IN/TRES/PEKSI

Notasi Tahun Ketiga

Naufal R. Indriansyah
Kolektif Agora
Published in
4 min readOct 15, 2020

--

Dokumentasi Penulis, 2020.

Pertama-tama, saya mau menyampaikan selamat untuk Kolektif Agora atas segala pencapaiannya selama tiga tahun ini. Prestasi yang bisa diukur tentunya bisa dilihat dari pertumbuhan jumlah pengikut, baik di Instagram dan Medium, juga dari semakin banyaknya orang baru yang datang ke berbagai diskusi rutin kami. Semuanya menunjukkan bahwa konten kami semakin dinikmati khalayak.

Untuk itu, terima kasih juga kepada semua orang dan organisasi yang sudah mendukung Agora. Kami tidak mungkin jadi seperti ini tanpa kalian semua.

Dari terakhir kami berulang tahun, banyak kejadian menyenangkan dan tantangan yang kami hadapi. Saya pribadi punya beberapa sorotan, misalnya Diskusir dengan Ben Laksana dan Rara Sekar, Festival Tetangga, dan bagaimana kami berhadapan dengan COVID-19.

Sebagai satpam/montir publikasi tulisan di Agora, saya juga sedikit heran, kenapa kenangan manis saya bersama Agora adalah diskusi dan acara luring. Bukannya saya merasa mengkhianati kewajiban saya, tapi saya harus mengakui kalau memang capaian intrinsik yang cukup membanggakan, setidaknya bagi saya pribadi, adalah saat bisa berdialog tentang kota secara langsung dengan banyak orang di tempat dan waktu yang unik.

Begini: jika menulis adalah kiat mengendapkan ilmu dan pengalaman dalam bentuk yang abadi dan bisa diakses kapan dan oleh siapa saja, diskusi adalah satu-satunya sarana untuk membicarakan endapan tersebut dan menguji hipotesa, mengadunya dengan pendapat orang lain. Memang, kasusnya tak selalu seperti ini; kadang, kita bicara hal-hal lain yang tak terlalu relevan.

Tapi, encounter berkualitas dengan orang lain saja sudah jadi barang langka, apalagi membicarakan soal gajah di pelupuk mata: masalah sehari-hari kita sebagai warga kota.

Formula tersebut (yang tak sengaja ditemukan seiring dengan konsistensi ber-Agora) kami pegang teguh. Kami sudah membuka banyak keran peluang dan mudah-mudahan tak ada kendala dalam mengimplementasikannya.

Setidaknya, sampai COVID-19 datang.

Selepas Festival Tetangga, Agora semacam “bubar” sementara. Lucunya, di sekitar Maret atau April, tak ada pembicaraan di antara kami tentang bagaimana merespon virus ini, serta kebijakan dan peraturan pemerintah yang mengikutinya yang berdampak pada kegiatan Agora.

Tak apa juga, saya pikir semuanya kembali lagi ke individu dalam kolektif. Tak semuanya punya tanggapan dan mitigasi yang setara dalam menghadapi pagebluk ini. Semuanya perlu waktu untuk istirahat di sela-sela pekerjaannya masing-masing.

Sampai suatu waktu di bulan Mei, kami merilis editorial bertajuk “Meralat Sehat”. Awalnya, kami berintensi untuk tidak ingin membahas COVID-19 secara blak-blakan, tapi menarik diri untuk melihat gambaran yang lebih besar tentang kesehatan perkotaan.

Namun, ujung-ujungnya, banyak dari kami yang menulis tentang pandemi dan pelbagai dampaknya terhadap kota. Hal itu memang sulit dihindari. Justru, saya pikir hal itu cukup “menyehatkan”, karena banyak unek-unek yang bisa diluapkan oleh tiap orang.

Saya pribadi, sebagai pengurus publikasi, merasa puas dengan performa penulis dan karya setiap orang di Agora dalam “Meralat Sehat”, relatif terhadap beberapa editorial kami sebelumnya. Meski dipisahkan jarak, tak bisa berkumpul di kedai kopi langganan, dan menyerahkan diri pada koneksi internet di rumah masing-masing, kami cukup mampu menjalin komunikasi secara rutin dan berbobot. Hal ini juga yang mungkin membuat kami getol menulis.

Beberapa capaian tersebut, juga Diskusir “Habis Gelap Terlalu Terang” dan “Alun-Alun Kota Mati” dengan Nekropolis, menunjukkan kebisaan kami menerjang masa sulit ini. Secara organik, kami membiasakan bertemu tiap minggu, entah untuk menghadiri Klub Buku-nya

, AKA mingguan, atau sekadar main “Among Us”. Syukur-syukur kalau bisa meluangkan waktu untuk meng-address agenda ke depan dan masalah yang dihadapi.

Bagi saya sendiri, segala pengalaman kami sebelum masa sulit ini menghadiahkan resiliensi yang tak kami sangka. Benar bahwa kami cukup aktif berkomunikasi — baik dengan sesama anak Agora dan audiens — secara daring, dan itu membantu menyiapkan infrastruktur untuk kami manfaatkan sekarang.

Bukan berarti itu saja, karena kami perhatikan banyak yang baru memulai kolektifnya di tahun ini dan sudah ciamik menampilkan geliatnya. Tapi, saya bisa bilang kalau api yang menyala saat ini berasal dari pantikan sederhana, yang kami jaga baranya bersama, perlahan namun konsisten, lewat hal-hal yang sederhana pula.

Saya sendiri, setidaknya, tak pernah berhenti mencari kayu bakar yang tak basah untuk Agora.

Di satu sisi, pekerjaan rumah masih banyak dan entah apa lagi yang akan jadi penghalang di masa depan. Saya sendiri tak ingin jumawa terhadap apa yang sudah Agora capai, karena masih banyak sekali keinginan saya yang belum terwujud, yang saya pikir bisa direalisasikan bersama dengan gerombolan ini. Pun hal yang sama mungkin berlaku untuk anak Agora lain.

Pesan saya untuk sejawat Kolgo (singkatan Kolektif Agora) dan lainnya yang berkolektif: temukan celah-celah di mana kita bisa menyelipkan hasil pembelajaran hidup, entah dari rumah, kantor, atau kampus, bersama dengan hasil galian kita terhadap pelbagai risalah. Hegemoni dan status quo yang menindas, yang jadi bagian dari keseharian, harus pelan-pelan kita destabilisasi. Tak apa jua jika belum punya cita-cita tentang kota seperti apa yang “lebih baik”, mudah-mudahan kita bisa temukan di sepanjang prosesnya, bersama-sama.

Sekali lagi: terima kasih, selamat, jangan lupa rehat, dan hati-hati di jalan.

--

--

Naufal R. Indriansyah
Kolektif Agora

Managing Editor at Kolektif Agora | Writing about (Indonesian) cities, urbanization, informality, politics, and everything in between