Esai / Warga

Penjara Pikiran dan Jiwa yang Terlupa

Perihal Kota dan Manusia: Ujaran Kebencian hingga Jeruji Besi

Dinda Primazeira
Kolektif Agora

--

Foto oleh Gianfranco Lanzio, unsplash.com, 2019.

Selama beberapa tahun terakhir — tepatnya dua, saya secara tidak sengaja menjadi konsumen atas hal-hal yang bersinggungan dengan mentalitas, baik melalui cerita personal segelintir orang maupun kasus yang berseliweran pada berbagai media populer di ranah digital.

Atas segala cerita dan informasi yang berseliweran dari sana-sini, saya sampai pada sebuah kesimpulan bahwa mentalitas, atau keadaan dan aktivitas jiwa (batin), cara berpikir, dan berperasaan (KBBI Daring, 2019), merupakan sebuah prasyarat bagi sebuah entitas — baik individu, komunitas, bahkan sebuah kesatuan seperti kota dan negara — untuk dapat tumbuh dan berkembang secara sehat.

Permasalahan kesehatan mental telah menjadi masalah global beberapa tahun belakangan. WHO mengemukakan bahwa lebih dari sepertiga orang di dunia memenuhi kriteria yang cukup untuk didiagnosis dengan gangguan kesehatan mental pada beberapa masa dalam kehidupan mereka (WHO, 2000). Pada 2016, Institute for Health Metrics and Evaluation mengestimasi terdapat sekitar 1.100.000.000 jiwa atau 15% dari seluruh populasi dunia sedang memiliki gangguan mental dan/atau kecanduan narkotika. Berdasarkan data tersebut, depresi dan gangguan kecemasan merupakan dua gangguan mental dengan tingkat prevalensi tertinggi, yakni 3,83% (atau sekitar 288 juta jiwa) dan 3,77% (atau sekitar 283 juta jiwa). Angka tersebut terus meningkat setiap tahun.

Pada 2018, World Health Organization (WHO) mengestimasi penderita depresi telah mencapai 4% atau 300.000.000 jiwa dari total penduduk dunia. Mengingat harga yang harus dibayar oleh individu, kota, atau bahkan negara terbilang tinggi karena pemulihan tidak semurah dan semudah pencegahan, kondisi ini sangat disayangkan.

Sebagai sebuah kesatuan kompleksitas imateriel yang bukan hanya persoalan medis atau psikologis semata, mentalitas bersinggungan juga dengan dimensi fisik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain. Kondisi tempat kita tinggal dan berkegiatan seperti tingkat ekonomi, gaya hidup, serta kepercayaan dan/atau pengetahuan mayoritas memegang peranan penting terhadap kondisi (mental) kita. Oleh karena itu, urbanisasi pun tidak kalah penting untuk diperbincangkan apabila kita membahas mengenai kesehatan mental.

Akan tetapi, perkara mental atau jiwa bukanlah sebuah bahasan yang biasa diperbincangkan secara gamblang. Ketiadaan manifestasi fisik yang jelas dan nyata sering kali membatasi kita untuk benar-benar memahami, bahkan kondisi (jiwa) kita sendiri. Dalam konteks institusional, yang mana mentalitas (publik) merupakan kondisi temporer atas proses timbal balik antara segelintir orang yang berkuasa dan masyarakat, literasi atas kesehatan mental menjadi penting untuk diupayakan dan juga dipertanyakan.

Sebuah Perkara: Urbanisasi dan Jiwa Manusia

Berbagai studi menyatakan bahwa terdapat keterkaitan antara kesehatan mental dan proses urbanisasi. Seiring berjalannya waktu, urbanisasi memang terus bekerja mengubah kota — dan kita. Populasi dunia yang bertempat tinggal di wilayah perkotaan kini sudah lebih dari 50%. Yang pada 1950 berjumlah 751 juta, pada 2018 sudah menjadi 4,2 miliar. Berdasarkan proyeksi PBB (2015), persentase populasi global akan mencapai 70% hanya dalam kurun waktu sekitar tiga puluh tahun.

Bukan hal yang mengherankan karena kota memang (seolah-olah) menawarkan kehidupan yang menjanjikan, seperti akses pendidikan yang lebih baik, pekerjaan yang lebih menghasilkan, bahkan kehidupan yang lebih sejahtera. Namun, perkotaan yang kian padat menjadikan kompetisi kepemilikan sumber daya di kota semakin sulit dan pelik. Kota yang terus-menerus didorong membutuhkan sirkulasi kapital yang cepat agar mampu bertahan dan bergerak.

Cukup banyak studi yang membahas mengenai kesehatan mental dan kota. Berdasarkan studi Gruebner (2017), risiko terhadap beberapa jenis gangguan mental, seperti gangguan kecemasan, gangguan mood, dan psikosis, cenderung lebih tinggi di wilayah perkotaan. Selain itu, risiko untuk mengidap skizofrenia juga lebih tinggi bagi orang-orang yang bertempat tinggal di kota.

Gruebner (2017) membagi faktor yang memengaruhi risiko kesehatan mental di kota menjadi dua, yakni lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Faktor sosial tersebut, menurut Gong et al. (2016) meliputi: 1) konsentrasi spasial masyarakat berstatus sosial rendah (tingkat pendidikan, pendapatan); 2) modal sosial yang rendah (dukungan sosial); dan 3) segregasi sosial (minoritas, masyarakat adat). Di antara faktor-faktor tersebut, status sosial yang rendah menjadi faktor yang — telah terbukti melalui banyak penelitian, di antaranya penelitian Rapp et al. (2015), Meyer et al. (2014), Galea et al. (2007), dan Manstead (2018)— memiliki hubungan dengan kesehatan mental. Dalam konteks spasial, kesamaan status sosial yang rendah mendorong terjadinya aglomerasi di permukiman kumuh, yang kemudian secara tidak langsung merupakan bentuk pengasingan diri dari keriuhan kota dan berpotensi meningkatkan kerentanan psikologis.

Sementara itu, kondisi yang menjadi ciri fisik lingkungan perkotaan seperti polusi (air, udara, cahaya, dan suara), tata letak bangunan, dan pola penggunaan ruang, juga bisa berpengaruh. Lingkungan fisik tersebut memengaruhi dengan cara: 1) bertindak sebagai stresor fisiologis; 2) berkontribusi pada penciptaan jejaring dan dukungan sosial; 3) menciptakan efek-efek simbolis perencanaan dan pembangunan; serta 4) melalui proses perencanaan (Halpern, 1995). Sebagai contoh, bertempat tinggal di pinggir jalan utama atau di sekitar bandara meningkatkan kemungkinan terpapar terhadap polusi udara dan suara, serta berkorelasi juga dengan tingkat stres dan agresi (Rocha et al., 2012; Seidler et al., 2016; Correia et al., 2013, dan Dzhambov & Dimitrova, 2014 pada Gruebner, 2017). Ketersediaan ruang publik, ruang hijau, serta kemacetan dan keramahan bagi pejalan kaki pun termasuk pada pembahasan ini.

Meskipun begitu, hubungan antara kota dan kesehatan mental tidak terjadi secara kausal. Bertempat tinggal di kota, bekerja penuh waktu hingga tengah malam, terisolasi secara sosial, ataupun berpendapatan rendah, tidak serta-merta menjadikan seseorang mengalami gangguan psikologis, begitu pula sebaliknya.

Prasangka Imajiner: Stigmatisasi dan Pengabaian

Terlepas dari bagaimana kota berkemampuan untuk memengaruhi kesehatan mental kita sebagai warganya, literasi atau pemahaman kita juga tidak kalah penting. Persepsi dan sikap terhadap gangguan mental, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia, seringkali justru mengerdilkan perkembangan kesejahteraan mental secara umum. Mulai dari masyarakat awam yang saling menanam ujaran kebencian, media yang seringkali membingkai informasi secara tidak tepat, hingga para elite yang bahkan tidak bersedia untuk tahu menahu.

Kasus bunuh diri pada beberapa bulan yang lalu, misalnya. Seorang mahasiswa membuat sebuah cuitan depresif, dan pada akhirnya benar-benar melakukan aksi bunuh diri. Yang sangat disayangkan pada kasus ini adalah cara warganet merespon cuitan tersebut, yang justru mendorong keputusan untuk bunuh diri. Kebanyakan media justru sibuk membuat konten berisi kumpulan hal-hal emosional, seperti cuitan-cuitan terakhir, tanpa menyisipkan wacana yang justru penting untuk dibahas dan tanpa memperhitungkan dampak bagi para penyintas maupun keluarga korban. Meskipun di satu sisi pengetahuan terkait kejiwaan bukanlah salah satu prasyarat bagi seorang pekerja media, media sebagai institusi tetap mengemban tanggung jawab untuk memberikan informasi yang objektif dan membangun pemahaman publik.

Secara umum, literasi mengenai kesehatan mental di negara berkembang dan tertinggal memang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara di belahan utara (Kutcher et al., 2016). Akibatnya, sekitar 80 persen penderita gangguan mental di negara-negara tersebut tidak tertangani (Demyttenaere et al., 2004). Faktor sosial dan budaya memegang peranan penting, meskipun bukan satu-satunya. Di kebanyakan negara-negara berkembang, terutama di Asia, kesehatan mental seringkali dipersilangkan dengan kepercayaan, bahkan keagamaan. Alih-alih memeroleh penanganan yang tepat, para penderita justru menjalani pengobatan tradisional atau keagamaan yang justru memperbesar jurang menuju kesembuhan. Pelekatan stigma pun seringkali berujung pada ekslusivitas sosial dan spasial, bahkan pengasingan dari keluarga atau kerabat terdekat.

Krisis Kesehatan Mental di India (Vice News)

Meretas Mentalitas: Literasi Kesehatan (Mental)

Literasi kesehatan mental merupakan sebuah konsep yang cukup baru dalam upaya mempromosikan kesehatan mental. Konsep ini berakar dari literasi kesehatan (fisik) yang kemudian dikembangkan sedemikian rupa oleh Jorm et al. (1997). Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian, literasi kesehatan diketahui menjadi prediktor kondisi kesehatan dan hubungan sosial yang lebih kuat daripada faktor sosial ekonomi, seperti pendidikan, status pekerjaan, pendapatan, dan kelompok etnis/ras (Baker et al., 2007 dan Berkman, 2011 dalam Kutcher, 2016).

Pada awalnya, literasi kesehatan mental menitikberatkan pada pemahaman publik mengenai gangguan jiwa, termasuk perkara di mana dan bagaimana cara memeroleh pertolongan. Namun, konsep awal tersebut hanya terbatas pada gangguan saja, tidak melingkupi pembahasan mengenai kesehatan mental secara keseluruhan. Hingga saat ini, konsep literasi kesehatan mental sendiri masih terus berkembang.

Berdasarkan definisi terbaru Jorm (2012), literasi kesehatan terdiri dari beberapa komponen, yaitu: 1) memahami cara untuk mencegah gangguan kejiwaan; 2) mampu menyadari ketika masalah mental sedang berkembang; 3) mengetahui alternatif pertolongan dan penanganan yang bisa diakses; 4) memahami strategi untuk menolong diri sendiri; dan 5) keterampilan untuk memberikan pertolongan pertama bagi orang lain yang sedang memiliki masalah kesehatan mental. Berdasarkan perkembangannya, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya, literasi kesehatan mental terdiri dari akses, komunikasi, pemahaman, dan evaluasi informasi yang mengarah pada peningkatan, pemeliharaan, dan promosi kesehatan mental (Furnham dan Swami, 2018).

Ketidakpedulian kita pada hal-hal mengenai kesehatan mental yang tidak mewujud ini, sayangnya memiliki efek domino terhadap kota — bahkan negara, dan vice versa.

Penanganan Kesehatan Mental di Penjara Cook County, Chicago (Vice News)

Berdasarkan video di atas, kebijakan pemerintah untuk menonaktifkan sebagian pelayanan kesehatan mental yang beroperasi karena alasan finansial memberikan dampak yang cukup masif terhadap kota dan warganya. Pada video sebelumnya (mengenai krisis kesehatan mental di India) pun, tidak ada dukungan memadai dari pemerintah India untuk meningkatkan pelayanan fasilitas kesehatan jiwa yang sudah melebihi kapasitas. Hanya sekitar 1% dari pendapatan nasional yang dialokasikan pada urusan kesehatan mental. Akibatnya, banyak warga India yang tidak mendapatkan penanganan yang tepat. Beberapa bahkan menjadi lebih parah.

Pelanggengan ketidaktahuan dan keengganan untuk meningkatkan literasi mengenai kesehatan mental juga menjadi salah satu faktor rendahnya mentalitas kita ketika merespon berbagai dinamika berkehidupan. Meskipun pada saat ini kampanye yang mempromosikan kesehatan mental sudah marak dan bahkan terlampau banyak, perundungan, kebencian tak berdasar, tindak kriminal, bahkan aksi bunuh diri masih sering kita temukan di sekitar kita.

“The range of what we think and do is limited by what we fail to notice. And because we fail to notice that we fail to notice there is little we can do to change until we notice how failing to notice shapes our thoughts and deeds.”

— Ronald David Laing

Perdebatan mengenai hubungan antara kesehatan mental dan kota sendiri masih terus berlangsung. Mengenai siapa-siapa saja yang perlu ikut andil dalam pergumulannya pun merupakan persoalan yang lain lagi. Pada saat ini, literasi hanya menjadi salah satu alternatif untuk menciptakan kota yang (warganya lebih) sejahtera, bukan hanya secara materiel.

Namun pada akhirnya, tulisan ini hanya bisa memberikan sedikit gambaran bagaimana kota dan jiwa kita bisa saling tertaut. Toh, kekacauan diri hanya kita yang merasakan.

Tapi, dampaknya?

Referensihttps://tirto.id/kesehatan-mental-di-indonesia-hari-ini-b9twhttps://tirto.id/bagaimana-seharusnya-media-memberitakan-bunuh-diri-mahasiswa-deW3https://ourworldindata.org/mental-healthhttps://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/mental-disordersMental Health Atlas 2017 (https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/272735/9789241514019-eng.pdf?ua=1)https://www.weforum.org/agenda/2018/04/5-charts-that-reveal-how-india-sees-mental-health/Gruebner, O., Rapp, M. A., Adli, M., Kluge, U., Galea, S., & Heinz, A. (2017). Cities and mental health. Deutsches Ärzteblatt International, 114(8), 121.Gong, Y., Palmer, S., Gallacher, J., Marsden, T., & Fone, D. (2016). A systematic review of the relationship between objective measurements of the urban environment and psychological distress. Environment international, 96, 48–57.Kutcher, S., Wei, Y., & Coniglio, C. (2016). Mental health literacy: past, present, and future. The Canadian Journal of Psychiatry, 61(3), 154–158. (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4813415).Furnham, A., & Swami, V. (2018). Mental health literacy: A review of what it is and why it matters. International Perspectives in Psychology: Research, Practice, Consultation, 7(4), 240. (https://psycnet.apa.org/record/2018-54979-004).

--

--