IDE / WARGA

Persimpangan yang Tak Kasatmata

Menguak Gagasan “Warga sebagai Infrastruktur” oleh A.M. Simone

Naufal R. Indriansyah
Kolektif Agora
Published in
6 min readSep 28, 2023

--

Foto oleh Andika Febrian di Unsplash, 2021.

Pada tahun 2004, A.M. Simone, urbanis yang terkenal lewat tulisan-tulisan (akademik)-nya soal kota-kota Selatan Global, mencetuskan ide “people as infrastructure” atau dalam tulisan ini, saya terjemahkan menjadi “warga sebagai infrastruktur”.

Ide ini lahir dari penelitian etnografinya di Johannesburg, Afrika Selatan. Kota ini adalah sebuah melting pot dengan kelompok etnis, bahasa, dan budaya yang beragam. Johannesburg juga merupakan pusat ekonomi dengan ragam kegiatan, dan terdapat banyak jenis industri, institusi finansial, dan kantor pusat perusahaan (asing).

Simone sendiri menginvestigasi kondisi sosial dan ekonomi warga kota di sana — bagaimana aktivitas ekonomi dan/atau sosial tertentu bisa muncul, siapa yang terlibat, dan bagaimana kegiatan-kegiatan ini dapat bertahan.

Menurut Simone, gagasan ini berkutat pada “kolaborasi ekonomi di antara penduduk yang terpinggirkan dan terjerat oleh kehidupan perkotaan”. Alih-alih hanya memahami infrastruktur dalam konteks pelayanan perkotaan, terutama secara fisik, ia memperluas pemahaman umum ini ke pelbagai kegiatan warga di kota.

Apa maksudnya?

Kota-kota di Afrika, tulis Simone, punya “persimpangan warga” (interesections of residents) yang fleksibel, mobil, dan temporer. Mereka — simpang-simpang ini — beroperasi tanpa visi yang jelas (dalam artian memiliki rencana jangka panjang) soal bagaimana kota harusnya ditinggali dan digunakan. Mereka bergantung pada kemampuan warga untuk terlibat dalam kombinasi-kombinasi kompleks antara objek, ruang, orang, dan praktik. Ia berargumen,

“These conjunctions become an infrastructure — a platform providing for and reproducing life in the city.”

“Simpang” dalam konteks ini dapat diartikan sebagai cara yang dinamis dan kompleks di mana warga berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Interaksi ini terjadi dalam berbagai tingkatan, mulai dari hubungan pribadi hingga jaringan sosial dan pertukaran ekonomi yang lebih luas.

Adanya tumpang tindih sosial dan spasial ini (social and spatial overlaps) mempertemukan kelompok-kelompok warga yang beragam, sehingga memungkinkan munculnya transaksi, kooperasi, inovasi, dan pembentukan jejaring warga.

Persepsi ekonomi dan praktik kolaboratif dibentuk melalui kapasitas masing-masing aktor untuk bernavigasi dan menjadi familier dengan berbagai posisi-posisi spasial, perumahan, ekonomi, dan transaksional.

Ketika aktor melakukan hal yang berbeda di tempat yang berbeda pula, masing-masing membawa jejak kolaborasi masa lalu dan kemauan implisit untuk berinteraksi antara satu sama lain dengan cara yang mengacu pada berbagai posisi ini.

Penyedia yang Tak Ada atau Perlu Diberdaya?

Bagaimana dengan “infrastruktur” yang selama ini kita kenal, yang disediakan pemerintah dan seharusnya menjadi hak warga? Perkembangan tata kota modern telah membawa bersamanya aturan, kode, dan designasi kegiatan-kegiatan tertentu di tempat-tempat tertentu pula.

Tak hanya infrastruktur publik, kegiatan ekonomi, sosial, dan politik pun diatur sedemikian rupa untuk mendukung kota yang fungsional dan produktif.

Tapi, apakah kita selalu beroperasi sesuai batasan-batasan ini? Tentu tidak, dan di sinilah konsep infrastruktur Simone krusial. Selalu ada cara untuk melakukan kegiatan berbeda dan memunculkan guna lahan yang berbeda pula — meski, umumnya, bersifat mikro dan temporer.

Ia tulis, “In this multiplicity of connotations, it is always possible to do something different in and with the city than is specified by these domains of power…[] This notion of tactics operating at the interstices of strategic constraints…”

Jika dibedah — dan ini adalah interpretasi pribadi saya — maka kita bisa melihat elemen-elemen kunci dari gagasan ini. Mulai dari permukiman informal, akses terhadap sumber energi dan air bersih yang tak konvensional, sampai aktivitas pedagang kaki lima, praktik informal terus bertahan — bahkan berkembang — di banyak kota-kota Indonesia.

Tak hanya praktiknya, ada hal yang mungkin lebih tak terlihat: bagaimana bentuk-bentuk ini, kemungkinan besar, adalah manifestasi dari jejaring sosial, politik, dan budaya yang tidak semerta-merta berhubungan langsung dengan realitas ekonominya.

Dalam lingkup praktik dan jejaring ini, warga menegosiasikan dan mengoperasikan taktik-taktik adaptif. Hal ini mengacu pada solusi-solusi inovatif dan fleksibel yang diterapkan warga dalam rangka bertahan dari atau memanfaatkan lanskap urban yang berubah-ubah.

Seringkali, perubahan-perubahan ini berkelindan dengan absennya layanan publik formal. Keterbatasan ini memaksa warga menciptakan kooperasi sosial dan berswasembada untuk memenuhi kebutuhannya.

Tapi, bukan berarti warga tak menggunakan atau mengakses infrastruktur dan ekonomi formal. Justru, interkonektivitas antara cara formal dan informal yang pada akhirnya membuat people as infrastructure ini kukuh.

Infrastruktur di Johannesburg, Bandung, dan Jakarta

Dalam tulisannya, Simone menawarkan beberapa contoh. Yang pertama adalah anak-anak muda yang bekerja di sebuah terminal (ditulis transport depot) di Abidjan sebagai supir, penjual, mekanik, dan lainnya.

There are constantly shifting connections among them,” tulis Simone. Setiap orang punya cara untuk menilai kekayaan, karakter personal, dan alasan berpergian penumpang-penumpang di sana. Pembacaan ini menentukan kolaborasi apa yang dapat terbentuk: ke mana penumpang perlu diarahkan, siapa yang menjual tiket, siapa yang membawa barang-barang mereka, dan seterusnya.

Seolah-olah, terdapat pola-pola tertentu yang berfungsi untuk memaksimalkan sumber daya orang-orang yang bekerja. Padahal, tak ada aturan atau kerangka kerja formal. Kolaborasi ini terbentuk berdasarkan kapasitas masing-masing individu untuk berimprovisasi.

Ide ini juga telah digunakan dan diuji kaum cendekia urban. Misalnya, lewat riset terhadap beberapa pedagang kaki lima di Bandung, Malasan (2019) menyimpulkan kalau para PKL telah membentuk infrastruktur sosial lewat praktik sehari-harinya. Para pedagang memiliki kemampuan untuk membangun jejaring yang suportif, yang setidaknya terdiri dari pelanggan, pemasok bahan, dan aktor perantara informal lainnya.

Lebih lanjut lagi, infrastruktur ini kemudian berguna untuk menegosiasikan persepsi negatif atas aktivitas mereka — pandangan publik yang umum muncul di Indonesia soal ketidakrapian, kekotoran, dan lain sebagainya. Bentuk ini juga menjadi modal penting bagi para pedagang untuk bekerja dalam dan di antara zonasi PKL yang diterapkan di Kota Bandung.

Hal serupa — dengan sedikit perbedaan lingkup — juga muncul dari penelitian saya di Jakarta (belum dipublikasikan, tapi vinyetnya bisa dibaca di sini). Pedagang kopi keliling yang aktif berjualan di pusat komersial kota memiliki jejaring tak kasatmata dan kemampuan berimprovisasi dalam kerja-kerja mereka.

Keluarga, agen, mekanik sepeda, rekan pedagang, aktor-aktor yang berseberangan dengan kepentingan mereka (petugas Satpol PP, misalnya), sistem komunikasi, serta keyakinan pada agama dan budaya mereka (kebanyakan orang Madura) adalah elemen-elemen penting yang memungkinkan pedagang untuk menetap dan berpindah dengan tangkas.

Meski terkesan begitu terorganisir, tetap ada kontradiksi yang muncul, semisal kompetisi dan peran-peran antagonis yang juga menghambat navigasi para pedagang. Tapi, di sinilah improvisasi mereka diuji: di hadapan ideologi perencanaan yang “mengatur” dan intervensi yang seringkali tak terprediksi dan ambivalen, tetap ada (atau dihadirkan oleh mereka) ruang dan waktu untuk menyambung hidup.

Ke Arah Mana?

Sebelum dan sesudah Simone mengemukakan konsep ini, banyak peneliti telah menawarkan pemikiran serupa, entah lewat tinjauan terhadap karya Simone atau tidak. Misalnya, konsep quiet encroachment of the ordinary dari Asef Bayat (2004), occupancy urbanism dari Benjamin (2008), atau people’s spaces dari Perera (2009).

Bedah terhadap ide-ide ini bisa jadi untuk tulisan berikutnya. Yang paling penting, menurut saya, adalah memahami kalau kekuatan pembentuk informalitas — yang acap dilihat sebagai masalah itu sendiri — seringkali tak sesederhana itu untuk dikuak.

Tetap perlu ada investigasi terhadap kemampuan dan alat-alat negara yang justru mereproduksi konstruksi ini, dibarengi dengan pendalaman tentang terciptanya ekosistem yang kontra dengan semangat “maju” atau “teratur”. Juga, bagaimana perubahan-perubahan rezim yang terjadi, bahkan sejak era kolonial, berdampak pada dinamika ini.

Gagasan “warga sebagai infrastruktur”, saya setujui, bisa meninggalkan impresi yang beragam, dan mungkin lebih membuat kernyit daripada anggukan: semacam tak baru, abstrak, dan melingkupi terlampau banyak hal. Bagi pembaca yang yakin sepenuhnya kalau informalitas adalah rekayasa struktural dan makro, maka ide ini bisa jadi terlalu romantis dan malah bertendensi melanggengkan ketimpangan, tanpa melihat kekuatan-kekuatan “dari atas” yang menyebabkan ketimpangan tersebut.

Tujuh belas tahun setelah memunculkan ide ini, Simone “mengklarifikasi” niatnya. Diberi judul “Ritornello” — yang berarti refrein instrumental pendek atau selingan dalam karya vokal — ia mengajak pembaca untuk mengecek kembali arah dan implikasi dari penggunaan gagasan ini.

Menurutnya, “warga sebagai infrastruktur”, alih-alih berlaku sebagai konsep definitif, adalah pintu masuk dalam menelusuri kedalaman dan nuansa dari kompleksnya proses improvisasi (antar)warga. Kurang tepat pula jika konsep ini dibongkar dalam nada-nada yang romantis, melankolis, dan terlalu humanis— justru, kontradiksi dan relasinya terhadap sistem masyarakat kapitalis harus terus diuji. Ontologi-ontologi sosial, tulis Simon, “…from Jakarta to Manila to Detroit to Flint to Calcutta…unfold in ways that we are only beginning to realize.

--

--

Naufal R. Indriansyah
Kolektif Agora

Managing Editor at Kolektif Agora | Writing about (Indonesian) cities, urbanization, informality, politics, and everything in between