Esai / Warga

Netizen dan Mobilisasi Kebijakan

“The media helps to inform and mobilize people politically, making them more knowledgeable and understanding. In other hand tending to induce political apathy, alienation, cynicism and a loss of social capital or in a word.” — Kenneth Newton, Mass Media Effects: Mobilization or Media Malaise?

Alvaryan Maulana
Kolektif Agora

--

Foto: flickr.com, 2012

Hati-hati saat menulis sesuatu di media sosial, atau membagikan artikel dan video yang dirilis oleh media daring. Bukan, ini bukan soal hoaks di era post-truth atau pentingnya tabayun terlebih dahulu sebelum percaya atau tidak percaya pada sebuah berita dan informasi. Ini soal bagaimana unggahan atau gambar-gambar yang bersirkulasi di media dan media sosial bisa menjadi legitimasi dari keputusan-keputusan yang diambil oleh para elite politik yang tak jarang mengerutkan dahi.

Konon, ketika sebuah film adaptasi sebuah novel dirilis sekuelnya beberapa bulan lalu, seorang kepala daerah berniat untuk mewujudkan adanya sebuah taman (yang belakangan diklarifikasi menjadi sebuah pojok pada taman yang sudah ada), guna mengapresiasi dan meningkatkan minat literasi masyarakat dari daerah yang ia pimpin. Sayangnya, “niat baik” kepala daerah tersebut tidak disambut dengan baik oleh masyarakat daerah yang ia pimpin. Yang muncul tidak hanya penolakan, tapi juga cemoohan.

Kepala daerah yang konon juga seorang social media influencer itu sebenarnya bukan tanpa upaya untuk memengaruhi para masyarakat digitalnya. Mulai dari narasi apik soal jomblo dan rayuan ala tokoh, kemudian naik kelas menjadi narasi soal literasi, sampai akhirnya mengeluarkan jurus sakti: baper dengan memosisikan warganet sebagai tukang komentar, sementara ia sebagai manusia pekerja yang langka. Sayangnya, social media influencer tersebut tidak mampu membendung penolakan dan amukan dari warganet yang sebagian besar berdomisili di daerah yang ia pimpin.

Entah akhirnya batal atau tetap berlangsung dengan diam-diam, perlahan tapi pasti, sirkulasi berita dan informasi mengenai “niat baik” tersebut menghilang dari jemari dan layar kaca warganet. Karena kebetulan warganet adalah sebuah entitas yang pelupa karena kebanyakan urusan untuk dikomentari, akhirnya percakapan soal taman atau sudut seorang tokoh novel/film tersebut menghilang.

Dalam urusan politik, mungkin kegilaan warganet bukan lagi sebuah rahasia, terlebih di tahun-tahun pemilu seperti ini. Kegilaan tersebut dipertontonkan dengan vulgar. Dana yang fantastis digelontorkan untuk para influencer dan buzzer demi kegilaan politik. Dongeng di atas adalah sebuah contoh bagaimana media, baik media sosial maupun media dalam jaringan, tidak hanya memiliki peran besar dalam aktivitas politik, namun juga terhadap kebijakan di level yang lebih mikro, pada sebuah kota misalnya.

Demam Moda Raya Terpadu

Beroperasinya MRT di Jakarta adalah salah satu momentum yang nyaris sempurna untuk menunjukan bagaimana media berperan penting dalam mobilisasi kebijakan mengenai moda transportasi baru tersebut. Semua orang membicarakan moda transportasi baru ini dan tentu saja berduyun-duyun berniat untuk mencoba dan menggunakannya. Beberapa bahkan mengampanyekan dan mempromosikan moda baru yang konon adalah epitome dari masyarakat yang lebih civilized.

Hal ini tampaknya juga disadari oleh pengelola MRT Jakarta. Konon pihak pengelola sampai mengumpulkan dan menggunakan jasa influencer agar percakapan dan sirkulasi berita mengenai Moda Raya Terpadu ini menguasai public sphere tadi. Terlepas dari beberapa kontroversi yang sempat terjadi, Moda Raya Terpadu ini menjadi hype tersendiri.

Apakah hal ini baik atau buruk? Poin yang ingin disampaikan sebenarnya bukan lagi soal baik atau buruknya penguasaan jagad maya dalam percakapan untuk MRT. Yang perlu didiskusikan, ruang publik ini ternyata tidak hanya sebatas public sphere — tempat narasi-narasi pembangunan berkontestasi — namun juga sudah menjadi sebuah kanal pembelajaran dan penyebaran kehidupan perkotaan yang lebih baik.

Meskipun pencarian terhadap bentuk dan dialog epistemologisnya masih berlangsung, ide dan wacana mengenai transportasi umum semakin ramai dibicarakan. Pengetahuan dan diskusi yang beredar juga tidak terbatas pada MRT dan cara-cara penggunaanya, tetapi juga diskusi mengenai transportasi umum yang lebih luas dan etika saat berada di fasilitas umum.

Yang perlu dipikirkan lebih lanjut adalah bagaimana agar hype ini tidak sebatas untuk urusan konten dan pembicaraan warganet saja, namun juga mendorong pembelajaran publik yang lebih lanjut. Peresmian MRT adalah momentum yang menarik banyak perhatian publik. Ide dan wacana apa yang ingin dibicarakan di ruang publik tersebut? Gagasan dan persepsi seperti apa yang kemudian tertanam kepada publik dengan adanya momentum tersebut? Apakah salah satunya menertawakan orang-orang yang berpiknik di stasiun?

Kebenaran kini kalah pamor dibandingkan pembenaran.

Jagad Maya Sebagai Public Sphere

Media dunia maya, disadari atau tidak, adalah sebuah public sphere di era kontemporer ini. Twitwar atau berbalas-balas meme di media sosial pada dasarnya adalah perdebatan, atau bahkan pertarungan untuk menguasai ide atau narasi yang menguasai persepsi publik. Maklum, akses menuju “ruang publik” tersebut kini semakin mudah dan yang mengaksesnya semakin tinggi. Meski belum seefektif dan jangkauannya tidak seluas media massa seperti televisi dan koran, public sphere ini bersifat dua arah dengan interaksi yang cair.

Penguasaan terhadap public sphere tersebut berarti penguasaan terhadap wacana yang beredar. Kendali terhadap wacana yang beredar berdampak pada hegemoni informasi dan pengetahuan. Narasi yang beredar dipilah-pilah sesuai dengan kepentingan siapapun yang berkuasa. Meski konon katanya ada bubble reality yang membuat echo chamber, pada akhirnya ide yang beredar termanifestasi menjadi persepsi publik di dunia nyata yang tidak jarang memantik friksi horizontal, bahkan hingga level rumah tangga.

Yang memiliki akses dan resource paling banyak terhadap public sphere tadi bisa dengan mudah memilah-milih mana narasi-narasi yang boleh beredar dan dibicarakan dengan penggeneralisiran yang luar biasa. Ketika ada jembatan penyeberangan orang (JPO) baru dengan nilai estetis diresmikan, apakah hal tersebut akan diapresiasi atau disebut sebagai buang-buang anggaran? Ketika ada rencana penggusuran kampung kota, apakah akan disebut upaya penyelematan ruang publik dan tanah negara atau tindakan kriminal? Ketika ada pelarangan PKL, apakah disebut melindungi hak pejalan kaki atau hak ekonomi para PKL? Sirkulasi percakapan dan informasi di jagad maya kemudian menjadi legitimasi bagi siapapun yang memiliki kepentingan untuk kemudian mengambil sebuah kebijakan.

Penguasaan dan monopoli terhadap public sphere itu rentan pula untuk menjadi abuse of power terhadap pihak-pihak yang memiliki narasi dan wacana yang berbeda. Siapa yang berhak (secara etis) dan punya otoritas (secara hukum) untuk melakukan kurasi ide atau gagasan yang beredar di publik? Bukankah itu esensi dari demokrasi yang dielu-elukan? Kalau gagasan dan pengetahuan saja sudah disensor dan dikurasi, maka kita tinggal tunggu waktu saja sebelum pembatasan berpikir itu kebablasan dan berlanjut menjadi bentuk-bentuk pemberangusan terhadap wacana-wacana yang dianggap tidak baik secara sepihak, bahkan melakukan persekusi dan kriminalisasi terhadap mereka yang menyuarakannya.

Hoaks, framing, dan berbagai teknik penggiringan opini serta fabrikasi fakta kemudian tumbuh subur di era era post-truth ini. Kebenaran kini kalah pamor dibandingkan pembenaran. Serangkaian argumen yang kadangkala tidak berdasar dan tele-tele kemudian membanjiri public sphere dan kemudian membuat percakapan yang tersirkulasi menjadi tidak esensial dan bahkan kontraproduktif. Penguasaan terhadap wacana yang beredar dengan mudah mengalihkan percakapan dan lari dari inti persoalan. Entah karena setting-an atau karena memang disonansi kognitif netizen yang teramat tinggi. Tapi, pada akhirnya itu yang dijadikan oleh pengambil kebijakan sebagai legitimasi maupun perlindungan. Toh, netizen cuma ribut-ribut soal hal yang tidak substansial sehingga tuntutan dan tanggung jawab terhadap kebijakan yang lebih baik dapat dihindari.

Pada akhirnya, public sphere yang sekarang berada di jagad maya adalah tempat di mana kontestasi ide, gagasan, dan wacana terjadi lalu berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dan kebijakan di masyarakat. Untuk itu, arena kontestasi tersebut harus bersifat bebas, netral, dan bisa diakses oleh seluruh kalangan. Pertanyaannya, apakah media sebagai sebuah bentuk ruang publik saat ini sudah deliberatif, atau sekadar tempat sirkulasi dari berita-berita dan gagasan yang diproduksi oleh entah siapa, dan kemudian dibagikan oleh warganet dengan membabi buta tanpa pernah menyadari apa implikasinya dalam kehidupan nyata?

--

--