Esai / (Pra)Sarana

Reklamasi (Se)Harga Mati

Suara sumbang di titik tengah Indonesia, luput perhatian pusat, dan tidak dipedulikan daerah.

Kolektif Agora
Kolektif Agora

--

Reklmasi Centre Point of Indonesia. Sumber: makassar.tribunnews.com, 2019.

Oleh: Dewa Sagita Alfadin Nur, ST, MT

Indonesia, disebut juga dengan Republik Indonesia (RI) atau Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), adalah negara di Asia Tenggara yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara daratan Benua Asia dan Australia, serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia.

Luasnya membentang dari Samudra Hindia hingga Samudra Pasifik yang terdiri dari 17.504 pulau. Dengan populasi hampir 270.054.853 jiwa pada tahun 2018, Indonesia adalah negara berpenduduk terbanyak keempat di dunia dan negara yang berpenduduk Muslim terbanyak di dunia.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan memiliki banyak lahan yang dapat dibangun, proyek-proyek reklamasi justru semakin banyak bermunculan. Jika melirik negara tetangga, yakni Singapura, mereka membangun beberapa fasilitasnya dengan lahan reklamasi karena negaranya memang cukup kecil. Ukurannya bahkan tidak sebanding dengan Kepulauan Riau, sehingga satu-satunya opsi mereka adalah reklamasi.

Menelaah Reklamasi di Indonesia

Sebelum lanjut, apa sih sebenarnya reklamasi itu?

Reklamasi adalah proses pembuatan daratan baru dari dasar laut atau dasar sungai.

Dari sejarah yang berhasil ditemukan penulis, reklamasi dahulu dilakukan oleh Belanda setelah banjir pada tahun 1916, diputuskan bahwa Zuiderzee (sebuah laut pedalaman dalam Belanda) akan ditutup dan reklamasi: saat di mana “Zuiderzee Works” dimulai. Sumber-sumber lain juga menunjukkan waktu dan alasan lainnya, tetapi juga setuju bahwa pada tahun 1932, Afsluitdijk selesai, yang menutup laut sepenuhnya.

Zuiderzee ini kemudian disebut dengan Ijsselmeer (danau di akhir sungai Ijssel). Proyek polderisasi laut selatan atau Zuiderzee Works pada tahun 1937 telah menghasilkan daratan baru seluas 48.000 hektar, Flevoland Timur menghasilkan 54.000 hektar (1950), dan Flevoland Selatan seluas 43.000 hektar (1954). Dari teknik poledrisasi ini,Belanda telah menghasilkan sekitar 500.000 hektar daratan baru.

Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan, ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurukan, pengeringan lahan, atau drainase.

Reklamasi dapat juga didefinisikan sebagai aktivitas penimbunan suatu area dalam skala relatif luas hingga sangat luas di daratan maupun di area perairan untuk suatu keperluan rencana tertentu.

Beberapa pembangunan di Indonesia menggunakan lahan reklamasi karena dianggap sangat bernilai dengan pemandangannya yang sungguh menarik. Sebut saja reklamasi Tanjung Benoa di Provinsi Bali, reklamasi Pantai Losari di Kota Makassar, dan yang paling besar yakni reklamasi Teluk Jakarta. Setiap reklamasi memang memiliki fungsi tambahan, tidak hanya bernilai ekonomi, dan dalam beberapa kasus malah dibutuhkan.

Ketiga reklamasi tersebut memiliki salah satu fungsi (selain ekonomi) yaitu memperbaiki lingkungan. Proyek reklamasi Teluk Jakarta atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) merupakan proyek tanggul pemerintah pusat untuk mengatasi penurunan tanah di sebagian wilayah kota Jakarta Utara.

Proyek ini direncanakan akan memberikan kesempatan DKI Jakarta untuk kembali memperoleh sumber air baku dari tanggul tersebut serta membuka lapangan pekerjaan di sektor kepelabuhanan, karena proyek ini juga akan membangun dan meningkatkan kemampuan pelabuhan di Jakarta utara.

Namun, proyek tersebut tidak selamat dari proses politik yang berkepanjangan. Pemimpin Provinsi DKI Jakarta dari zaman Fauzi Bowo hingga Anies Baswedan tidak memiliki visi yang sama, sehingga proyek tersebut masih terhenti dan tidak jelas kapan selesainya.

Reklamasi di Makassar

Satu dari tiga proyek reklamasi tersebut sejauh ini hanya tertuju kepada ekonomi, yakni reklamasi Pantai Losari di Kota Makassar. Kota Makassar tidak mengalami penurunan tanah, tidak mengalami sedimentasi, atau hal-hal lainnya yang menyebabkan reklamasi harus dilakukan.

Reklamasi tersebut dilakukan semata-mata untuk kepentingan wisata.

Pantai Losari sebelum reklamasi. Sumber: daengsangkalak.blogspot.com, 2013.
Pantai Losari setelah reklamasi. Sumber: matamatapolitik.com, 2020.

Hingga tahun 2016, reklamasi Pantai Losari dianggap selesai oleh sebagian masyarakat dengan hadirnya tiga anjungan yaitu Anjungan Makassar, Bugis, dan Toraja. Desain khas lokalnya memberikan ruang baru kepada masyarakat Makassar menikmati senja bersama orang tersayang.

Namun, tidak lama kemudian, pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan mencanangkan reklamasi CPI atau Centre Point of Indonesia di seberang proyek reklamasi tersebut. Reklamasi dibalas reklamasi, pemerintah provinsi bahkan merencanakan reklamasi pulau lebih besar dari Pantai Losari dengan desain menyerupai burung garuda dari tampak atas.

Tampak CPI dari atas. Sumber: Google Maps, 2020.

Reklamasi CPI tersebut akan memiliki beberapa zona, baik komersil, perdagangan dan jasa, bahkan hunian. Kini, proyek tersebut dikelola oleh salah satu developer terkemuka di Indonesia.

Mengorbankan Nelayan

Sayangnya, hingga hari ini, proyek tersebut memakan korban dari kalangan nelayan.

Proses penimbunan laut ini memerlukan banyak pasir. Sebelumnya, pemerintah provinsi telah menunjuk perusahaan kontraktor spesialis timbunan yang berasal dari Belanda dan melakukan pengerukan tanah di pesisir Kabupaten Takalar (sebelah Kota Makassar) yang tentu berdampak pada nelayan di kabupaten tersebut.

Menurut WALHI, kegiatan pertambangan pasir laut mengancam ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Hal tersebut akan berdampak pada produktivitas perikanan. Setidaknya, pada lokasi tersebut, terdapat pemijahan ikan milik masyarakat, dan juga habitat kepiting, cumi, dan ikan.

Bahkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan sendiri memiliki aset pada wilayah tersebut, berupa Balai Benih Air Payau Takalar yang memproduksi benih udang unggulan.

Penurunan ekosistem lingkungan juga bisa dilihat dari pendapatan nelayan saat melaut. Sebelum tambang pasir laut beroperasi, dalam dua hari melaut, nelayan bisa mendapatkan dua basket (keranjang) ikan. Saat ini, jumlah tersebut dapat dikumpulkan dalam waktu seminggu.

Sebagai perbandingan, harga ikan katombo per-basket mencapai 250–300 ribu rupiah. Sedangkan bensin dibutuhkan minimal 20 liter (200 ribu rupiah).

Penurunan produktivitas perikanan laut tersebut diakibatkan naiknya kekeruhan dan perubahan aliran air laut, yang mana juga mengancam keanekaragaman hayati, utamanya di Perairan Galesong, sekitar Pulau Sanrobengi (bagian dari Kawasan Konservasi Perairan dalam pola ruang KSN Mamminasata).

Mengacu ke Proses Rencana

Berdasarkan Undang-Undang №1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, sebelum diterbitkannya Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil (RZWP3K), maka izin lokasi untuk pertambangan pasir laut belum dapat diproses. Beberapa LSM mencoba mencari tahu posisi nelayan dalam rencana ini, tapi WALHI Sulawesi selatan menemukan bahwa nelayan tidak dilibatkan secara aktif dalam proses perencanaan ini.

WALHI Sulsel menyebut izin tambang pasir itu merambah daerah-daerah tangkapan ikan nelayan di perairan Copong Lompo, Bone Ma’lonjo, Ponto-pontoang, Lambe-lambere, yang masuk kawasan Pulau Sangkarrang dan Pulau Kodingareng. Para nelayan pun melakukan perlawanan.

Saat ini, empat perusahaan sudah memiliki izin dan beroperasi pada kawasan tersebut.

Di satu sisi, Ranperda RZWP3K sedang dalam proses penyusunan, tapi memiliki beberapa permasalahan pokok, yakni:

  1. Ranperda RZWP3K Sulawesi Selatan memberikan ruang yang luas untuk eksploitasi, dari luas wilayah lautan ± 94.399,85 km², seluas 47.959,32 peruntukannya ditetapkan sebagai pertambangan pasir laut;
  2. penyusunan Ranperda RZWP3K tidak dilakukan secara partisipatif, tidak benar-benar melibatkan masyarakat atau unsur organisasi lainnya, khususnya kelompok terdampak dan yang memiliki concern pada lingkungan hidup; dan
  3. tidak ada kajian lingkungan hidup, ekonomi, dan sosial budaya secara menyeluruh. Padahal, berdasarkan Peraturan Pemerintah №46 Tahun 2016, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) wajib dilaksanakan dalam penyusunan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Atas berbagai pertimbangan di atas, maka seharusnya tambang pasir laut di Takalar dihentikan, termasuk pembahasan Ranperda RZWP3K yang harusnya ditunda hingga ada pelibatan publik yang lebih luas dan diawali dengan pelaksanaan KLHS.

Masalah Sama di Tempat Lain

Setelah masalah reklamasi penambangan pasir di Kabupaten Takalar untuk CPI, penambangan kembali terjadi di Kecamatan Sangkarang yang terdiri dari beberapa pulau berpenghuni yaitu Kodingareng, Barrang lompo, dan Barrang caddi.

Penghasilan masyarakat di kecamatan ini yang juga berbatasan dengan reklamasi CPI hanya bergantung kepada penangkapan hasil ikan laut. Penambangan pasir di dekat kepulauan ini dilakukan untuk proyek Makassar New Port yang letaknya tidak jauh dari reklamasi CPI dan masih dalam administrasi Kota Makassar.

Masyarakat nelayan Pulau Kodingareng pun kini bergerak bersama LSM untuk meminta keadilan akibat penambangan ini. Walau secara hukum pemerintah provinsi mengklaim tidak melanggar aturan, apakah benar jika sebuah pembangunan yang mengatasnamakan masyarakat harus dibayar pula dengan mata pencaharian mereka?

Pasca-penangkapan nelayan yang menghalangi kapal penambang terjadi, masyakarat kepulauan tersebut pun menginap di depan kantor gubernur provinsi Sulawesi Selatan untuk meminta keadilan bagi mereka.

Apakah reklamasi untuk meningkatkan ekonomi harus dibayar dengan matinya nurani? Matinya kelompok nelayan? Matinya ekosistem laut? Atau mematikan ekonomi kerakyatan milik nelayan?

Jika kita membandingkan pembangunan di negara lain, sebut saja Dubai, selain membangun daratannya, mereka juga membangun lautnya dengan reklamasi. Tapi, pembangunan tersebut tidak menimbulkan dampak negatif seperti di Indonesia, di mana lautnya yang kaya akan sumber daya serta pekerjaan nelayannya terdampak.

Mungkin, di masa depan, salah satu pekerjaan yang punah adalah nelayan. Ketika daratan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pembangunan, laut pun ditimbun demi ekonomi.

--

--