Liputan
PKL: Cerita Sejarah, Pendampingan, dan Vernakularitas
Laporan dari Diskusir #6 “Elegansi Lima Kaki: PKL dan Hikayat Tepi Laluan”
Munculnya sentimen negatif terhadap berbagai elemen perkotaan kerap kali berakar dari adanya kontestasi politik. Hal ini senantiasa mewujudkan dikotomi — adanya elemen perkotaan yang baik dan buruk, salah dan benar. Padahal, elemen-elemen perkotaan inilah yang lebih dari sekedar narasi simplistik dan justru membutuhkan pemahaman lebih lanjut.
Elemen perkotaan yang salah satunya dilabeli negatif adalah pedagang kaki lima (PKL). Dampaknya, PKL seringkali tidak mendapatkan tempat dalam pandangan masyarakat perkotaan. Terlebih lagi, dengan menumpuknya stigma-stigma negatif menjadikan PKL sebagai kambing hitam dalam ketidakteraturan dan kekumuhan pada kota.
Diskusir #6 kali ini yang bertajuk “Elegansi Lima Kaki: PKL dan Hikayat Tepi Laluan” bertujuan untuk mengeksplorasi pengetahuan PKL kepada audiens dan memberikan perspektif alternatif yang memposisikan PKL sebagai elemen yang padu terhadap sistem hidup perkotaan.
Bertempat di Lo.Ka.Si, Diskusir yang diselenggarakan pada Senin, 19 Maret 2018 ini diperkaya oleh pandangan dan pengalaman tiga pemantik, yakni Andi Bhatara dari Komune Rakapare, Hizrah Muchtar dari Praksis, dan Fatchur Rohman dari Sanggare. Ketiga pematik sudah lama memiliki interaksi intensif dengan PKL. Sebagaimana dikemukakan oleh Bhatara dan Fatchur, PKL menjadi suatu elemen kota yang “menghidupkan” mereka. Ada pun Mbak Jai yang melakukan pendampingan dan menulis disertasi mengenai PKL.
Membuka sesi pemaparan, Bhatara memaparkan beberapa hasil pengalaman penelitiannya terkait PKL, yakni sejarah PKL serta konteksnya dalam kontestasi ruang dan hak atas kota. Ditinjau dari segi sejarah, PKL memiliki dampak yang signifikan terhadap struktur ekonomi masyarakat. Menurutnya, polemik PKL hadir dari munculnya dilema pembangunan dari bagaimana kaum Eropa di negara jajahan memandang isu perkotaan dari kacamata Barat. Hal ini menciptakan imaji yang diinginkan dari sebuah ekspansi tempat oleh seorang penjajah,
Dalam konteks PKL, hal tersebut dapat dilihat dari perwujudan trotoar jalan yang harus dibuat 5 (lima) kaki dan dilengkapi verandah (beranda). Dampak dari kebijakan kolonialisme yang top-down tersebut memunculkan kontradiksi penggunaan ruang serta hilangnya ruang komun (common space, berbeda dengan public space). Kontestasi atas siapa yang berhak menentukan perbedaan fungsi ruang tersebut pada akhirnya memunculkan fenomena ‘formalizing the informal’ yang kemudian dilakukan oleh pemerintah.
“Dalam memandang PKL, kita juga harus bisa memahami bagaimana konteks sejarah mereka (di Indonesia). Karena, saat ini, kita banyak melihat pola-pola yang hampir sama dengan apa yang terjadi dahulu.” — Andi Bhatara, Komune Rakapare.
Sama halnya dengan Bhatara, Hizrah Muchtar (atau yang lebih akrab dipanggil Mbak Jai) berpendapat bahwa untuk memahami permasalahan PKL, penting untuk mengetahui lebih dalam mengapa PKL itu penting dan tidak penting dalam konteks perkotaan. Praksis, sekumpulan mahasiswa arsitektur dari ITB, ITENAS, dan UNPAR, pernah memiliki pengalaman dalam mengorganisasi dan membuat gerakan yang fokus pada pemetaan aglomerasi PKL di Kota Bandung. Mereka mengadakan pendampingan dan penataan PKL di daerah Otista melalui forum multi-stakeholder, pendampingan pemetaan partisipatif, dan perwujudan kesepakatan PKL akan pentingnya menjadi suatu organisasi yang solid.
Berdasarkan pengalaman tersebut, Mbak Jai memaparkan karakteristk-karakteristik empiris dari PKL — mulai dari latar belakang orang berjualan sebagai PKL hingga adanya parallel structure, yakni adanya kepentingan dan uang yang mengalir dalam industri PKL yang membuatnya susah untuk ditertibkan. Selain itu, meski perancangan hanyalah menjadi sebagian kecil dari pendampingan Praksis, namun jika PKL dapat diatur dengan baik maka mereka dapat menghidupkan ruang yang “kosong”. Maka dari itu, keberadaan PKL harus disesuaikan dengan estetika kawasan.
“Untuk mengerti PKL itu harus jelas secara makro, tetapi juga harus mengerti mikro.” — Hizrah Muchtar, Praksis.
Setelah Mbak Jai, giliran Fatchur berbagi pengalamannya mengenai upaya pendampingan PKL dalam mendesain dan mengorganisasikan diri. Sebagai seorang mahasiswa bisnis, Fatchur memberikan perspektif yang sangat menarik mengenai siasat PKL dalam berwirausaha. Disadari atau tidak PKL memberikan suatu value yang disampaikan kepada para pembelinya. Vernakularitas juga hadir dalam keseharian PKL, yang mana hal ini kemudian membentuk identitas yang khas.
Contoh yang paling sering dijumpai adalah spanduk kedai pecel lele. Bukan hanya sekadar penanda, warna-warni dan ilustrasi di spanduk ini menunjukkan latar belakang budaya, pengalaman, dan kondisi mereka dalam berjualan. Dengan maraknya penggusuran PKL di Kota Bandung, vernakularitas PKL pun terpengaruhi dan PKL harus beradaptasi — baik secara produk maupun operasi — terhadap fenomena tersebut.
“Pada kasus PKL, tidak berarti mereka seenaknya dalam berbisnis, tapi ada pendekatan yang berbeda saja.” — Fatchur Rohman, Sanggare.
Pada sesi tanya jawab, muncul berbagai pertanyaan menarik:
- Siapa yang berhak atas kota dan kontestasi ruang di dalamnya?
- Apakah PKL yang kerapkali dilabeli sebagai entitas informal perlu diformalkan?
- Bagaimana signifikansi PKL dalam konteks perkotaan dari segi bisnis?
- Bagaimana konsep desain yang baik dalam melakukan pendampingan PKL pada ruang yang terbatas?
- Bagaimana masyarakat umum dapat “membaca” agar dapat lebih memahami PKL?
Menurut Bhatara, dari munculnya polemik dan perlawanan PKL di berbagai negara, tidak ada pemerintah yang menindaklanjuti dengan memberikan ruang. Menurutnya, pada dasarnya PKL itu pedagang. PKL bukanlah bisnis alternatif, namun merupakan opsi terakhir untuk bertahan hidup, terutama setelah krisis moneter. Persoalan mengenai PKL bukan di ruang, tetapi di relasi kuasanya — siapa yang berhak menetukan pembagian fungsi atas ruang. Maka dari itu, menurutnya, jika ada program yang menindaklanjuti atas informalitas, perlu ditelusuri entitas macam apa yang memiliki akses politik. Kerap kali, intervensi terhadap PKL yang gagal merupakan manifestasi ketidaksesuaian imaji segelintir entitas yang memiliki akses politik dengan kondisi perkotaan yang ada.
Selain itu, Mbak Jai menambahkan bahwa intervensi terhadap PKL itu bukanlah suatu hal yang straight forward. Berdasarkan pengalaman Praksis dan sisi penelitian, tidak semua permasalahan PKL harus diselesaikan dengan relokasi. Semua tergantung konteks dan bagaimana mewujudkan suatu solusi yang baik untuk semua pihak. Untuk mencapai solusi tersebut, pemerintah harus mengentahui potensi yang ada, yakni dengan cara memetakan karakteristik-karakteristik mikro maupun karakteristik aspasial dari PKL.
Dari praktik bisnis PKL, Fatchur menambahkan bahwa salah satu karakteristik PKL dalam mempresentasikan produknya ke pelanggan adalah melalui “jemput bola”. PKL bisa hidup di perkotaan karena adanya permintaan dan mereka pun melakukan segmentasi atas permintaan-permintaan tersebut. Maka dari itu, desain produk yang dibuat pun dibuat sesuai dengan konteks objek sehingga dapat spesifik menjangkau pelanggan. Oleh karena itu, jika hendak melakukan intervensi di lapangan, sangat kecil sekali kemungkinan untuk menetapkan standar yang sama bagi seluruh PKL.
Pada akhir diskusir, diberikan kesempatan untuk Mas Dwiky, perwakilan dari PKL Ganesha, untuk mengutarakan pendapat dan aspirasinya khususnya terkait hubungan seperti apa yang diinginkan PKL dengan masyarakat. Salah satu aspirasi yang paling menarik adalah, kendati pragmatisme (yang penting bisa jualan) PKL, sebenarnya ada keinginan dan harapan terhadap usaha-usaha pengorganisasian PKL.
Akhir kata, Diskusir kali ini memuculkan urgensi baru dalam memahami PKL: agar tidak ahistoris dan seenaknya memberikan stigma negatif. Kenyataannya, PKL memiliki posisi yang signifikan dalam perkembangan kota dan merupakan suatu komponen yang setara dengan masyarakat lainnya.
Apakah kita berhak menghakimi? Jangan sampai.