IDE / HALUAN

Relasi Desa-Kota dalam Kelindan Sejarah Pembangunan

Kesalahan Lama yang Tak Kunjung Diperbaiki

Alvaryan Maulana
Kolektif Agora

--

Foto oleh Rangga Cahya Nugraha di Unsplash, 2019.

Pada tahun 1974, Parsudi Suparlan, dosen antropologi FISIP Universitas Indonesia, menerbitkan artikel The Gelandangan of Jakarta: Politics among the Poorest People in the Capital of Indonesia*. Artikel tersebut mengulas gelandangan di Jakarta dari kacamata antropologi, keilmuan yang ia ampu sepanjang hayatnya.

Parsudi memotret persepsi politik para gelandangan dan dinamika politik skala lokal yang membentuk ekosistem, jejaring, dan relasi di antara para gelandangan. Selain itu, Parsudi juga membongkar pandangan buruk terhadap gelandangan yang pemalas dan tidak dapat dipercaya. Menurut data yang dikumpulkan Parsudi, menggelandang adalah bentuk ekonomi subsisten di dalam setting urban.

“My data reveal that such stereotypes (shiftless, dirty and un­trustworthy) are false, for they show that the gelandangan do work hard in an attempt to make at least a subsis­tence-level livelihood.”

Bagi saya pribadi, yang menarik dari artikel Parsudi ini adalah identifikasinya mengenai asal dan motivasi para gelandangan di Jakarta ini “menggelandang” di Jakarta. Parsudi menulis:

Most of the gelandangan originally came from the rural areas or from kampong on the edge of towns in West and Central Java. But some had migrated from rural areas of Sumatra, Kalimantan (Borneo) and East Java. Some of the people I interviewed moved directly to Jakarta from their place of birth while others moved to progressively larger towns first before finally coming to Jakarta.

Gelandangan yang ditemui Parsudi untuk studinya merupakan generasi pertama gelandangan yang merantau ke Jakarta. Mereka memilih mengadu nasib di ibukota karena status sosial mereka yang rendah di desa dan tidak memiliki aset apapun di kampungnya, sehingga satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah mencari peruntungan di Jakarta. Berdasarkan artikel Parsudi, beberapa faktor pendorong perpindahan masyarakat desa untuk menggelandang di Jakarta adalah:

  • tidak punya apa-apa di kampung (tidak punya rumah, aset, atau tanah);
  • terinspirasi oleh saudara/kolega yang sudah lebih dahulu merantau ke Jakarta;
  • dan pelarian dari konflik di desa, baik konflik politik karena pemberontakan yang saat itu marak di wilayah perdesaan, maupun konflik agraria di perdesaan.

Sejak lima puluh tahun yang lalu, Parsudi sudah memotret hubungan antara persoalan penguasaan lahan dan kesempatan kerja di perdesaan dengan kehadiran gelandangan di ibukota. Paragraf ini adalah poin paling penting dari artikel Parsudi:

The problems of gelandangan and of urbanization in general cannot be isolated from the larger processes of cultural contact between rural and urban environments. Individuals do not become orang gelandangan because they want to or like the connotation. Gelandangan life is the result and direct consequence of economic, political and social pro­cesses which have intensified in the last decade in Indonesian society, especially on the crowded island of Java.

Gelandangan yang sering mendapatkan berbagai stigma buruk di perkotaan tersebut pada dasarnya adalah pekerja sektor pertanian yang mengalami kegagalan transisi dari sektor pertanian ke sektor lainnya, baik ke off-farm (masih di sektor pertanian tapi tidak bercocok tanam), maupun non-farm (di luar sektor pertanian).

Pengabaian Lima Puluh Tahun

Hampir 50 tahun kemudian, kondisi dan persoalan yang diuraikan Suparlan masih menghuni lembaran penelitian dan dokumen pemerintah. Entah mengapa, setiap tahunnya, para peneliti dan birokrat seakan-akan lupa ingatan soal kerentanan (dan juga kegagalan) untuk mengelola relasi yang tidak setara tersebut.

Saya kira, memang kesalahan terbesar kita adalah tidak membaca sejarah pembangunan sejak masa lampu, sehingga tidak menyadari bahwa ketimpangan tersebut terus bekerja hingga hari ini. Jika abai terhadap sejarah dan kondisi yang tengah terjadi, bagaimana bisa berbenah?

Perluasan Jakarta, pengembangan permukiman dan perumahan di wilayah pinggiran Jakarta, misalnya, turut berkontribusi terhadap penghilangan lahan dan mata pencarian masyarakat agraris tersebut. Sejarah kampung dan pemukiman lokal tersebut terekam jelas. Di Jagakarsa, Jakarta Selatan, misalnya, penduduk lokalnya masih punya ingatan soal perkebunan buah-buahan di daerah tersebut. Kini, sulit membayangkan Jagakarsa yang sesak dan penuh kemacetan tersebut sebagai sentra perkebunan buah-buahan.

Setelah lahannya diambil (atau dibayar murah), masyarakat yang tanahnya tidak lagi tersedia tersebut tidak punya cukup keterampilan (dan tidak disiapkan juga) untuk menjalankan peran sebagai manusia urban tanpa tanah yang tidak lagi mengelola tanah, melainkan bergerumul di ruang-ruang pabrik dan kantor.

Itu baru satu bentuk relasi yang gagal teridentifikasi, gagal diantisipasi, dan gagal dibenahi, dan terus terjadi hingga sekarang. Belum lagi dengan bentuk ketimpangan lain, di wilayah lain, dengan laju dan dampak yang jauh lebih besar.

Kota besar tentu punya faktor penarik yang membuat orang berduyun-duyun migrasi ke kota. Tapi, aktivitas yang membangun kota melalui surplus kapital hasil ekstraksi di wilayah perdesaan turut menjadi faktor pendorong yang membuat kehidupan di wilayah perdesaan tidak lagi memungkinkan.

Konflik penguasaan lahan berimplikasi pada hilangnya lahan sebagai moda produksi utama masyarakat agraris, yang kemudian berdampak terhadap kerentanan dan ketidakmampuan secara ekonomi.

Lantas, seperti apa bentuk mitigasi dan — mungkin — rekonsiliasiterhadap kondisi tersebut?

Melihat cita-cita pemerintah untuk meninggalkan predikat agraris dan tinggal landas menuju negara industrial cum urban pun sama mengkhawatirkannya. Keinginan untuk beralih ini mungkin ada urgensinya. Nilai ekonomi sektor pertanian di atas kertas tak lagi menguntungkan dan tidak bisa menghidupi 33% penduduk Indonesia yang masih bekerja di sektor pertanian. Jumlah petaninya terlalu banyak untuk aktivitas pertanian yang tidak menguntungkan (karena banyaknya mafia pertanian) dan lahan yang semakin berkurang (karena ketimpangan penguasaan lahan).

Tapi, apakah peralihan fokus dan prioritas dari sektor pertanian ke industri dapat turut menyelesaikan persoalan relasi tidak sehat antara desa dan perkotaan? Saya tidak akan membahas bagaimana perspektif ekonomi-politik bekerja sehingga surplus yang dihasilkan dengan industrialisasi di wilayah perdesaan tersebut akan berakumulasi di perkotaan. Tapi, setidaknya, strategi industrialisasi tersebut bisa sedikit menyelesaikan persoalan yang sudah terjadi sejak lama.

Jangan sampai rencana industrialisasi cum urbanisasi ini memperparah kondisi pertumbuhan dan urbanisasi tidak setara terhadap wilayah perdesaan, yang lambat laun akan terus mendorong influks migrasi ke perkotaan dan praktis membuat relasi yang semakin timpang.

Yang Paling Dirugikan, yang Paling Menderita

Terlepas dari implikasi terhadap kualitas urbanisasi, pihak yang paling dirugikan dari ketimpangan ini, pada dasarnya, adalah desa dan masyarakatnya.

Secara kualitas lingkungan dan kualitas hidup, akhirnya lanskap perdesaan masyarakat tak lagi lestari untuk ditinggali. Penurunan kualitas lingkungan akibat pelbagai polusi dan limbah industri terus menjadi-jadi. Contoh-contoh yang banyak terjadi, seperti di Maluku Utara dan Sulawesi Tengah, misalnya, sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan seperti penurunan atau degradasi kualitas lingkungan yang dihasilkan industrialisasi tersebut.

Lahan yang bisa digarap dan bisa dimanfaatkan tentu semakin berkurang, dan lahan yang tersedia semakin sedikit luasannya sehingga semakin menurun nilai ekonominya. Jika sudah begitu, maka langkah ekonomi paling menguntungkan adalah migrasi untuk mencari penghidupan lain yang tak perlu keterampilan tinggi. Hasilnya sudah dapat diprediksi: masyarakat masuk ke dalam limbo sektor informal yang rentan dan jarang mendapatkan perhatian.

Secara kewilayahan pun, ada sisa-sisa wilayah perdesaan yang tidak lagi dianggap bonafide untuk dilayani. Jumlah penduduk yang terlalu sedikit karena adanya migrasi dan pola pemukiman yang terpencar-pencar sehingga penyediaan layanan menjadi lebih mahal adalah alasan-alasan klasik yang diberikan oleh otoritas untuk menjustifikasi ketidakhadiran negara dalam wilayah-wilayah tersebut.

Beberapa tahun ke belakang terdapat Dana Desa yang dialokasikan kepada masing-masing desa, namun jumlah penduduk, status desa (yang dihitung dari ketersediaan fasilitas) menjadi faktor yang menentukan besaran dana tersebut. Artinya, desa yang jumlah penduduknya sedikit, dan fasilitasnya masih tertinggal kalah saing dibanding desa-desa yang lebih padat dan lebih lengkap fasilitasnya. Belum lagi jika kita mau lebih adil menyikapi luas wilayah desa yang tidak masuk akal untuk bisa dikelola dengan dana desa kurang dari Rp 1 miliar.

Jumlah penduduk yang terlalu sedikit karena adanya migrasi dan pola pemukiman yang terpencar-pencar sehingga penyediaan layanan menjadi lebih mahal adalah alasan-alasan klasik yang diberikan oleh otoritas untuk menjustifikasi ketidakhadiran negara dalam wilayah-wilayah (perdesaan) tersebut.

Sedikit Pengingat

Jika suatu saat ada perasaan terganggu atau kurang nyaman karena ada gelandangan, PKL, pekerja informal lainnya, atau jika Anda masuk golongan orang yang tidak menyukai keberadaan kampung kota yang menurut anda kumuh itu, maka ingatlah, sebenarnya Anda sedang melihat keturunan dan cucu-cucu dari orang-orang yang dulu kampung halamannya tergusur atas nama pembangunan.

Jangan lupa pula, mungkin sebagian dari Anda hidup berkecukupan dan punya pendidikan yang layak hari ini, karena leluhur Anda dulu menikmati surplus kapital yang menggusur kampung-kampung dan desa-desa di berbagai penjuru negara ini.

Bisa jadi leluhur Anda adalah pegawai perusahaan yang melakukan eksplorasi dan ekstraksi di kampung orang lain. Atau, bisa jadi, leluhur Anda adalah pegawai pemerintah yang “lurus-lurus” saja, yang gajinya berasal melalui akumulasi kapital saat pembangunan booming puluhan tahun lalu.

Bacaan Lanjutan

Suparlan, P. (1974). The Gelandangan of Jakarta: Politics among the Poorest People in the Capital of Indonesia. Indonesia, 18, 41. https://doi.org/10.2307/3350692

--

--