Esai / Warga

Refleksi Melintas Zaman: Partisipasi Warga Terhadap Pembangunan di Ruang Kota

Kolektif Agora
Kolektif Agora
Published in
10 min readJun 16, 2020

--

Oleh: Aditya R. Pratama & Eliesta Handitya

Jalan Braga di Pertengahan 1930-an. Foto oleh Tropenmuseum, bagian dari National Museum of World Cultures, CC BY-SA 3.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=8608099.

Ketika membayangkan kota-kota Indonesia pada zaman lampau, memori kita seringkali bertaut pada imaji mengenai kota kolonial: Bandung dengan Jalan Braga, Semarang dengan Kota Lama hingga Jakarta dengan Kota Tua, Menteng, atau Weltevreden. Imaji tersebut lengkap dengan visualisasi bangunan-bangunan megah bergaya Art-Deco maupun Indisch-Tropisch (arsitektur tropis [1]).

Kota-kota kolonial di Indonesia biasanya juga ditandai dengan pola jalan yang teratur, trotoar lebar, taman-taman di berbagai sudut, hingga lalu-lalang trem sebagai moda transportasi utama pada masanya. Saat sedang berada di sebuah bangunan era “kolonial”, kita barangkali akan membayangkan sedang berada di sebuah komplek bangunan bercat gading dengan pilar-pilar megah.

Tidak dapat dimungkiri, gambaran dan ingatan kita sedemikian kokoh tatkala membayangkan kota-kota kolonial sebagai representasi dari kota Indonesia di masa lampau.

Jika melihat kompleksitas kota kolonial, memang penting untuk memijak pada narasi mengenai kota kolonial yang dibangun untuk menjahit kebutuhan perekonomian dan pemerintahan kota secara komprehensif.

Namun, romantisisme terhadap kota kolonial acap membuat kita luput.

Di balik kemegahan dan keteraturannya, kota-kota kolonial dirancang berdasarkan segregasi rasial yang ketat. Sebab, terbentuknya kota kolonial tentu tidak bisa terlepas dari relasi dan distribusi kuasa antara pemerintah kolonial Hindia-Belanda dengan masyarakat Bumiputera.

Dalam kajian sejarah, perkembangan perkotaan di wilayah Nusantara banyak ditandai di masa kolonial, yang mana pemerintah kolonial dianggap sebagai agensi penting yang menggerakkan pembangunan peradaban perkotaan. Padahal, narasi mengenai sejarah kota sering mengesampingkan peranan orang lokal dalam perkembangan kota (Makkelo, 2017).

Berangkat dari Refleksi Tentang Kota Kolonial

Kami tidak bermaksud mengglorifikasi bagaimana perkotaan dibangun di masa pemerintah kolonial. Catatan ini merupakan refleksi sebagai warga kota. Amatan mengenai kota kolonial, dalam impresi kami, berhubungan erat dengan sebuah otoritas kuasa tertentu yang menciptakan dinamika perkotaan dengan orientasi kepentingan sebuah golongan, bukannya warga secara keseluruhan.

Di masa kolonial, ruang-ruang hidup masyarakat kebanyakan — yakni para Bumiputera yang vernakular, seolah lekang. Kota hanya dikuasai oleh pemerintah, bangsawan, elit, atau pengusaha kaya.

Tri Hanggono mengungkapkan bahwa keberadaan hak-hak istimewa (exorbitante rechten) memperkuat kebijakan memukimkan penduduk berdasarkan ras. Orang Eropa dan sejumlah Timur Asing bermukim di wilayah sehat dengan limpahan fasilitas seperti pagar, sanitasi, jalan, dan rumah permanen. Sebaliknya, Bumiputera menempati wilayah rawan penyakit dan tanpa fasilitas penunjang.

Kota kolonial memang diperuntukkan hanya untuk masyarakat dengan privilese tertentu, seperti bangsawan, pengusaha, dan masyarakat kolonial. Sementara, warga Bumiputera hidup seperti sisa makanan yang nyempil di gigi para elit kolonial; dianggap tak penting dan perlu disingkirkan. Pada kasus kota prakolonial, belum ditemukan catatan yang secara khusus merujuk pada kritik terhadap tata ruang kota pada masa itu.

Pembahasan mengenai pembangunan kota di masa kolonial mengantarkan kami pada pertanyaan menggelitik, yakni: apakah sebagai warga kota, kita pernah memiliki narasi sendiri terhadap perancangan kota yang berpihak pada warga secara inklusif?

Jangan-jangan, selama abad demi abad, perkembangan kota selalu disetir oleh otoritas yang lebih tinggi seperti negara, pemerintah, atau orang-orang kaya melalui investasi, tanpa memberikan ruang bagi kita untuk urun kontribusi dan pandangan terhadap pembangunan?

Perencanaan dan Pembangunan Kota Pascakemerdekaan

Kota-kota di Indonesia tentu memiliki karakternya masing-masing. Namun, sebagian dari kita yang tinggal di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, atau Makassar sedikit banyak memiliki permasalahan yang hampir serupa.

Di beberapa sudut-sudut kota tersebut, kita senantiasa mengakrabi kemacetan. Jalan-jalan dibangun saling centang-perenang. Minimnya ruang publik dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan kondisi yang umum dijumpai. Rumah-rumah dibangun dengan lingkungan hidup yang kurang sehat; minim fasilitas sanitasi, terlampau padat, hingga kurang paparan sinar matahari. Beberapa bahkan terendam banjir musiman atau dibangun di atas tanah rawan gempa.

Menyinggung tata ruang kota-kota di Indonesia saat ini, “semrawut” merupakan padanan kata yang seringkali disematkan. Kata ini tidak hanya menyoal variabel ketertiban dan estetika kota, tapi juga merujuk pada ketidakmampuan kota dalam mengakomodasi kebutuhan warganya.

Kebutuhan-kebutuhan dasar seperti infrastruktur transportasi umum yang layak, air bersih, fasilitas kesehatan, dan lingkungan yang sehat serta aman dari bencana acap kali luput.

Kendati beberapa kota sudah mengalami banyak perubahan yang signifikan, pola-pola tata ruang yang carut-marut seakan sudah menjadi status quo dalam pembangunan kota-kota di Indonesia. Hal ini misalnya tampak pada kasus perkembangan perkotaan yang mengalami pemekaran (yang saat ini menjadi kota satelit nan semrawut), seperti Depok, Bekasi, Bogor, dan Tangerang.

Mengapa pola-pola demikian umum terjadi di Indonesia?

Perencanaan pembangunan yang tidak terkoneksi dan pembangunan berorientasi investasi merupakan penyebab dari kesemrawutan ini. Alih-alih mementingkan dampak terhadap lingkungan, aktivitas pembangunan hanya berhenti pada perencanaan dari sebuah situs pembangunan semata.

Sebagai warga kota, setiap orang bergerak di dalam gelembung kebutuhannya masing-masing. Namun, patut dipertanyakan lebih jauh: apakah kita memiliki artikulasi terhadap ruang hidup sebagai warga kota?

Di tengah kepungan investor dan keberadaan pembangunan eksklusif, mulai dari pabrik, apartemen dan pusat perbelanjaan, serta pembangunan yang berpusat pada orientasi pasar, sulit rasanya memikirkan ruang hidup warga yang inklusif/menyeluruh tanpa pandang status sosial ekonomi tertentu.

Orde Baru, Investasi, dan Implementasi Regulasi Tata Kota

Indonesia sesungguhnya telah memiliki serangkaian regulasi dalam mengatur penataan ruang kota. Pada tahun 1989, pemerintah Indonesia membentuk tim koordinasi yang dibentuk untuk merancang panduan-panduan supaya pembangunan yang ada memenuhi rencana tata ruang.

Tim ini turut mempersiapkan UU Penataan Ruang №24 Tahun 1992 yang mengatur prinsip-prinsip penataaan ruang di Indonesia. Penataan ruang yang dimaksud adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang dalam level nasional, provinsi, dan lokal. Pada UU tersebut, dinyatakan pula bahwa setiap orang berhak mengetahui rencana, pemanfaatan, dan pengendalian tata ruang, serta memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialami sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang.

Pada praktiknya, regulasi tersebut masih jauh panggang dari api. Winarso dan Firman (2002) mengungkapkan bahwa pada masa pemerintahan Orde Baru, hampir seluruh nama pengembang besar memiliki koneksi dengan Soeharto dan lingkaran Keluarga Cendana. Kedekatan di antara keduanya memungkinkan para pengembang ini melenggangkan praktik bisnisnya dalam mengekspansi ruang.

Hubungan mesra tersebut turut terwujud dalam kemitraan usaha bersama dalam rupa joint-venture, shared-directors, maupun cross-shareholding. Kasus pembangunan pariwisata Pantai Kapuk Naga medio 1990-an merupakan salah satu bukti dimana pengaruh politik Soeharto mensponsori pelanggaran perencanaan tata ruang.

Pembangunan di masa Orde Baru seperti menghamba sepenuhnya pada investor. Perkembangan kota dikendalikan oleh pasar global dan menjadi gerbang bagi agen-agen neoliberal yang masuk melalui kaki tangan perusahaan, investasi pariwisata, dan privatisasi lahan yang terus mengalami peningkatan atas nama pembangunan. Gentrifikasi [2] di tengah kehidupan masyarakat semakin gencar menyetubuhi kota. Bahkan, pada masa kini, kota terus dibangun demi memenuhi kebutuhan pasar melalui investasi perumahan, gedung bertingkat, apartemen, dan lain sebagainya.

Kota dan Warga Pasca Reformasi

Memasuki era Reformasi, pembuat kebijakan mengganti UU №24 Tahun 1992 menjadi UU №26 Tahun 2007. Undang-undang lampau direvisi mengingat muatan di dalamnya dianggap tak lagi relevan di tengah desentralisasi dan meningkatnya kewenangan pemerintah daerah.

Regulasi sebelumnya juga mengandung cacat, yaitu ketiadaan hukum pidana apabila terdapat pihak-pihak yang melanggar peraturan tersebut. Poin-poin yang menjadi terobosan Undang-undang baru ini yakni ketentuan yang mensyaratkan adanya 30% Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kota. Hal-hal lainnya yang diatur adalah zonasi, izin perencanaan, pembatasan infrastruktur, dan keberadaan sanksi pidana. Ditetapkan pula bahwa pemerintah wajib untuk menyediakan pelayanan dasar kepada masyarakat secara maksimal.

Merujuk Deden Rukmana (2017), pada masa Orde Baru, banyak terdapat ketidakpuasan masyarakat terhadap layanan dasar, seperti bahan makanan, subsidi pendidikan, dan fasilitas kesehatan dasar yang disediakan oleh pemerintah.

Pada awalnya, regulasi baru itu cukup efektif dalam mendorong sistem perencanaan tata ruang yang lebih transparan dan akuntabel. Semenjak itu, pemerintah pusat belum pernah mengeluarkan peraturan pemerintah yang menyetujui proyek-proyek raksasa yang melanggar perencanaan tata ruang.

Kendati demikian, pemerintah pusat masih turut campur tangan melalui kementerian dan pemerintah daerah dalam pengambilan keputusan penataan ruang di daerah. Intervensi tersebut dapat terjadi karena pemerintah daerah belum paham bagaimana mengelola sumber daya yang ada untuk secara aktif menyediakan pelayanan kebutuhan dasar warganya.

Di dalam tulisannya, Deden Rukmana (2017) menyebutkan bahwa setelah Reformasi, pelanggaran peraturan tata ruang justru terjadi secara lebih masif dibandingkan sebelumnya. Pemerintah-pemerintah daerah juga turut menggunakan otoritas dan kekuasaan desentralisasinya untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan memberikan konsesi-konsesi lahan kepada para pengembang.

Partisipasi Publik sebagai Agensi

Berbagai data di atas menunjukkan silang-sengkarut penataan ruang kota di Indonesia. Hilangnya warisan pengetahuan mengenai perencanaan tata kota pada era kolonialisme hingga praktik-praktik korupsi yang menjamur menjadi biang keladi mengapa kota-kota di Indonesia gagap dalam penataan ruang.

Seperti dibahas dalam pengantar “Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-Kota Di Indonesia”, pembangunan di Indonesia macet semenjak penjajahan Jepang dan periode Revolusi Kemerdekaan. Di masa kolonialisasi Jepang, hal tersebut terjadi karena pembangunan hanya difokuskan untuk membiayai perang, sementara butuh beberapa dekade bagi pemerintah Indonesia untuk berbenah (Colombijn, 2015).

Alhasil, kota-kota di Indonesia, pada masa setelah kolonialisme Hindia Belanda, lebih banyak berkembang secara organik. Pembangunan dilakukan tanpa perencanaan yang terstruktur dan matang. Akibatnya, kota gagal dalam menyediakan layanan dasar untuk warganya secara merata.

Keruntuhan Orde Baru sejatinya telah melahirkan apa yang disebut oleh Abidin Kusno sebagai “kelonggaran di pusat”. Di era Reformasi, penduduk Jakarta dari berbagai kelas merasa lebih bebas mengkritik berbagai proyek pembangunan di masa sebelumnya, terutama yang mengatasnamakan citra negara (Kusno, 2009).

Meskipun begitu, pembangunan di masa setelah Orde Baru ini justru lebih berpihak pada pembangunan megah seperti pembangunan superblok yang berorientasi pada pembangunan bersifat muluk-muluk, egoistik, dan berorientasi konsumerisme (Malasan, 2019).

Jatuhnya rezim Orde Baru sebetulnya telah membuka ruang baru pemaknaan warga mengenai ruang kota. Runtuhnya sentralitas negara memungkinkan warga untuk memiliki ruang hidup sendiri yang barangkali selama ini dianggap informal (tidak ada dalam rencana tata kota).

Pedagang kaki lima (PKL), misalnya, setelah reformasi, menjadi subkultur baru dalam geliat kehidupan kota. Selama ini, PKL seringkali dilihat sebagai infrastruktur dan elemen yang tidak pada tempatnya (out of place), dan keluar dari rancangan tata kota dan arsitektural yang “normal” (Malasan, 2019).

Informalitas PKL dinilai merusak logika pembangunan urban dan dilihat sebagai hambatan untuk menuju kota berkelas dunia (world class city) (Malasan, 2019). Namun, di masa Pasca Reformasi, PKL semakin menemukan fleksibilitasnya untuk tumbuh di dalam ruang perkotaan. Perdagangan yang dianggap “informal” tersebut semakin lama menjadi strategi warga dalam memenuhi hajat hidup dari segi perekonomian pascakrisis, baik bagi pedagang maupun konsumen.

Kondisi ini mencerminkan bahwa masyarakat tak lagi pasrah dalam menerima pembangunan yang dipraktikkan oleh pemerintah dan pengembang. Masyarakat justru secara aktif mengartikulasikan dan memodifikasi ruang urban yang ada di sekitarnya berdasarkan kebutuhan dan kehendak hidup mereka masing-masing.

Keberadaan konstitusi menjamin partisipasi publik dalam perencanaan, implementasi, dan pengawasan tata ruang kota di Indonesia. Sayangnya, ruang-ruang dialog yang mempertemukan pengambil kebijakan kota dengan warganya masih sangat minim.

Kami mencoba mengamati fenomena partisipasi publik di Kota Berlin, Jerman. Di sana, partisipasi publik di dalam perencanaan kota dijamin di dalam Landesplanungsgesetze atau hukum federal perencanaan. Regulasi di dalam hukum tersebut mengatur perencanaan spasial, perumahan, hingga panduan desain bangunan.

Apabila ada infrastruktur publik yang hendak dibangun, pemerintah kota wajib menyelenggarakan Wettbewerb atau kompetisi dan ekshibisi desain yang digelar kepada publik untuk menentukan rancangan bangunan mana yang hendak dibangun dan sesuai dengan kebutuhan warga kota.

Di sisi lain, Quartiersmanagement (semacam badan perencana pembangunan di distrik Jerman) menciptakan forum-forum yang menghimpun warga kota untuk turut berpartisipasi dalam proses perencanaan ruang kota. Forum ini juga menjadi sarana warga dalam menyuarakan kebutuhan hidupnya melalui pembangunan ruang-ruang publik di kota.

Partisipasi publik seperti di Kota Berlin tentu masih jauh dari dinamika perencanaan kota di Indonesia. Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa sistem yang terjadi di Berlin adalah buah panjang dari protes dan gerakan sosial yang dilakukan sejak tahun 1970-an. Gerakan sosial ini diawali oleh keengganan warga kota Berlin dalam pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di daerahnya.

Melalui kesadaran akan pentingnya praktik-praktik partisipasi publik, bukan tidak mungkin apabila kota-kota di Indonesia akan dirancang dengan lebih baik dan menunjang kebutuhan warganya.

Meminjam istilah dari Abidin Kusno, lepasnya penduduk kota dari “gelembung sentralitas” negara seharusnya membuat kita, sebagai warga, memiliki peluang untuk bersama-sama mendefinisikan, menghidupi kota, dan mengartikulasikan kepentingan bersama di atas kepentingan golongan terhadap akses ruang hidup dan perencanaan pembangunan yang inklusif.

Sudah selayaknya warga memiliki otonomi sendiri dalam memaknai ruang kota, memperjuangkan hak atas ruang hidup yang mampu menjahit kebutuhan bersama secara menyeluruh dan berkeadilan. Pembangunan tidak seharusnya selalu tunduk pada kuasa otoritas negara atau kepentingan pasar yang seringkali hanya berpihak pada borjuasi, investor berduit, dan ekonomi pasar semata.

Aditya R. Pratama
Seorang peneliti desain berlatar belakang Antropologi Budaya, saat ini berbasis di Bandung.

Eliesta Handitya
Mahasiswa tingkat akhir Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Catatan Kaki
[1] Kota kolonial dengan desain arsitektur tropis mulai dibangun pada abad 20 awal, ketika Pemerintah Hindia Belanda mencanangkan revitalisasi perkotaan besar seperti Semarang, Batavia, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Medan. Pembangunan kota kolonial bergaya Art-Deco dan Indisch-Tropisch baru dimulai sekitar tahun 1900-an. Sebelum tahun 1900, kota arsitektural di Hindia Belanda banyak didominasi dengan desain arsitektur kolonial yang dinamai sebagai gaya empire, berkembang di awal abad 19-an (Ardiyanto, et al. 2015). Arsitektur tropis menggabungkan konsep modernis “barat”, dengan konsep bangunan “timur”. Ide dari pembangunan arsitektur tropis di Asia Tenggara diinisiasi oleh Wolff Schoemarker, arsitek berbasis di Hindia Belanda, yang mana ia menggabungkan dua konsep arsitektur tersebut (Ardiyanto, et al. 2015). Ciri-ciri bangunan arsitektur tropis diantaranya atap miring untuk mengantisipasi hujan, koridor di sekitar ruangan untuk memerangkap udara, atap tinggi, sistem ventilasi, dan jendela yang terbuka dan menutupi sebagian besar dari tembok, dan mementingkan sirkulasi udara di dalam ruangan.
[2] Gentrifikasi dijelaskan oleh Widianto (2019) sebagai proses transformasi dari kawasan dengan kondisi fisik kumuh di kawasan perkotaan, menjadi aneka macam properti mewah yang hanya dapat dinikmati pekerja kerah putih (atau “kelas menengah”) atau properti lain untuk fungsi komersial.
Bacaan Lanjutan
Ardiyanto, Antonius, Achmad Djunaedi, Ikaputra, and Jatmika Adi Suryabrata. 2015. “The Architecture of Dutch Colonial Office in Indonesia and the Adaptation to Tropical Climate.” International Journal of Scientific and Research Publications, Volume 5, Issue 4 1–7.
Bruijne, G.A. De. 1985. “ THE COLONIAL CITY AND THE POST-COLONIAL WORLD.” Colonial Cities.Colombijn, Freek. 2015. “Pengantar.” In Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-Kota di Indonesia , by dkk Freek Colombijn. Yogyakarta: Penerbit Ombak.Makkelo, Ilham Daeng. 2017. “SEJARAH PERKOTAAN: SEBUAH TINJAUAN HISTORIOGRAFIS DAN TEMATIS.” Lensa Budaya, Vol. 12, №2 83–101.Malasan, Prananda Luffiansyah. 2019. “The untold flavour of street food: Social infrastructure as a means of everyday politics for street vendors in Bandung, Indonesia.” Asia Pacific Viewpoint 1–14.Njoh, Ambe J. 2009. “Urban planning as a tool of power and social control in colonial Africa.” Planning Perspective 301–317.Rukmana, Deden. 2017. https://indonesiaurbanstudies.blogspot.com/. 2 May. Accessed April 2, 2020http://indonesiaurbanstudies.blogspot.com/2017/05/corruption-is-spatial-planninghtmlSilver, Christopher. 2008. “Fashioning the Colonial Capital City, 1900–1940 .” In Planning the Megacity: Jakarta in the Twentieth Century, by Christopher Silver, 36–82. New York: Routledge.Silver, Christopher. 2008. “Understanding Urbanization and the Megacity in Southeast Asia .” In Planning the Megacity: Jakarta in the Twentieth Century, by Christopher Silver, 18–35. New York: Routledge.Widianto, Hardian Wahyu. 2019. https://indoprogress.com/. 5 July . Accessed April 2, 2020. https://indoprogress.com/2019/07/gentrifikasi-dan-pertarungan-melawan-perampasan-ruang-hidup-perkotaan/.

--

--