Ide / Gerak

Mobilitas Mikro: Sebuah Refleksi

Membayangkan Masa Depan Pergerakan di Tengah Distopia Perkotaan

Nefertari Pramudhita
Kolektif Agora
Published in
6 min readMay 26, 2020

--

Foto oleh Kukuh Napaki di Unsplash, 2017.

Meski banyak dari kita yang saat ini “terjebak” di rumah, kita tetap harus memenuhi berbagai kebutuhan kita. Untuk melakukannya, kita harus tetap bergerak. Namun, di tengah kesulitan hari ini, muncul pertanyaan: pergerakan seperti apa yang sebaiknya kita lakukan?

Saya banyak membaca tentang mobilitas mikro (micromobility), sebuah konsep perjalanan singkat dengan kecepatan di bawah 30 km per jam dan betapa dirinya menjanjikan solusi nyata bagi masalah pergerakan perkotaan. Melalui perbincangan dengan teman-teman (melalui video conference, seperti yang banyak orang lakukan di tengah pandemi ini), kami melihat terjadinya perubahan pola pergerakan. Pergerakan “konvensional” dengan motor atau mobil menjadi lebih jarang dan terdapat peningkatan penggunaan kendaraan tidak bermotor.

Ternyata, hal ini tidak hanya terjadi di dekat rumah, tapi juga terjadi di beberapa tempat yang jauh. Di New York, misalnya, terdapat peningkatan secara signifikan pada penggunaan sepeda karena pandemi COVID-19 ini. Selain untuk mengurangi kontak akibat berada di tempat tertutup secara bersamaan (seperti yang kerap terjadi di transportasi publik), bersepeda memiliki keuntungan berkaitan dengan kemampuannya dalam menempuh jarak yang lebih jauh daripada berjalan kaki.

Mungkin, hal ini tidak relevan untuk Indonesia, di mana sebagian besar perjalanan dilakukan menggunakan sepeda motor. Tapi, hal ini tetap menjadi sebuah kejadian yang menarik untuk dibahas. Kejadian ini membuka sebuah kesempatan bahwa selama ini, mobilitas mikro yang dilakukan dengan bersepeda dan berjalan kaki menyimpan banyak potensi yang belum tersentuh.

Terjadinya perubahan ini sebenarnya membawa saya untuk lebih banyak merenung: jika kali ini lebih banyak orang dapat memenuhi kebutuhannya tanpa kendaraan bermotor, apa yang menghambat kita sebelumnya?

Untuk menjawab pertanyaan itu, akhirnya saya membongkar gudang dan mengambil sepeda lama saya untuk berbelanja kebutuhan pokok mingguan ke supermarket. Saya mendapatkan beberapa hal yang menjadi halangan untuk mengaplikasikan perjalanan ini dalam skenario perjalanan yang melibatkan kegiatan seperti biasa.

Tidak Semua Orang (Mampu) Bersepeda

Kemampuan untuk bergerak yang saya maksud bukanlah mampu secara finansial saja, tetapi juga secara fisik. Kebetulan saja, saya memiliki fisik yang cukup sehat untuk mengendarai sepeda ini. Namun, tidak semua orang yang mampu secara fisik juga bisa melakukannya. Apalagi, ketika perjalanan tersebut adalah perjalanan yang cukup jauh.

Jujur, kalau perjalanan saya untuk berbelanja ini lebih dari empat kilometer dari rumah, saya pun akan berpikir ulang untuk melakukan percobaan ini. Karena, saya tidak begitu kuat juga.

Sayangnya lagi, tidak semua orang memiliki kemewahan seperti saya yang memiliki sepeda.

Jika kita mencari sepeda di beberapa pasar daring, harganya mungkin masih relatif mahal terhadap pendapatan. Harga sepeda yang mumpuni untuk melakukan perjalanan komuter berkisar antara jutaan hingga puluhan juta rupiah, sementara UMP Jawa Barat 2020 itu sebesar Rp. 1.810.351.

Di sisi lain, keberanian saya tumbuh karena jumlah kendaraan di jalanan yang berkurang secara drastis. Ketiadaan lajur khusus sepeda tentu merupakan tantangan tersendiri untuk melakukan perjalanan ini. Mari lupakan manfaat bersepeda: tidak ada orang yang ingin mempertaruhkan nyawanya saat kemungkinan kematiannya lebih tinggi daripada jika Anda diturunkan di medan perang, apalagi tanpa perlindungan.

Sebelumnya, saya pernah melakukan perjalanan menggunakan sepeda, dan saya bisa bilang, itu bukan pengalaman yang baik. Bertarung dengan kendaraan bermotor yang jauh lebih besar tentu bukanlah pertarungan yang seimbang. Belum lagi menghindari mereka yang keluar-masuk parkir, lubang di jalanan, para pejalan kaki, bahkan pedagang kaki lima.

Jika dibandingkan dengan kondisi tersebut, perjalanan di masa pandemi ini jauh lebih nyaman, atau setidaknya lebih aman. Namun, hal ini tidak akan terjadi tanpa adanya virus yang memaksa kita untuk mengurangi pergerakan. Setelah semuanya kembali normal, saya dan mungkin banyak orang lainnya mungkin akan kembali ke kendaraan bermotor masing-masing.

Kota yang Tidak Mendukung

Saya cukup beruntung untuk tinggal begitu dekat dengan supermarket. Namun, lagi-lagi, tidak semua orang seperti saya. Mungkin, desain kota kita yang berbasiskan kendaraan bermotor bisa menjadi biang kerok dari hal ini.

Dalam konteks pandemi ini, mungkin perjalanan untuk bekerja bisa jadi dinihilkan. Namun, dampak ini tidak memiliki banyak arti ketika pergerakan dibawa dalam konteks yang lebih domestik. Yang memastikan agar perjalanan yang kita lakukan dapat dilakukan dengan singkat adalah variasi guna lahan (mixed land use) di wilayah tersebut. Hal ini menjadi sangat langka dengan adanya kendaraan yang saat ini sangat mudah untuk diakses.

Kita semua beranggapan bahwa penyebaran melalui transportasi publik yang penuh sesak setiap harinya merupakan salah satu penyebab utama pandemi yang tidak terbendung. Namun, jika ditelisik kembali mengapa kita bertarung di kereta yang padat setiap hari untuk menempuh perjalanan yang begitu jauh, jawabannya adalah karena adanya ketidaksinergisan antara tempat tinggal dan letak pekerjaan kita (job-housing mismatch). Biar bagaimanapun, tujuan kita bergerak paling besar adalah untuk bekerja.

Saat faktor pekerjaan dieliminasi, kondisi pandemi ini memberikan pengalaman tersendiri tentang kebutuhan akan keragaman aktivitas di daerah sekitar kita. Kita jadi punya ketertarikan untuk berada begitu dekat dengan kegiatan-kegiatan utama, seperti supermarket atau pasar.

Lagipula, apa yang bisa kita lakukan apabila secara fisik kita hanya mampu untuk berjalan paling cepat 10 km per jam tanpa kendaraan bermotor? Keinginan ini membuat tempat-tempat yang sudah padat dengan kegiatan jadi lebih menarik (kemudian menjadi lebih padat), apabila kita memiliki kebebasan untuk memilih tempat tinggal.

Maka, menjadi sangat penting untuk merubah pola pergerakan menjadi lebih lokal dengan memberikan insentif pada kegiatan yang lebih padat, dalam upaya mendukung perjalanan tanpa kendaraan bermotor.

“Tapi, bukankah hikmah yang bisa kita ambil dari pandemi ini adalah kota yang padat tidak baik untuk kesehatan?”

Kepadatan bukanlah faktor utama dalam penyebaran virus ini, tapi keabaian dan ketidaksiapan dalam menghadapinya. Apabila kepadatan yang “disalahkan”, maka kejadian persebaran virus ini tidak akan sampai ke perdesaan, bukan?

Sebuah Kesempatan di Tengah Kesempitan

Di balik semua kepanikan yang sedang terjadi, belakangan, kita juga melihat banyak tempat di dunia menerima manfaat secara ekologis akibat hambatan pergerakan yang diakibatkan oleh COVID-19, seperti peningkatan kualitas udara. Hal ini disebabkan utamanya oleh penurunan produksi dan perjalanan jarak jauh menggunakan pesawat.

Dalam skala yang lebih kecil, fenomena ini menjadi salah satu sorotan yang menarik, terutama di kota yang sangat bergantung dengan kendaraan seperti Jakarta.

Hal ini membuat banyak dari kita bertanya: apakah mungkin virus ini baik untuk lingkungan? Ya, untuk sementara.

Ilustrasi oleh statisticallycartoon di Instagram, 2020.

Pengaruh virus ini pada restriksi perjalanan hanya akan bertahan hingga suatu masa yang begitu pendek. Lagipula, kita tidak bisa melakukan social distancing selamanya. Tanpa perubahan yang mendasar tentang infrastruktur maupun pola pergerakan kita, sekali lagi, kendaraan bermotor menjadi pilihan yang rasional untuk beraktivitas.

Kita bisa berdebat tentang bagaimana bersepeda tidak cocok dengan cuaca Jakarta atau kontur yang tidak bersahabat di Bandung. Namun, saat ini, sebagian besar (79%) penglaju komuter di Jabodetabek memiliki panjang perjalanan kurang dari dari 30 km. Sebagian besar dari mereka menempuh perjalanan 30–90 menit (BPS, 2019). Secara kasar, bisa kita bilang bahwa kecepatan rata-rata adalah sekitar 20 km per jam, sama seperti kecepatan rata-rata orang bersepeda.

Lantas, mengapa hingga saat ini bersepeda tidak menjadi pilihan perjalanan yang utama?

Untuk merasakan dampak positif dari pandemi ini dalam jangka waktu yang lebih panjang, diperlukan perubahan, tidak hanya dari kondisi eksternal, tapi juga memerlukan perubahan dari kita yang bergerak. Satu hal yang menjadi jelas dari pandemi ini adalah pertanyaan ayam dan telur pada infrastruktur dan pengguna.

Bahwa pengguna, seperti saya, tidak merasa nyaman untuk melakukan perjalanan normal di atas sepeda atau dengan berjalan kaki.

Beberapa kota di dunia semakin memberikan ruang di jalan untuk pejalan kaki dan pengendara sepeda di tengah masa pandemi ini. Hal ini dilakukan untuk memberikan aksesibilitas pada ruang publik dan kegiatan lainnya tanpa perlu berdesakan di dalam bus. Perubahan ini adalah hal yang penting untuk mendapatkan manfaat sementara yang terjadi akibat penurunan mobilitas di tengah pandemi ini.

Tanpa perubahan mendasar pada kemampuan kita untuk memenuhi kebutuhan secara lokal melalui keragaman aktivitas, serta kenihilan infrastruktur pendukung untuk melindungi perjalanan tanpa kendaraan bermotor, maka angan-angan tentang kota yang bebas polusi serta cita-cita menjaga iklim akan menjadi mimpi belaka.

Penggunaan kendaraan tak bermotor memiliki banyak manfaat dan perlu didukung. Pergerakan ini juga dapat menghambat pandemi lain yang dibawa bersama peningkatan kepadatan perkotaan, misalnya diabetes dan penyakit jantung akibat kepasifan dalam bergerak. Terjebak berjam-jam di tengah kemacetan tentu bukan sebuah kehidupan yang ingin kita lakukan saat ini, bukan?

--

--

Nefertari Pramudhita
Kolektif Agora

Mainly interested in the city and the choices people make in it