Editorial

Pohon dan Rizoma di Kota Kita

Memahami Informalitas dari Perspektif yang Berbeda

Naufal R. Indriansyah
Kolektif Agora
Published in
5 min readOct 16, 2017

--

Foto oleh Sangkara Nararya, 2017

Makan siang merupakan hal yang esensial dalam kehidupan kita. Perut yang lapar seringkali sejalan dengan kondisi finansial yang sama kosongnya. Pilihan kita selalu jatuh pada makanan yang terjamin bersih dan enak tapi mahal, atau makanan yang murah (dengan meyakinkan diri bahwa makanan itu juga bersih dan enak). Saya rasa keberadaan pedagang kaki lima (PKL) cukup dapat mengakomodasi pilihan kedua.

Tempat tidur merupakan hal yang sama esensialnya dalam kehidupan kita. Rumah yang nyaman dan asri seringkali identik dengan harga sewa atau jual yang mahal. Bagi para pendatang dari desa, dengan terbatasnya akses terhadap rumah yang layak, mengakses rumah dengan kondisi yang layak adalah sebuah kesulitan sendiri. Saya rasa keberadaan kampung-kota atau apa yang disebut orang sebagai permukiman kumuh itu cukup dapat memberikan alternatif perumahan bagi para pendatang tersebut.

Kedua hal tersebut (PKL dan kampung-kota) merupakan hal-hal yang kita anggap sebagai sebuah alternatif. Kita — dalam konteks ini — adalah bagian dari masyarakat kota yang dapat makan enak serta tinggal di rumah yang layak. Tak jarang sebagian dari kita juga menganggap hal-hal tersebut sebagai sebuah gangguan, sumber masalah, sumber penyakit, dan sebagainya. Sebagian dari kita sangat enggan memijakkan kaki di kampung-kota atau juga membeli panganan ringan di PKL. Kita menganggap kedua hal tersebut sebagai hal-hal yang sulit dipahami dan sulit diatur, dan merupakan bentuk yang “lebih baik jika tidak ada” di kota kita.

Anggapan tersebut merupakan sesuatu yang dapat dimaklumi. Segala macam bentuk yang tidak bisa dinalar, tidak sesuai dengan nilai dan norma, atau juga melanggar hukum dan peraturan merupakan hal-hal yang buruk dan mengancam. Akhirnya kita pun terjebak dalam keberpihakan antara dua spektrum yang berbeda dalam konteks ini: formal dan informal. Bagi pemerintah, informalitas perkotaan merupakan penghambat pembangunan. Dan bagi para pengusaha, informalitas ini juga menyumbat aliran profit.

Tapi, tentunya kita belum melibatkan “kita” yang lainnya. Maksudnya, alangkah lebih baik jika kita memahami bagaimana “kita” yang lain berakhir menjadi sebuah hal yang kita acuhkan. Apakah mereka merasa bahwa apa yang mereka lakukan melanggar aturan? Bagaimana jika kita malah sesuatu yang buruk bagi mereka? Lantas, bagaimana pula baiknya menangani hal ini?

Ini Semua Masalah Perspektif: Analogi Pohon dan Rizoma

Untuk mempermudah memahami hal tersebut, saya akan coba memakai analogi yang disampaikan Koster dan Nuijten (2016) dalam tulisannya Co-producing urban space: rethinking the formal-informal dichotomy, yakni konsep pohon dan rizoma. Analogi tersebut sebenarnya muncul dari tulisan Gilles Deleuze dan Felix Guattari (1972) dalam proyek mereka Capitalism and Schizophernia mengenai sebuah pandangan terhadap moda pengetahuan dan model sosial dan budaya. Pandangan inilah yang disebut sebagai rhizome.

Rizoma (dalam bahasa Indonesia) menggambarkan teori dan penelitian yang memungkinkan titik-titik awal dan akhir dalam representasi dan interpretasi data sebagai sesuatu yang non-hierarkis dan banyak. Pandangan tersebut berkontradiksi dengan arboresen (hierarkis, menyerupai pohon) sebagai sebuah konsepsi ilmu pengetahuan, dimana terdapat kategori-kategori dualistik dan pilihan-pilihan biner.

Sebagai sebuah model budaya, rizoma menolak struktur organisasional dari sistem pohon. Sebuah rizoma memiliki “hubungan tak henti-hentinya antara rantai semiotik, organisasi kekuasaan, dan keadaan yang berkaitan dengan seni, sains, dan perjuangan sosial”. Pergerakan yang bersifat planar dari sebuah rizoma menolak organisasi dan kronologi, dan mendukung sistem nomaden dari pertumbuhan dan propagasi.

Sumber: http://www.mantlethought.org/sites/default/files/article/1658/body-images/rhizome.png

Secara mudah sebenarnya kita dapat menganalogikan bahwa pohon merupakan hal-hal formal dan rizoma merupakan hal-hal informal. Tidak heran, karena memang beberapa literatur arsitektur dan perencanaan pernah mengangkat analogi yang sama. Dalam konteks ini, perencanaan kota yang “formal” adalah pohon yang diharapkan mampu mengatasi dan menantang sifat kaum miskin kota yang tidak dapat diprediksi, otonom, dan sifat rizomatik lainnya.

Namun, pandangan tersebut sebenarnya tidak mampu meneliti lebih dalam bagaimana kondisi dari — contohnya —permukiman informal yang sebenarnya juga memiliki sifat-sifat arboreal (menyerupai pohon). Beberapa kampung-kota di Kota Bandung, misalnya, memiliki keteraturan dan stabilitas tersendiri, terlepas dari bagaimana pandangan orang luar seperti kita yang melihat ketidakteraturan, kekumuhan, dan konotasi lainnya yang bersifat rizomatik. Strategi penghidupan yang kita pandang informal dari luar, sebenarnya dari dalam merupakan sesuatu yang lebih intrinsik, mewujud dalam sejarah kehidupan masyarakatnya sendiri, dan telah berkembang dari waktu ke waktu. Mereka memiliki organisasinya sendiri, sistem politik tersendiri, sistem sosial yang unik dan mungkin memang berbeda dari jenis permukiman lainnya di perkotaan yang lebih kita anggap “lebih baik”.

Jika kita mengambil perspektif akar rumput seperti ini, kita bahkan sebenarnya bisa melihat bahwa perencanaan (pembangunan) formal sebagai sesuatu yang rizomatik. Berbagai kasus penggusuran yang terjadi di kota-kota besar Indonesia, dalam perspektif ini, seringkali menimbulkan kebingungan dan ketakutan dari penghuni permukiman tergusur. Telah menjadi sebuah pengertian umum bahwa prosedur resmi dalam pembangunan diimplementasikan lewat logika uang dan relasi, yang berarti bahwa hukum sebenarnya melayani mereka yang kaya dan berkuasa.

Selangkah ke Seberang: Perencanaan sebagai Jembatan

Berbagai upaya untuk mengendalikan (atau bahkan mem-formal-kan) informalitas pada akhirnya bukan merupakan urusan birokratis dan teknis yang sederhana, tapi merupakan masalah politik yang kompleks. Ananya Roy (2005), dalam tulisannya Urban Informality: Toward an Epistomology of Planning, menyatakan bahwa perencana dan informalitas memiliki hubungan yang complicated. Bagi para perencana, berurusan dengan informalitas berarti juga berurusan dengan bagaimana aparatus perencanaan memproduksi hal-hal yang tidak direncanakan (unplanned) dan tidak bisa direncanakan (unplannable).

Roy berargumentasi bahwa selama ini perencanaan masih berkiblat pada berbagai model best practice, dengan pemikiran bahwa model-model yang baik di satu tempat akan menjadi jawaban pula di tempat lainnya. Utopia di kepala kita tentang “perencanaan yang baik” atau “kota yang rapi” selama ini mengesampingkan fakta bahwa terdapat kesalahan-kesalahan dan juga limitasi dari model perencanaan yang diterapkan. Padahal, jika kita berani berurusan dengan fakta tersebut, kita dapat melihat bahwa terdapat pembelajaran yang nyata.

“Confronting the failures and limitations of models provides a more realistic sense of politics and conflicts, and also forces planning to face up to the consequences of its own good action.” — Roy, 2005

Dengan sudut pandang yang berbeda mengenai informalitas yang telah disebutkan di atas, maka seharusnya kita dapat menelaah lebih dalam bagaimana kaum miskin kota bernavigasi, mengatur strategi dan taktik penghidupan dalam keseharian mereka. Keberagaman navigasi ini juga mengarahkan lansekap sosial politik dan fisik perkotaan yang terus berubah-ubah. Dengan mengombinasikan pendekatan arboreal dan rizomatik, mereka menunjukkan usaha untuk merenggut hak mereka atas kotanya. Manifestasi tersebut seharusnya mampu dipertimbangkan dan diperhitungkan secara lebih serius, sejalan dengan usaha perencanaan yang lebih evaluatif.

Referensi

  • Koster, Martijn dan Nuijten, Monique (2016), Coproducing urban space: Rethinking the formal/informal dichotomy. Singapore Journal of Tropical Geography 37, hal. 282–294.
  • Roy, Ananya (2005), Urban Informality: Toward an Epistemology of Planning. Journal of the American Planning Association 71, hal. 147–158.
  • Wikipedia (2017). Rhizome (philosophy). Diambil dari Wikipedia: https://en.wikipedia.org/wiki/Rhizome_(philosophy)

Naufal Rofi Indriansyah
Koresponden Kolektif Agora

--

--

Naufal R. Indriansyah
Kolektif Agora

Managing Editor at Kolektif Agora | Writing about (Indonesian) cities, urbanization, informality, politics, and everything in between