasnya sebagai rumah sewa.

Di sisi lain, kecil kemungkinan penyewa bisa mendapatkan penghuni baru di tengah kondisi krisis seperti ini. Mungkin, kebijakan ini bisa berjalan ketika pemerintah menawarkan insentif jika pemilik rumah sewa mau menaati kebijakan ini dan mau bekerja sama. Agar bisa dijalankan, kebijakan ini juga harus didukung kebijakan lainnya seperti stimulus pemasukan yang diberikan kepada rumah tangga — termasuk untuk landlords skala kecil dengan skema pembayaran bulanan yang akan kehilangan pemasukan sama sekali. Kebijakan yang mungkin juga diperlukan adalah kelonggaran dalam merestrukturisasi pinjaman untuk membantu landlords yang masih memiliki cicilan terkait rumahnya — ini menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.

Respon 2: Memberikan Kupon Sewa Rumah (Housing Vouchers), dengan Sebelumnya Mendata atau Bekerja Sama dengan Pemilik Rumah Sewa ataupun Penginapan

Kebijakan pembebasan biaya sewa, dapat juga didukung melalui mekanisme housing vouchers, di mana pemerintah membayarkan selisih antara biaya yang mampu dijangkau penyewa dengan harga yang ditetapkan oleh landlords. Kebijakan ini, yang mengintervensi sisi permintaan pasar di sektor rumah sewa, belum umum diberlakukan di Indonesia. Saat ini, dukungan pemerintah umumnya diberikan dalam bentuk subsidi KPR dan bantuan perbaikan/pembangunan rumah swadaya yang fokusnya ada pada rumah milik.

Ilustrasi kebijakan housing voucher di saat pandemi (kondisi ekstrim) dan di kondisi normal.

Menggunakan prinsip yang sama dengan apa yang diterapkan pemerintah San Antonio, pemerintah kita bisa saja membayarkan 75% biaya sewa, atau jumlah lain yang disepakati, khusus untuk tenaga kerja yang terdampak. Sisa biaya sewa direlakan oleh landlords. Penyewa bisa mendaftarkan datanya untuk bisa mendapatkan bantuan tersebut, dengan diverifikasi oleh landlords.

Kebijakan ini tidak hanya membantu penyewa. Ada banyak properti yang tidak berfungsi seperti biasanya, contohnya hotel dan rumah kos yang kehilangan penyewanya karena berkurangnya aktivitas pekerjaan di kota. Banyak penghuni kos yang kembali ke rumah asalnya karena memiliki privilese untuk bekerja dari rumah. Artinya, ada banyak ruang di pasar yang bisa diisi.

Pemerintah dapat bekerja sama dengan penyedia usaha penginapan/perhotelan skala kecil seperti hotel kelas melati, dengan dibantu pemetaan yang sudah melalui platform daring. Hal ini bisa secara signifikan membantu menolong industri akomodasi yang sedang jatuh. Biaya yang dibayarkan pemerintah setidaknya bisa menutupi biaya operasional.

Di Australia, state government New South Wales [18] menerapkan kebijakan ini, dengan menginapkan tunawisma; tidak tanggung-tanggung, bahkan di hotel bintang tiga hingga bintang lima. Kendati hanya 30 hari, pemerintah NSW akan mencari solusi perumahan yang lebih permanen. Kebijakan yang serupa juga diambil di Amerika Serikat, khususnya di NYC [19], dan California [20]. Di California, state dan local government menyewa 15.000 kamar hotel, utamanya untuk tunawisma yang positif COVID-19 atau menunjukkan gejala. Pembiayaannya sendiri datang dari Federal Emergency Management Agency sebanyak 75% biaya kamar dan sisanya harus dibiayai oleh masing-masing county.

Secara jangka panjang, sistem voucher ini bisa dilanjutkan dengan mengevaluasi kemampuan membayar penyewa, seraya menetapkan klaster yang mungkin dihuni sebagai rumah sewa — lebih affordable. Sebab, mengandalkan rusunawa sepenuhnya sebagai public housing sejauh ini belum bisa memenuhi kebutuhan.

Respon 3: Menyediakan Tempat Tinggal Sementara (Shelter) dengan Memanfaatkan Bangunan Publik yang Tidak Digunakan Selama Masa Karantina

Bangunan-bangunan yang tidak berfungsi sebagaimana biasanya, dapat ditransformasi menjadi hunian sementara bagi tunawisma. Hunian ini juga bisa dimanfaatkan oleh ODP, OTG, dan PDP ringan yang tidak mungkin melakukan isolasi di rumahnya sendiri yang tidak layak huni akibat overcrowding. Apabila bangunan yang tersedia memiliki ruangan yang besar, ada baiknya disediakan sekat-sekat atau pod yang bisa dihuni masing-masing keluarga. Satu keluarga, apabila berjumlah anggota banyak bisa menempati beberapa pod.

Ilustrasi penerapan shelter sementara di Pusat Komuniti Sentul Perdana, Kuala Lumpur, Malaysia. Foto oleh Hari Anggara [21].

Jarak sirkulasi dan penempatan pod-nya harus memperhatikan jarak ideal yang aman. Sirkulasi harus dirancang agar penghuni tidak terlalu banyak berlalu lalang dan malah melakukan kontak fisik dengan penghuni lain. Denah di bawah menggambarkan contoh pengaturan ruang dari rumah sakit sementara di Wuhan yang bisa dirujuk untuk menata hunian sementara.

Ilustrasi denah rumah sakit sementara di Wuhan yang bisa jadi rujukan penempatan pod hunian. Sumber: South China Morning Post [22].

Harus bisa dipastikan bahwa setiap rumah sementara ini memiliki fasilitas yang layak: akses ke makanan, ketersediaan air bersih, sanitasi, akses ke listrik, juga manajemen pengelolaan sampah yang baik.

Solusi ini bisa dimulai dengan mendata aset Pemerintah yang bisa dimanfaatkan. RUJAK Center for Urban Studies telah memetakan aset-aset milik Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Dinas Pemuda dan Olahraga yang bisa digunakan untuk keperluan ini [23]. Ada 90 aset yang telah dipetakan seperti yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Jumlah aset Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang potensial untuk menjadi lokasi shelter sementara. Sumber data: RUJAK Center for Urban Studies [23].
Lokasi aset potensial untuk shelter sementara. Gambar oleh RUJAK Center for Urban Studies [23]

Fasilitas peribadatan juga bisa menjadi sarana yang dapat dimanfaatkan mengingat imbauan untuk beribadah di rumah masing-masing. BPS DKI Jakarta mencatat pada tahun 2019 terdapat lebih dari 11.000 rumah ibadah di Jakarta [24]. Untuk bisa memanfaatkan hal ini, pemerintah dapat memulai untuk berkoordinasi dengan ormas keagamaan agar tempat ibadah yang mereka kelola dapat digunakan pula untuk kepentingan shelter sementara.

Diagram disadur dari katadata.com [24].

Kemudian, perlu dilakukan pendataan titik-titik kulminasi tunawisma dan tingkat kepadatannya sehingga strategi mobilisasi bisa direncanakan dengan baik. Dengan mengetahui data riil calon penghuni shelter sementara, pemerintah dapat segera menyiapkan fasilitas yang memenuhi kebutuhan dasar dan minim risiko penularan. Sebelum masuk ke tempat tinggal ini, calon penghuni harus melalui pemeriksaan kesehatan sehingga mereka yang bergejala dapat dipisahkan dan ditindak lebih lanjut. Setelah semua siap, barulah shelter sementara ini dapat dihuni.

Pembiayaan

Idealnya, Pemerintah perlu melakukan konsolidasi agar anggaran dari Kementerian Sosial/Dinas Sosial, maupun Kementerian PUPR dan dinas dengan tupoksi terkait dapat direalokasi untuk kebutuhan ini. Namun, ketika pemerintah tidak dapat diharapkan sepenuhnya, gerakan akar rumput yang berbasis solidaritas dapat kita inisiasi.

Di Amerika, meski di sisi lain menunjukkan adanya disparitas yang begitu besar, selama tahun 2016–2018 telah ada 280.000 kampanye di platform GoFundMe yang berkaitan dengan homelessness. Penggalangan dana ini telah mengumpulkan donasi dari lebih dari 1 juta sumber sebesar 69 juta USD, atau setara dengan lebih dari 1 triliun rupiah [25]. Penggalangan dana di GoFundMe ini seringkali bersifat individual dari mereka yang membutuhkan sehingga “kompetisi” juga terjadi. Hal ini bisa diperbaiki dengan pemberi donasi yang berserikat untuk memberikan housing voucher atau menyediakan temporary shelter sehingga bisa untuk membantu mereka yang lebih membutuhkan.

Partisipasi masyarakat juga dapat dihadirkan dalam aspek penyediaan lahan. Pola ini dapat kita lihat contohnya pada sleeping pod yang disediakan bagi tunawisma di Portland, Amerika Serikat [26]. Inisiatif ini dimulai dari Portland State University yang mengundang arsitek untuk merancang rumah mungil berukuran maksimal 9 meter persegi dengan biaya yang dikumpulkan dari donasi. Menyambut gerakan ini, pemerintah Portland juga akan terlibat untuk membangun lebih banyak sleeping pod berukuran 18.5 meter persegi. Masing-masing akan dibiayai oleh kombinasi anggaran pemerintah dan donasi dari publik. Sleeping pod ini akan ditempatkan di pekarangan masyarakat yang bersedia menyumbangkan lahannya [27].

Sleeping pod untuk tunawisma di Portland, Amerika Serikat. Foto oleh Peter Eckert Photography [26].

Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, kita juga memiliki potensi zakat dan wakaf yang besar. Wakaf — donasi dalam bentuk aset untuk dimanfaatkan bagi kepentingan publik, dengan kekuatan aset lahan, dan zakat dengan kekuatan likuiditas — potensinya lebih dari Rp. 12 triliun di tahun 2020 [28], dan dapat digabungkan untuk menghadirkan perumahan yang terjangkau bagi MBR. Badan wakaf dan badan zakat dapat bekerja sama membentuk joint-venture, bersama dengan pengembang yang memiliki visi yang sama. Pendekatan ini bahkan dapat menjadi salah satu solusi jangka panjang untuk penyediaan perumahan. [29]

Bukan Hanya Masalah DKI Jakarta

Saat tulisan ini dipublikasikan, Pemprov DKI Jakarta dikabarkan sudah berkomitmen untuk menjalankan respon 3 — menyediakan shelter sementara — dengan dibantu oleh influencer di media sosial, berdasarkan informasi dari cuitannya; kabar baik yang harus terus kita kawal. Namun, meski simulasi-simulasi di atas memang membahas permasalahan tunawisma dalam konteks DKI Jakarta, kota-kota besar lainnya juga mengalami permasalahan yang sama. Kita bisa melihat pada grafik di bawah ini bahwa mereka yang hidup di jalan di Jabodetabek juga cukup banyak. Menurut data Kementerian Sosial, bahkan terdapat 77.500 gelandangan dan pengemis di kota-kota besar di Indonesia di tahun 2019 [30].

Kebijakan-kebijakan terkait perumahan ini perlu dipikirkan, disuarakan, dan diimplementasikan melalui kerja sama berbagai pihak. Perlu kerja sama antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kota/kabupaten, DPR, dan DPRD. Bagi saya pribadi, sungguh menggugah bagaimana Alexandria Ocasio-Cortez, anggota parlemen muda di Amerika Serikat, juga menyuarakan pentingnya isu keamanan bermukim ini saat rapat kongres [31]. Keseriusan semacam inilah yang kita harapkan dari segenap pemangku kepentingan.

Tak cukup hanya solusi sementara

Perumahan dan permukiman di perkotaan sudah lama menjadi tantangan. Implementasi respon hunian untuk tunawisma di tengah pandemi sesungguhnya adalah jalan untuk lebih serius memikirkan sektor perumahan yang lebih inklusif dan berbasis hak. Secara jangka menengah, tentunya perlu dipikirkan transisi dari solusi yang bersifat sementara ke opsi hunian yang lebih permanen.

Krisis selalu menghadirkan pilihan: mengulang kesalahan yang sama dengan membiarkan status quo, atau menghadirkan realitas baru yang lebih baik karena perbaikan yang diusahakan. Bagi saya, krisis karena pandemi ini sudah seharusnya kita jadikan momentum untuk membentuk kesadaran baru dalam merealisasikan housing justice — hunian yang berkeadilan untuk semua.

Atika Almira
Peneliti Perumahan dan Permukiman Perkotaan
Master of Urban Management and Development,
IHS, Erasmus University Rotterdam

Disunting oleh: Alvaryan Maulana

Referensi:[1] Kompas TV. 2020. Tak Mampu Bayar Kos, Warga Tidur di Emperan. Available at: https://www.youtube.com/watch?v=ygypJlVkWRg[2] Talkshow tvOne. 2020. Kisah Pilu Dodo, Pengemudi Ojol Diusir dari Kontrakan & Terpaksa Tidur di Pinggir Ruko. Available at: https://www.youtube.com/watch?v=mlqGq3Hbjsk[3] Dinas Sosial DKI Jakarta. 2018. Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) 2018. Available at: https://data.jakarta.go.id/dataset/d7156f1b-3d1b-4485-acd5-4bc9b5c12f45/resource/dfdb6a7c-7d0a-4b3b-8338-c2066f3fccc8/download/DATA-22-PMKS-DKI-Jakarta.csv[4] Dinas Kominfo dan Statistika DKI Jakarta. 2019. Indeks Potensi Kerawanan Sosial Provinsi DKI Jakarta 2019. Available at: http://statistik.jakarta.go.id/media/2020/01/IPKS-2019-30122019.pdf[5] Dinas Kominfo dan Statistika DKI Jakarta. 2019. Buku Data Statistik Sektoral DKI Jakarta Tahun 2019. Available at: http://statistik.jakarta.go.id/media/2019/05/2019-Buku-Data-Statistik-Sektoral.pdf[6] Kim, Katherine. 2020. It took a pandemic for cities to finally address homelessness. Vox. Apr 21, 2020 Available at: https://www.vox.com/2020/4/21/21227629/coronavirus-homeless-covid-19-las-vegas-san-francisco[7] CDC. 2020. People Experiencing Homelessness and COVID-19. Available at: https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/community/homeless-shelters/unsheltered-homelessness.html[8] Bartholomew, Anita. 2020. Why Housing The Homeless In The Age Of Covid-19 Is Essential. Forbes. Available at: https://www.forbes.com/sites/anitabartholomew/2020/04/03/why-housing-the-homeless-in-the-age-of-covid-19-is-essential/#7ca382673284[9] Marcuse, P., 2014. Reading the right to the city. City, 18(1), pp.4–9.[10] Parnell, S. and Pieterse, E., 2010. The ‘right to the city’: institutional imperatives of a developmental state. International journal of urban and regional research, 34(1), pp.146–162.[11] King, R., Orloff, M., Virsilas, T. and Pande, T., 2017. Confronting the urban housing crisis in the global South : adequate, secure, and affordable housing (World Resources report working paper : towards a more equal city). Washington: World Resources Institute (WRI).[12] Gilbert, A., 2012. Housing subsidies in the developing world. International Encyclopedia of Housing and Home. Elsevier. pp. 638–643.[13] Hutchinson, Emily. 2020. Governments green light six-month moratorium on evictions. realestate.com.au. March 29, 2020. Available at: https://www.realestate.com.au/news/governments-green-light-6-month-moratorium-on-evictions/[14] Ivey, Prudence. 2020. Renters and coronavirus:government to introduce legislation to prevent evictions of private and social tenants affected by Covid-19. Homes & Property. March 18, 2020. Available at: https://www.homesandproperty.co.uk/property-news/renting/renters-eviction-laws-coronavirus-covid19-a137476.html[15] Germany COVID-19: New Legislation to Mitigate COVID-19 — Civil Law & Leases. Bryan Cave Leighton Paisner. March 24, 2020. Available at: https://www.bclplaw.com/en-GB/insights/german-draft-law-to-mitigate-the-consequences-of-the-covid-19-pandemic.html[16] Breuninger, Kevin. 2020. Trump says HUD will suspend foreclosures and evictions until end of April amid coronavirus response. CNBC. March 18, 2020. Available at: https://www.cnbc.com/2020/03/18/coronavirus-trump-says-hud-will-suspend-foreclosures-evictions-until-end-of-april.html[17] Lefko, Jim. 2020. New rent relief program aimed at people who lost jobs to COVID-19. News 4 San Antonio. April 3, 2020. Available at: https://news4sanantonio.com/news/local/new-rent-relief-program-aimed-at-people-who-lost-jobs-to-covid-19[18] Cohen, Hagar and Mitchell, Scott. 2020. From sleeping rough to four-star hotels: How coronavirus is changing our approach to homelessness. ABC News. April 25, 2020. Available at: https://www.abc.net.au/news/2020-04-25/homeless-put-up-in-four-star-hotel-during-coronavirus/12176942[19] Celona, Larry; Marsh, Julia; and Fitz-Gibbon, Jorge. 2020. Hundreds of homeless with coronavirus or symptoms housed at NYC hotels. NY Post. April 6, 2020. Available at: https://nypost.com/2020/04/06/hundreds-of-homeless-with-coronavirus-or-symptoms-housed-at-nyc-hotels/[20] Levin, Matt. 2020. Here’s how putting California’s homeless in hotels actually works. Cal Matters. April 9, 2020. Available at: https://calmatters.org/housing/2020/04/california-coronavirus-homeless-hotels-motels-newsom/[21] Razak, Radzi. 2020. Cubicles installed at DBKL homeless shelter in social distancing boost. Malay Mail. April 7, 2020. Available at: https://www.malaymail.com/news/malaysia/2020/04/07/cubicles-installed-at-dbkl-homeless-shelter-in-social-distancing-boost-vide/1854237[22] SCMP Graphics. 2020. Coronavirus: the disease Covid-19 explained. South China Morning Post. Updated daily. Available at: https://multimedia.scmp.com/infographics/news/china/article/3047038/wuhan-virus/index.html?src=relatedg [Accessed April 25, 2020][23] Elisa. 2020. Shelter dan Fasilitas Karantina Massal: Yang Mungkin di Jakarta. Rujak Center for Urban Studies. April 13, 2020. Available at: https://rujak.org/shelter-dan-fasilitas-karantina-massal-yang-mungkin-di-jakarta/[24] Jayani, Dwi Hadya. 2020. Berapa Jumlah Fasilitas Peribadatan yang Ada di DKI Jakarta? Katadata.com. January 1, 2020. Available at: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/01/28/berapa-jumlah-fasilitas-peribadatan-di-dki-jakarta[25] McCormick, Eric. 2018. GoFundMe figures reveal thousands rely on site to avoid homelessness. The Guardian. April 13, 2020. Available at: https://www.theguardian.com/technology/2018/apr/13/homeless-crowdfunding-campaigns-gofundme[26] Reed, Conner. 2019. These Tiny Home-Inspired “Sleeping Pods” Provide Shelter for Portland’s Homeless Women. Monthly Portland. August 9, 2020. Available at: https://www.pdxmonthly.com/news-and-city-life/2019/08/these-tiny-home-inspired-sleeping-pods-provide-shelter-for-portland-s-homeless-women[27] Garfield, Leanna. 2017. Portland will start housing the homeless in tiny pods in people’s backyards. Business Insider US. March 22, 2017. Available at: https://www.businessinsider.sg/portland-pod-village-homeless-2017-3?r=US&IR=T[28] Pusat Kajian Strategis BAZNAS. 2019. Outlook Zakat Indonesia 2020. Jakarta: Baznas. Available at: https://www.puskasbaznas.com/publications/books/1113-outlook-zakat-indonesia-2020[29] Khairuddin, Abdul Rashid; Sharina Farihah, Hasan; and Azila, Ahmad Sarkawi. 2019. Proposed model on the provision of affordable housing via collaboration between wakaf-zakat-private developer ‘in’ Khairuddin, Abdul Rashid. Concept And Application Of Shariah For The Construction Industry: Shariah Compliance In Construction Contracts, Project Finance And Risk Management. Singapore: World Scientific Publising Co. Pte. Ltd. p.205–222[30] Meiliana, Diamanty. 2019. Diperkirakan Ada 77.500 Gepeng di Kota-kota Besar di Indonesia. August 22, 2020. Available at: https://nasional.kompas.com/read/2019/08/22/21281421/diperkirakan-ada-77500-gepeng-di-kota-kota-besar-di-indonesia[31] Associated Press. 2020. Ocasio-Cortez: Legislate like rent is due May 1st. Available at: https://www.youtube.com/watch?v=XTsrk_w2Nc4

--

--

Atika Almira
Kolektif Agora

Housing, urbanism, and architecture. Currently exploring UI/UX Design. Interested in Islamic discourse. Occasionally write about personal life.