Esai / Haluan

RTH : Fungsi Melebihi Kuantifikasi

Haruskah kita terpaku pada angka 30% pemenuhan RTH sesuai Undang-Undang Penataan Ruang dibanding pada pemenuhan kebutuhan udara bersih dan ruang berinteraksi di kota?

Ayo Ke Taman
Kolektif Agora

--

Oleh: Niken Prawistiti (Inisiator ayoketaman.com dan Kawan Kota)

Undang-Undang (UU) No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 29 mengamanatkan bahwa setiap kota maupun kawasan perkotaan harus memiliki sedikitnya 30% ruang terbuka hijau (RTH) dari luasan kota atau wilayah perkotaannya, dengan rincian 20% RTH publik dan 10% RTH privat. Jenis RTH publik dan privat dibedakan berdasarkan kepemilikan lahan. Jika lahan RTH dimiliki pemerintah kota/kabupaten maka ia dikategorikan sebagai RTH publik, sementara lahan selain milik pemkot/pemkab disebut RTH privat (berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum/PermenPU No.5/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan).

Tapi, apakah kewajiban yang telah tersurat dalam undang-undang sudah dapat menjamin upaya pemenuhan RTH yang dilakukan pemerintah daerah?

Kuantifikasi RTH

Dari seluruh kota di Indonesia, baru Kota Surabaya yang mengklaim keberhasilannya melampaui amanat UU, dengan capaian 21,73% RTH publik pada tahun 2013 (Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya,2014). Bahkan, salah satu taman di Surabaya, Taman Bungkul, menjadi satu-satunya taman di Indonesia yang dianugerahi taman terbaik Asia dalam penghargaan The Asian Townscape Award tahun 2013 dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Taman Bungkul, Kota Surabaya. Sumber: ayoketaman.com, 2019.

Kota lain di Indonesia yang memiliki sejarah perencanaan kota berkonsep “kota taman” (garden city), seperti Kota Bandung, atau pengembangan kota tropis oleh Belanda yang menyeimbangkan RTH dan ruang terbangun, seperti Bogor, Malang, Semarang, Batavia, Magelang, Madiun, Cirebon Jatinegara, Purwokerto, malah belum berhasil menyediakan sejumlah RTH sesuai target UU.

Secara umum, data pencapaian RTH kota-kota di Indonesia memang tidak terpublikasi secara valid (dan ter-update) dari data resmi pemerintah setempat.

Pada awal tahun 2019, Kota Bandung dinyatakan memiliki 12,21% RTH publik. Data persentase RTH Kota Bogor dan Kota Malang yang disajikan oleh berbagai media menyatakan data yang tidak selaras. Pada tahun 2015, diberitakan Kota Bogor menambah RTH publik dari 13% menjadi 14%, namun pada 2016, RTH publik Kota Bogor diberitakan hanya sebesar 2,7%. Lain lagi berita pada tahun 2018, yang menyatakan RTH publik Kota Bogor belum mencapai 10%. Pada 2016, RTH publik Kota Malang dinyatakan mencapai 15%, dan setahun kemudian bisa sampai sekitar 17%.

Data persentase RTH yang simpang siur juga bersumber dari tidak adanya metode perhitungan standar bagi seluruh kota Indonesia. Permen PU №5 tahun 2008 memang telah menetapkan jenis RTH yang perlu dihitung. Namun, perhitungannya diserahkan kepada pemerintah daerah masing-masing atau berbentuk perhitungan mandiri (self-assessment). Hasil self-assessment tersebut kemudian diklaim sebagai persentase RTH kota.

Tabel Jenis RTH. Sumber: Permen PU No. 5 Tahun 2008.
Perhitungan RTH Kota Bandung. Sumber: dpkp3.bandung.go.id, 2019.

Adanya regulasi nasional berupa UU yang menargetkan angka kuantitatif, bukan berarti sistem perhitungannya distandarkan. Selain itu, belum ada peran yang memvalidasi perhitungan mandiri RTH tersebut, baik dari pemerintah pusat ataupun lembaga resmi nasional. Di tingkat nasional pun belum ada publikasi resmi yang menyatakan agregat pencapaian RTH kota secara nasional.

Mari ingat kembali, bahwa perhitungan RTH didasarkan pada kategori RTH dari kepemilikan lahan. Maka, perhitungan RTH tak bisa lepas dari data pencatatan aset pemkot/pemkab. Jika kita membandingkan persentase RTH satu kota dengan lainnya, apakah kualitas pencatatan aset pemerintah daerah satu dengan lainnya setara?

Misalkan, apakah semua pemkot/pemkab memiliki catatan kepemilikan lahan sempadan rel, sungai, atau pantai? Yang lebih substansial, jika suatu lahan milik pemerintah tercatat sebagai RTH, namun di lapangan merupakan hamparan tidak berfungsi, apakah secara regulasi tetap dihitung sebagai bagian dari RTH publik? Atau dengan merapikan catatan aset, apakah penambahan atau pengurangan persentase RTH bisa dibenarkan tanpa ada implementasi apapun di lapangan?

Pada akhirnya, bisakah kita hanya bergantung pada perhitungan yang mendasarkan pada — sebuah rahasia umum — kesimpangsiuran pencatatan aset lahan di Indonesia?

Kota Minim Lahan, Di Mana RTH ?

Tantangan terbesar penyediaan RTH adalah keterbatasan lahan di kota, apalagi di kota megapolitan, metropolitan, atau kota besar. Membeli lahan bukanlah pilihan dengan tingginya harga lahan perkotaan. Kebijakan pembelian lahan mungkin hanya bisa dilakukan kota yang memiliki kemampuan finansial tinggi.

Melalui kebijakan pembelian lahan, DKI Jakarta sebagai provinsi dan kota administrasi otonom yang memiliki APBD terbesar di Indonesia, ingin meningkatkan proporsi RTH yang baru mencapai 9,98% pada tahun 2018. DKI Jakarta menganggarkan Rp1,9 triliun untuk membebaskan tanah sekitar 40-an hektar setiap tahunnya. Dibandingkan dengan luasannya, anggaran pembebasan tersebut hanya dapat menambah 0,066% RTH Jakarta setiap tahun. Dengan asumsi nilai penganggaran yang sama, DKI Jakarta perlu sekitar 150 tahun untuk memenuhi target UU 20% RTH Publik (tentu ini hanyalah hitung-hitungan naif, bukan perhitungan ilmiah). Itu perhitungan di DKI Jakarta yang nilai lahannya mencapai sekitar 4 jutaan rupiah per meter persegi. Lahan yang dibebaskan untuk RTH itu pun umumnya berada di lokasi yang tidak strategis atau bukan berada di pusaran peredaran manusia. Kemampuan finansial DKI Jakarta memang anomali, dengan kondisi perekonomian kota yang juga tak dapat dibandingkan dengan kota lain di Indonesia.

Kota lain yang memiliki harga tanah yang jauh lebih rendah dari Jakarta hampir pasti tidak mampu menganggarkan pembebasan lahan untuk RTH. Ambil contoh Kota Bandung, yang setiap tahunnya hanya bisa menganggarkan pengadaan lahan maksimal seluas 0,6 ha (dengan harga lahan Rp2 juta), padahal untuk mencapai target UU seharusnya setiap tahun ada penambahan 33 ha.

Secara umum, penerapan kebijakan RTH di Indonesia memang masih minim.

Selain pembebasan lahan, sebenarnya ada kebijakan yang relatif “tidak mengeluarkan biaya” dalam penyediaan RTH. Jika perencanaan kotanya sudah memetakan ketersediaan RTH sebanyak 30% dan lahan-lahan yang ditujukan untuk RTH tersebut benar-benar diamankan dari fungsi lain, maka anggaran dapat ditujukan untuk pembangunan RTH dan pemeliharaannya. Namun, kenyataannya, perencanaan kota di Indonesia tidak mampu mengimbangi pesatnya perkembangan kota.

Ruang kota secara sangat cepat mengakomodasi segala kebutuhan manusia yang amat banyak. Sampai pada suatu waktu, di tengah padatnya perkotaan, baru tersadar, manusia kota butuh udara segar dari pepohonan dan ruang berinteraksi antarmanusia — kebutuhan yang telah terlanjur terlindas oleh masifnya perkembangan kota.

RTH Layaknya Makhluk Hidup

Tantangan keberadaan RTH, selain soal penyediaannya, adalah pada pemeliharaan. Jika setelah terbangun pemeliharaan sebuah bangunan relatif minim, maka pemeliharaan RTH adalah kebalikannya. Memelihara ruang terbuka hijau sama seperti memelihara makhluk hidup yang kesehariannya butuh asupan rutin sehingga nilai pemeliharan minimal harus stabil, tidak bisa menurun. Sayangnya, hasilnya pun tidak terlihat instan (lihat Pasal 1 Undang-Undang Kehidupan Alam!).

Suatu RTH baru dapat dipastikan “hidup” setelah satu tahun selesai pembangunan, dengan indikator pepohonannya dapat tumbuh. Perlu setidaknya 3-5 tahun untuk mendapatkan kerindangan dari pohon peneduh yang dirawat intens, atau bahkan lebih lama lagi untuk pepohonan besar (semacam pohon beringin). Kerindangan atau keteduhan merupakan indikator favorit RTH yang mengundang orang untuk menikmati kemewahan kesegaran udara kota.

Nilai pemeliharaan yang tinggi untuk menghasilkan RTH yang teduh tidak banyak disanggupi banyak pemkot/pemkab, sehingga memunculkan pemahaman bahwa “memiliki RTH itu mahal”. Belum lagi, dengan budaya ruang publik yang belum terbentuk di Indonesia, suatu RTH membutuhkan penjagaan khusus. Di Indonesia, RTH sebagai ruang sosial, tak lepas dari ancaman vandalisme, penyalahgunaan ruang, hingga kekotoran, sehingga keberadaan petugas pengawas taman merupakan kebutuhan wajib, yang tentunya penugasan penjaga atau pengawas taman juga membutuhkan anggaran dari pemerintah.

Bisakah Penyediaan RTH Tidak Bergantung pada Pemerintah?

Jika banyak fakta menunjukkan rendahnya kebijakan pemerintah terkait RTH, bagaimana dengan sektor privat?

Pemenuhan RTH privat, dari sisi nonpemerintah, murni bersandar pada kesadaran masing-masing pihak. Jika pemilik lahan pribadi/swasta merasa ketersediaan ruang terbuka hijau penting, maka ia akan menyediakannya. Sayangnya, kita tak bisa melawan praktik pasar, yang menyandarkan manfaat lahan dari harga ekonomi riil. Wajar jika pemilik lahan menggunakan lahannya untuk kepentingan yang mendatangkan laba sebesar-besarnya. Lahan hijau yang disisakan biasanya sekadar mendapat izin mendirikan bangunan mengikuti kaidah koefisien dasar hijau (KDH) dalam perencanaan kota. Dalam praktik lapangannya, tujuan KDH untuk penyerapan air, penanaman pohon besar, dan fungsi lingkungan kota lainnya, tidak cukup diperhatikan. Kalaupun pemilik lahan menyediakan RTH yang berkualitas, hal ini tidak lepas dari kepentingan komersial yang tidak gratis.

Perhitungan RTH privat secara resmi (yang diklaim sebagai persentase RTH privat sesuai terminologi undang-undang) pun belum ada. Misalkan, saya memiliki lahan yang menyediakan ruang terbuka hijau, belum ada perhitungan yang mengakui bahwa RTH saya itu masuk dalam RTH privat kota. Selama ini, yang terhitung RTH privat baru menjangkau pemilik lahan besar (developer), ataupun dari estimasi peta udara.

Selain itu, manfaat ekologis maupun sosial suatu RTH tidaklah dipengaruhi oleh pemilik lahan. RTH di lahan pemerintah maupun pribadi tetaplah bermanfaat bagi warga kota. Sayangnya, belum ada benefit yang didapat pemilik lahan privat jika dapat menyediakan RTH, misalkan dengan pemberian insentif sebagai nilai tukar fungsi lingkungan secara ekonomi.

Mengapa Fungsi Ekologis RTH Perlu Diutamakan?

Jawabannya klise: sumber daya alamlah yang punya keterbatasan, sedangkan lahan perkotaan makin menipis. Fungsi tanah yang menyerap dan menyimpan air tidak dapat tergantikan oleh apa pun. Sementara, manusia masih dapat hidup dengan tidak menjejak tanah. Manusia akan selamanya menghirup oksigen yang hanya bisa diproduksi pepohonan. Dan belum terbukti, manusia bisa bertahan tanpa asupan makanan nabati dan hewani.

Buruknya kualitas udara di kota besar Indonesia yang merebak belakangan ini sebenarnya merupakan indikasi krisis ekologis di kota. Di balik masifnya gerutuan warga tentang buruknya kualitas udara, berapa banyak yang melihat pada diri sendiri?

Tanya: Apakah sudah menanam pohon untuk kebutuhan napas sendiri ?

Jawab: Yah, tidak ada lahan di sekitar saya untuk menanam pohon….

Lagi-lagi, harus diingat bahwa menanam pohon hasilnya tidak dapat dipetik instan (kembali ke Pasal 1 Undang-Undang Kehidupan Alam!).

Di balik pembangunan MRT dan penataan trotoar di Jalan Sudirman-Thamrin Jakarta, tidak dapat saya lupa kekecewaan hilangnya pohon-pohon besar di urat nadi megapolitan. Walaupun kemudian ditepis bahwa pepohanan tersebut tidak “hilang” melainkan dipindah, tidakkah kita tahu kebutuhan oksigen manusia bukan perkara barang yang dapat dipindahkan? Apalagi, ia tidak tergantikan dengan pohon yang baru ditanam (ingat lagi Pasal 1 Undang-Undang Kehidupan Alam!).

Alam memang lemah. Ia tak pernah diberi kesempatan untuk membuktikan. Selalu kalah karena fitrah hidupnya yang tak instan. Niat menguatkan alam dengan kuantifikasi dalam regulasi, malah menjauhkan dari hal esensi tentang fungsi.

Bencana kekurangan oksigen manusia kota semakin menghantui, seiring hampir semua lahan kota telah terbangun masif. Bencana tidak memandang lahan milik siapa. Saat keseimbangan alam terganggu, kapan bencana datang tinggal tunggu waktu.

Di saat kita sibuk menghitung capaian target regulasi yang utopis, tidakkah kita bisa beranjak mengimplementasikan sains untuk menduplikasi (atau men-tiga kali-kan, atau lebih) fungsi ekologis pada hamparan RTH yang ada? Tidakkah kita bisa berupaya membuat RTH dengan segala fitur dan kegiatan yang menarik bagi warga kota?

Niken Prawestiti
Inisiator ayoketaman dan Kawan Kota
Memiliki ketertarikan pada isu keberlanjutan, ruang publik, komunitas, lingkungan, dan sosial perkotaan

--

--

Ayo Ke Taman
Kolektif Agora

Kampanye pentingnya keberadaan ruang terbuka publik dan kehati perkotaan.