ESAI / HALUAN

PPKM: Ambiguitas dan Kegagalan

Telaah Ulang Kebijakan Berbasis Pengendalian COVID-19

Nanda Jasuma
Kolektif Agora

--

Foto oleh Rio Lecatompessy, unsplash.com, 2020.

Tahun 2020 yang menandai awal mula pandemi di Indonesia sudah berlalu. Bukannya semakin membaik, keadaan justru bertambah parah. Tercatat pada 8 Februari 2021, sudah ada 1,15 juta kasus positif COVID-19 di Indonesia, dengan lebih dari tiga puluh ribu jumlah kematian.

Berbagai kebijakan sudah diterapkan oleh pemerintah, mulai dari kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), hingga yang terakhir, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Meski begitu, kebijakan berbasis pengendalian COVID-19 yang diterapkan berulang kali tetap tidak menghasilkan dampak signifikan.

PPKM, sebagai sebuah kebijakan baru, cukup mengundang perhatian, setidaknya bagi penulis. Saat pertama kali diumumkan, kebijakan PPKM dinyatakan berlaku sejak tanggal 11 hingga 25 Januari 2021, khususnya di wilayah Pulau Jawa dan Bali yang dianggap sebagai wilayah penyebaran COVID-19 tertinggi.

Tepat empat hari sebelum masa PPKM diakhiri, pemerintah kembali mengeluarkan pengumuman untuk memperpanjang PPKM hingga 8 Februari 2021. Dinilai tak lagi berhasil, untuk kedua kalinya, PPKM diperpanjang lagi tepat pada 9 Februari dan akan berakhir pada 28 Februari 2021. Dengan sedikit perubahan, presiden Jokowi menamakan program lanjutan tersebut dengan PPKM Mikro.

PPM Mikro ini nantinya akan fokus pada skala wilayah yang lebih kecil seperti RT/RW, sehingga pengendalian akan lebih efektif karena para pemangku kebijakan dan satgas lokal yang bertugas dapat lebih fokus fokus.

Sebelum membahas kebijakan baru hasil “modifikasi” PPKM tersebut, baiknya kita lakukan kilas balik mengenai kebijakan yang sudah berjalan hampir satu bulan melalui dua kali perpanjangan tersebut. Apakah memang benar tidak ada perubahan signifikan, atau setidaknya penurunan angka kasus? Jika ya, mengapa? Siapa yang salah? Siapa yang bertanggung jawab? Apakah pemerintah benar-benar gagal?

Peraturan yang Tumpang Tindih

Dalam beberapa peraturan PPKM, terlihat peraturan yang terbilang tidak efektif karena dinilai tumpang tindih. Di Instruksi Gubernur DIY №1/INSTR/2021 tentang Kebijakan Pengetatan Secara Terbatas Kegiatan Masyarakat, misalnya, dinyatakan bahwa ada pembatasan 50% kerja dari rumah (WFH) dan 50% kerja dari kantor (WFO). Sedangkan pada pasal lainnya dikatakan bahwa restoran dan perbelanjaan tetap dapat beroperasi 100% dengan pembatasan pengunjung sebanyak 25% pada restoran dan maksimal makan di tempat (dine in) pada pukul 19.00.

Jika dibaca sekilas, mungkin ini terdengar baik karena adanya pembatasan pengunjung. Namun, jika ditelaah lagi, kedua peraturan ini sebenarnya tumpang tindih. Pertama, jika ada kebijakan bekerja WFH dan WFO dalam porsi separuh, maka kita perlu perhatikan jumlah pekerja yang melakukan WFH, tapi belum tentu “di rumah”. Pekerja WFH bisa saja bekerja di luar rumah, entah itu restoran, kafe, atau sekadar working space.

Mari ambil permisalan jika separuh dari pekerja WFH (25%) memilih bekerja di kafe, maka ini sudah memenuhi batas maksimal kapasitas satu kafe saja. Lantas, apakah 100% kafe di Yogyakarta, misalnya, mematuhi protokol kesehatan sepenuhnya? Saya rasa tidak. Di Jalan Cempaka, Gejayan, saja terdapat tiga kafe yang tidak menerapkan pembatasan pengunjung pada siang hari. Hal ini berakibat pada jumlah pengunjung kafe yang bisa mencapai 100% seperti hari biasa.

Selanjutnya, kebijakan dine in dengan batas jam 19.00 terlihat sangat tidak solutif. Adakah dasar tertentu yang sesuai fakta lapangan bahwa jam ramai pengunjung kafe atau restoran di atas jam 19.00? Bagaimana dengan rumah makan konvensional seperti warung soto, misalnya, yang justru akan ramai pengunjung di jam makan siang? Banyaknya kerumunan belum tentu hanya ada di atas jam 19.00. Sedangkan, kebijakan ini hanya menekankan kerumunan di waktu malam hari.

Intervensi yang Tanggung

Pada instruksi kedelapan gubernur memerintahkan kepala desa atau kelurahan untuk melakukan pencegahan COVID-19. Namun, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai apa saja yang harus dilakukan.

Selain itu, instruksi ini secara tidak langsung menggambarkan bahwa adanya intervensi yang setengah-setengah dalam penanganan pandemi. Jika sudah diserahkan tanggung jawab penanganan pada kepala daerah setempat, semestinya tidak diperlukan lagi alur pelaporan kepada atasan, yang dalam hal ini adalah gubernur. Bentuk seperti ini justru menandakan tidak efisiennya sistem birokrasi di negara kita. Padahal, kombinasi pencegahan dengan intervensi serius dari pemangku kepentingan akan secara signifikan memberi dampak positif pada penurunan kasus COVID-19 (Dergiades dkk, 2020).

Gubernur seharusnya secara terbuka memercayakan penanganan daerah tertentu kepada kepala daerah. Fungsi gubernur hanya untuk memonitor saja apakah kepala daerah melakukan kerja dengan baik atau tidak. Sehingga, tidak ada ada intervensi yang setengah-setengah. Selain itu, kepala daerah juga harus dengan berani melakukan penanganan dengan sangat tegas.

Di daerah Caturtunggal, Depok, DIY, misalnya, penerapan penanganan COVID-19 dari kepala daerah setempat seperti lurah justru tidak terlihat berjalan dengan baik sejak PPKM diberlakukan. Tidak ada penyuluhan khusus yang disampaikan terkait PPKM dan hal lainnya yang berkaitan dengan penanganan COVID-19. Hal ini perlu menjadi PR yang serius bagi pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan yang mengarah ke intervensi dari kepala daerah.

Menilik Kegagalan

Alih-alih diharapkan dapat menekan laju kasus positif COVID-19, PPKM terlihat tak membantu banyak. Sejak awal ditetapkannya kebijakan yang difokuskan hanya ke Pulau Jawa dan Bali ini, terbukti angka penurunan kasus tidak terpengaruh secara signifikan. Bahkan, dalam sepekan setelah kebijakan diterapkan, angka kasus harian bertambah secara signifikan. Pertama kali PPKM diberlakukan, tercatat ada 8.692 kasus baru pada tanggal 11 Januari 2021. Dalam pekan pertama pemberlakuan PPKM, jumlah kasus tertinggi tercapai pada 16 Januari yaitu sebanyak 16.224 kasus baru positif COVID-19.

Dengan masih terus berharap, pemerintah kini mencoba mengubah kebijakan PPKM dengan pembatasan berskala mikro agar dapat lebih efisien. Dari segi nama, program ini terdengar cukup meyakinkan karena melibatkan stakeholder yang berada lebih dekat dengan warga. Sayangnya, dalam penerapan, semangat stakeholder yang ditunjuk tidak sejalan dengan semangat program tersebut.

Berbagai masalah seperti tumpang tindih kebijakan dan intervensi yang setengah-setengah seperti yang sudah dijelaskan penulis sebelumnya, juga menggambarkan bahwa program ini tidak akan berjalan dengan semestinya. Ditambah lagi dosis vaksinasi yang terbatas jika dibandingkan negara lain. Hal inilah yang kemudian membuat beberapa ahli menyatakan bahwa COVID-19 di Indonesia bisa jadi akan selesai dalam sepuluh tahun lagi.

Jika memang benar perkiraan para ahli bahwa kita bisa lepas sepenuhnya dari COVID-19 dalam waktu selama itu, maka setidaknya dapat dikatakan bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah terkait penanggulangan pandemi, baik sejak PSBB hingga PPKM, telah sia-sia.

Menilik kegagalan yang sudah terjadi — dan mungkin akan terjadi lagi di PPKM Skala Mikro — rasanya sudah sepantasnya kita berbenah diri. Kebijakan solutif dari pemerintah telah berulang kali gagal dan rasanya sulit untuk diharapkan kembali.

--

--