Editorial

Perlukah Angkot Dipertahankan?

Tulisan ini dibuat untuk melihat kinerja angkot sebagai salah satu moda transportasi publik di Kota Bandung.

Nefertari Pramudhita
Kolektif Agora

--

Kita semua setuju bahwa pergerakan adalah keniscayaan bagi masyarakat, terutama masyarakat perkotaan. Setiap orang pasti bergerak untuk memenuhi kebutuhannya. Setidaknya, setiap hari kita melakukan perjalanan untuk berkerja atau bersekolah dan pulang. Dalam memenuhi kebutuhan pergerakan ini, terdapat berbagai moda yang bisa dipilih, salah satunya angkot. Namun….

Angkot Kalapa-Ledeng Kota Bandung (Dok: Sangkara Nararya, 2017)

Berdasarkan penggunaannya, angkot (19%) kalah jauh dengan motor (62%) sebagai moda utama dalam memenuhi kebutuhuan pergerakan. Angkot juga terus menjadi tidak layak operasi karena tingkat okupansinya yang rendah, yakni sebesar 35% (Bandung Urban Mobility Project, 2016). Untuk membayangkan, okupansi 35% adalah angkot dengan isi 3–4 orang saja di dalamnya. Hal ini diperparah dengan terus meningkatnya waktu perjalanan akibat macet di jalanan yang dilewati angkot, membuat jumlah rit yang dapat dilakukan angkot terus berkurang. Biaya yang ditanggung oleh angkot begitu tinggi dengan tingkat pemasukan yang juga tidak menjanjikan. Jika angkot tidak lagi menguntungkan untuk supirnya, maka untuk apa angkot terus ada?

Murah

Mega Anggraeni (32), salah seorang pengguna angkot, menilai keberadaan angkot masih dibutuhkan. “Saya merasa naik angkot lebih murah, meski tergantung tujuan juga. Untuk jarak dekat, masih bisa Rp 2–3 ribu,…” (liputan6.com)

Angkot dianggap murah karena hanya dengan 2–3 ribu rupiah, angkot dapat memenuhi kebutuhan pergerakannya. Namun, satu hal yang perlu diperhatikan di sini adalah jaraknya dan jumlah pergantian yang diperlukan.

Angkot yang sering saya gunakan — dan semua angkot yang saya ketahui — memiliki sistem pembayaran sesuai dengan jarak dengan batas bawah pembayaran 3 ribu dan batas atas 5 ribu rupiah. Jarak dari pul ke pul angkot saya adalah sekitar 7 km, sama seperti panjang perjalanan saya ke kampus. Selisih yang ditawarkan hanya 2 ribu rupiah! Lantas?

Hal ini menjadi masalah ketika perjalanan yang dilakukan membutuhkan perpindahan rute, yang selanjutnya kita sebut transit. Perjalanan saya dengan angkot ini hanya sekitar 4 km, dilanjutkan dengan perjalanan 3 km lagi dengan angkot lain. Karena panjang perjalanan yang tanggung ini, saya dikenakan tarif atas dari angkot pertama dan tarif bawah dari angkot kedua, dengan total uang yang harus dikeluarkan sekitar 8 ribu rupiah. Padahal, apabila saya melakukan perjalanan dengan satu angkot saja, saya hanya harus membayar 5 ribu rupiah.

Saya merasa buruk untuk mengeluh akan selisih 3 ribu rupiah, namun selisih ini akan terus membesar ketika perpindahan yang dilakukan semakin banyak. Misal, dengan panjang perjalanan yang sama yaitu 7 km, tetapi dengan 3 kali naik angkot, maka akan dikenakan 3 kali tarif bawah; 3 dikali 3 ribu menjadi 9 ribu rupiah. Selisihnya menjadi 4 ribu rupiah! Kalau 4 kali ganti, jadi berbeda 7 ribu. Belum lagi, kejadian mang angkotnya nggak ngasih kembalian. Tapi, itu hal lainlah, ya.

Agar lebih jelas, skenario-skenario tersebut digambarkan melalui grafik di bawah.

Tarif angkot berdasarkan jumlah transit. Transit dilakukan pada jarak terjauh yang bisa dilakukan di setiap kali naik angkot.

Jika dibandingkan dengan harga angkot yang diproyeksikan secara linear, harga batas atas dan batas bawah ini terkadang menguntungkan, namun lebih sering merugikan, terutama jika perjalanan yang dilakukan melibatkan pergantian rute. Berikut merupakan grafik beda harga yang terjadi ketika dibandingkan dengan harga dengan kenaikan linear

Beda harga angkot saat ini dengan harga yang linear terhadap jarak

Terlihat pada tabel di atas bahwa pada perjalanan yang sangat pendek (0–2 km), sistem harga saat ini adalah menguntungkan tanpa beda harga bahkan dengan beda harga negatif. Namun, ketika perjalanan semakin panjang dan semakin kompleks (melibatkan transit), perbedaan harga menjadi tidak lagi menguntungkan jika dibandingkan dengan harga linear. Bahkan, beda harga melonjak sangat tinggi ketika terdapat transit pada perjalanan. Beda harga terus naik (bahkan menjadi nyaris dua kali lipat pada kenaikan satu jumlah transit) seiring dengan jumlah transit yang dilakukan dalam satu perjalanan, padahal jaraknya yang sama. Hal ini perlu dibenahi jika menginginkan angkot sebagai moda yang murah, terutama mengingat ketidakefektifan rute dalam memenuhi kebutuhan bergerak masyarakat. Transit adalah hal yang tidak terelakkan.

Angkot dan Aksesibilitas

Angkot seharusnya adalah moda transportasi umum yang paling efektif menjangkau semua wilayah, terutama jika dibandingkan dengan moda lain yang terdapat di Kota Bandung, yakni bus yang tidak bisa menjangkau jalan-jalan kecil. Namun dengan kemampuannya ini, angkot tetap tidak menjangkau semua perumahan sebagai awal dari pergerakan. Ambil contoh lingkungan rumah saya.

Buffer 500 meter dari jalur angkot. Lima ratus meter dianggap menjadi jarak terjauh kemauan jalan kaki menuju kendaraan umum.

Terlihat pada gambar diatas, terdapat area perumahan yang tidak terjangkau, bahkan terdapat beberapa lokasi yang tidak terjangkau angkot. Hal ini membuat penduduk di wilayah tersebut tidak memiliki pilihan lain selain menggunakan moda lain seperti motor.

Transportasi publik diperlukan untuk menjamin pergerakan semua masyarakat perkotaan. Walau 1,8 juta penduduk Kota Bandung berusia produktif dan mampu untuk berkendara pribadi, bagaimana dengan mereka sisanya? Belum lagi mereka dengan disabilitas, transportasi publik tentu masih diperlukan. Namun, saya juga tidak melihat angkot sudah secara optimal memenuhi fungsi tersebut. Sebenarnya tidak sepenuhnya salah angkot, sih, pedestrian-nya pun tidak mendukung.

Angkot vs. Moda Lain

Dengan angkot, saya melakukan perjalanan rumah kampus sekitar satujam dengan biaya 8 ribu rupiah. Namun, baru-baru ini ada pilihan ojek online dengan moda motor yang bisa membawa saya ke kampus dalam 20–30 menit dengan biaya 10 ribu rupiah. Saya sadar bahwa penilaian orang terhadap waktu berbeda-beda, namun bagi saya tambahan 2 ribu dengan selisih waktu 30 menit adalah hal yang menguntungkan. Dengan uang yang sama untuk melakukan perjalanan harian saya dengan angkot, saya dapat membelikan bensin untuk motor saya yang bertahan untuk 3 hari dengan pergerakan yang sama, 2 hari jika kita hitung harga parkir kampus.

Angkot tidaklah kompetitif dalam hal harga dan waktu. Angkot juga tidak mampu memenuhi fungsinya sebagai kendaraan umum yang dapat diakses semua pihak. Wajar apabila angkot tidak menjadi pilihan utama dalam melakukan pergerakan harian. Dengan mudahnya mendapatkan kredit motor, orang-orang tentu akan membeli motor. Dengan adanya aplikasi ojek online, orang-orang dengan smartphone akan lebih mudah berpikir untuk meninggalkan angkot.

Tapi, dengan semua argumen ini, bukan berarti saya mendukung peniadaan angkot.

Jika tidak ada angkot, satu-satunya skema yang mungkin dilakukan adalah semua orang menggunakan kendaran pribadi — terutama motor — mengingat ukuran Kota Bandung yang relatif kecil. Namun, model seperti ini tidaklah sustainable. Kita, warga perkotaan, tetap membutuhkan transportasi umum.

Pada tahun 2010 saja, jumlah kendaraan bermotor adalah 1.215.585 unit dengan rata-rata peningkatan 11% per tahun: roda dua (motor) 859.411 unit, dan roda empat (mobil pribadi) 134.654 unit. Angka yang mengejutkan terutama jika dibandingkan dengan pertumbuhan ruas jalan yang hanya sebesar 1,29% per tahun. Dengan tren ini, di suatu saat yang mungkin tidak lama lagi, Kota Bandung akan macet total. Peran kendaraan umum menjadi penting melihat hal ini.

Namun, jika angkotnya masih begini — mahal dan tidak kompetitif secara waktu — saya dan 62% warga Bandung lainnya masih akan menggunakan motor kami.

Artikel terkait

--

--

Nefertari Pramudhita
Kolektif Agora

Mainly interested in the city and the choices people make in it