Editorial

Pseudo-urbanisasi dan Kota Semut

Solusi dan Sudut Pandang Alternatif Masalah Perkotaan dalam Kajian Kewilayahan

Alvaryan Maulana
Kolektif Agora

--

Metropolitan Bandung Raya, Dok Pribadi, 2017

Tak bosan-bosannya publikasi dan propagasi mengenai pembangunan yang lestari serta kehidupan perkotaan yang lebih baik kualitasnya digencarkan oleh penggiat perkotaan. Tentu saja yang mendasarinya adalah fakta di mana lebih dari separuh populasi penduduk di dunia tinggal di wilayah perkotaan. Narasi yang dibawa bermacam-macam, mulai dari Kota Cerdas, Kota Hijau, gerakan berjalan kaki atau bersepeda ke kantor, hingga pengakraban masyarakat perkotaan dengan ruang-ruang publik yang semakin hari semakin absen ditengah kehidupan perkotaan yang serba cepat dan individualistis. Pendekatan yang lebih “hard” merupakan proyek yang tidak pernah berhenti dilaksanakan di wilayah perkotaan. Yang paling umum tentu saja pembangunan jalan tingkat, jalan tol, infrastruktur perairan, hingga pembangunan moda transportasi alternatif seperti LRT dan Underground Train.

Semua upaya tadi merupakan respon terhadap permasalahan perkotaan, mulai dari kemacetan, akses terhadap pelayanan dasar, permukiman kumuh, dan masalah lain seperti kriminalitas serta keamanan. Tapi, apakah persoalan itu merupakan sebuah keniscayaan dalam proses “peng-kota-an” yang sudah terjadi di seluruh penjuru planet (Brenner, 2015), ataukah sebenarnya hanya dampak dari proses pengkotaan yang tidak matang?

Pseudo-Urbanisasi

Ada istilah untuk menyebut proses pengkotaan yang tidak matang tersebut. Pseudo-urbanisasi adalah keadaan ketika sebuah kota tidak mampu menampung penduduk beserta aktivitasnya dalam hal menyediakan mata pencaharian, perumahan, dan infrastruktur. (Yew, 2012) Pseudo-urbanisasi berarti bahwa proses urbanisasi tidak selaras dengan industrialisasi atau modernisasi yang merupakan salah satu sifat perkotaan. Dalam bahasa yang lebih sederhana, proses “pengkotaan” tidak terjadi secara semestinya. Itulah mengapa beberapa kota-kota besar, terutama di dunia ketiga (saya seringkali mempertanyakan kebenaran klasifikasi ini, tapi kali ini saya meminjam istilah negara dunia ketiga untuk kepentingan tulisan ini), memiliki ukuran populasi yang sangat besar, namun gagal dalam menyediakan pelayanan perkotaan dan serta merta diikuti oleh masalah mendasar perkotaan seperti pemukiman dan sarana prasarana dasar (air, listrik, sekolah, kesehatan). Hal itu terjadi karena kepadatan perkotaan membutuhkan infrastruktur yang jauh lebih baik dan tentu saja lebih banyak daripada kehidupan perdesaan. Variasi kegiatan dan akses terhadap informasi mendorong beragamnya preferensi sehingga keberadaan infrastruktur menjadi sangat terbatas dan proses pemenuhannya membutuhkan konsensus yang luar biasa panjang. Belum lagi kelas sosial yang sangat beragam. Proses yang pseudo ini mendapatkan dorongan dari wilayah pedesaan (yang relatif miskin).

Kehidupan desa yang tentu saja kalah menarik. Belantara Kalimantan, Dok Pribadi, 2017

Dorongan dari desa — biasanya berupa migrasi penduduk karena iming-iming kehidupan yang lebih baik — seringkali dianggap sebagai external forces yang menganggu dinamika perkotaan. Sudut pandang kewilayahan yang berbasis batas administrasi menyebabkan kekakuan dalam memandang persoalan-persoalan perkotaan. Jika narasi mengenai urbanisasi setengah matang ini benar, maka salah satu aspek yang perlu dipahami adalah ketimpangan antara desa dan kota, serta kontribusinya terhadap degradasi kualitas perkotaan. Pada studi yang dilakukan oleh Yang (1999) mengenai ketimpangan wilayah perdesaan dan perkotaan di China pada tahun 1980-an hingga 1990-an, ketimpangan antara perdesaan dan perkotaan disebabkan oleh kebijakan yang bias perkotaan. Bisa tersebut salah satunya berupa kucuran dana yang diberikan wilayah-wilayah perkotaan lebih besar dibandingkan kucuran dana di perdesaan. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh otoritas pemerintahan juga lebih berpihak pada wilayah perkotaan.

Ketimpangan Pembangunan antar Wilayah

Dalam konteks Indonesia, narasi mengenai ketimpangan pembangunan merupakan narasi umum. Mulai dari ketimpangan antar bagian wilayah Indonesia, ketimpangan Jawa dan luar Jawa, dan tentu saja ketimpangan antara desa dengan kota. Dalam perspektif pengembangan wilayah, ketimpangan tersebut bukanlah hal yang bersifat given, melainkan sebuah dampak dari bias-bias dalam mengambil kebijakan dan menjalankan agenda pembangunan.

Adanya wilayah-wilayah yang menjadi anak emas dalam pembangunan merupakan salah satu faktor yang berkontribusi dalam melanggengkan buruknya kualitas perkotaan. Hipotesis saya: perlakuan yang “tidak adil” antar wilayah berkontribusi langsung terhadap permasalahan perkotaan, dan tentu saja permasalahan perdesaan.

Kecenderungan untuk menumpuk modal pada satu titik yang sudah dapat dipastikan keberhasilan dan nilai ekonominya merupakan pilihan yang dapat dimengerti. Motif ekonomi merupakan bensin pembangunan dan investasi yang paling mujarab. Namun, perlu dipahami bahwa tiap wilayah “emas” tersebut memiliki keterbatasan-keterbatasannya (carrying capacity). Jika batasan lingkungan bisa diabaikan dengan cara menabrak norma-norma ekologis dan batasan ruang bisa diabaikan dengan memproduksi ruang bertingkat, maka degradasi kualitas perkotaan akibat penambahan jumlah penduduk yang terus menerus tidak bisa dengan mudah direkayasa. Laju perpindahan tersebut yang kemudian menyebabkan pseudo-urbanisasi.

Urgensi Sudut Pandang Kewilayahan dalam Isu Perkotaan

Kajian wilayah kemudian menjadi penting untuk memahami mengapa orang berduyun-duyun pindah dari wilayah perdesaan ke perkotaan, dan bahkan berpindah menuju kota-kota tertentu secara spesifik. Alasannya sederhana, barisan semut-semut dari penjuru daerah yang kurang gula ini melihat kucuran butiran yang tak kunjung henti di kota-kota. Kecenderungan pemilik modal dan pemerintah untuk “berinvestasi” di wilayah perkotaan dan kota-kota tertentu secara spesifik menjadi kucuran gula yang senantiasa menarik semut-semut dari penjuru wilayah lain.

Misalnya dalam konteks DKI Jakarta, sudah menjadi rahasia umum bahwa Jakarta merupakan tempat peraduan nasib terbaik di Indonesia. Maka, seluruh pencari keberuntungan seantero Indonesia berlomba-lomba pindah ke Indonesia. Contoh lain, aglomerasi institusi pendidikan tinggi di wilayah perkotaan tertentu juga menjadi kucuran gula yang menarik minat semut-semut dari penjuru daerah. Perpindahan semut-semut tersebut yang kemudian menjadi biang keladi degradasi kualitas perkotaan. Meski punya uang sebegitu banyak, sampai kapan Jakarta, Bandung, atau Surabaya mampu bertahan untuk menopang beban yang sedemikian berat dan tidak kunjung berhenti pertambahannya?

Memahami kota-kota sebagai titik-titik konsentrasi penduduk, modal, aktivias, hingga ketersediaan informasi, bisa memberikan sentuhan baru dalam upaya perbaikan kualitas perkotaan, terutama kota-kota yang sudah kelebihan beban. Sebaliknya, bagi wilayah-wilayah lain — wilayah perdesaan atau wilayah perkotaan yang kurang terkenal — menghadirkan mereka dalam arena pembahasan persoalan perkotaan memberikan kesempatan untuk mendapatkan peluang-peluang peningkatan kualitas kehidupan dan pelayanan.

Tentu saja, pembahasan perencanaan dan pembangunan di Indonesia tidak lengkap tanpa memasukan aspek birokrasi yang punya tujuan baik, tapi seringkali salah sasaran dan salah cara. Pemerintah pusat sudah fasih dalam mengintervensi pembangunan di skala kabupaten/kota dengan iming-iming Proyek Strategis Nasional atau karena urusannya melibatkan dua pemerintahan provinsi yang berbeda merupakan modal awal untuk menyelesaikan persoalan perkotaan. Alih-alih membangun LRT atau MRT, pemerintah pusat bisa dengan mudah menjadi wasit yang adil sehingga kucuran gula bisa tersebar dengan lebih merata sehingga konsentrasi semut tidak hanya berorientasi pada satu-dua titik saja. Membangun infrastruktur yang bisa menstimulus perekonomian, membuka universitas baru, hingga menyusun slogan dan kampanye untuk mendiseminasi dan mempopulerkan wilayah merupakan pekerjaan yang relatif lebih mudah dan murah untuk dilaksanakan dibandingkan dengan menggadaikan aset-aset negara demi membangun infrastruktur yang usia efisiensinya pendek. Kembali, karena laju perpindahan penduduk menuju kota-kota tertentu tersebut tidak dikendalikan.

Penutup

Tanpa bermaksud mendemonetisasi upaya-upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan persoalan perkotaan, memahami persoalan perkotaan lewat perspektif kewilayahan merupakan sebuah pendekatan alternatif yang layak dipertimbangkan. Secara naif saya berkata bahwa pendekatan alternatif ini dapat dibuktikan secara akademis dan empiris. Tapi, saya tentu tidak bodoh juga. Dengan sadar saya mengetahui bahwa pilihan-pilihan dalam pembangunan pada dasarnya berada dalam demarkasi konsensus politik. Pada akhirnya, ke mana gula-gula tersebut akan ditaburkan berakhir pada tangan-tangan mereka yang sedang menjabat. Tulisan ini sengaja saya simpan terlebih dahulu supaya nanti ketika mereka sudah kehabisan akal dan uang untuk memoles momok kota-kota kesayangannya, mereka punya sesuatu untuk dibaca.

Referensi

  • Brenner, N., & Schmid, C. (2011). Planetary urbanisation (pp. 10–13). Jovis.
  • Tao Yang, D., & Zhou, H. (1999). Rural‐urban disparity and sectoral labour allocation in China. The Journal of Development Studies, 35(3), 105–133.
  • Yew, C. P. (2012). Pseudo-urbanization? Competitive government behavior and urban sprawl in China. Journal of Contemporary China, 21(74), 281–298.

Alvaryan Maulana
Sebuah kultus

--

--