Ide / (Pra)Sarana

Rusuh-Rusuh Mengurus “Kumuh”

Gifari Rahmat
Kolektif Agora
Published in
13 min readJun 19, 2019

--

Sumber: dokumentasi Fuji Restu Pratiwi.

Kelak nanti saat sedang berjalan-jalan di Jakarta, cobalah tengok: di balik gemerlap gedung-gedung besar nan modern, hanya beberapa meter di sampingnya, bersembunyi malu-malu permukiman kumuh yang sangat kontras dengan kemegahan kotanya. Tidak hanya Jakarta, tengok pula saat di Bandung, Surabaya, Yogyakarta, dan kota-kota lainnya di Indonesia, akan mudah kita jumpai permukiman kumuh yang tersebar di berbagai sudut kota. Kondisinya beragam, namun banyak dari tempat tersebut yang dapat kita sebut tak manusiawi. Sungguh tidak ada manusia yang layak untuk tinggal di tempat-tempat seperti itu. Namun, layaknya lapar, maka makanan apapun yang tersedia di depan kita akan kita lahap. Begitu juga rumah, sebagai kebutuhan yang mendasar, seperti apapun bentuknya tetap akan kita tempati ketika tak ada pilihan lain. Sungguh malang, kawasan kumuh merupakan pemandangan yang lazim kita temui di kota-kota kita.

Pemerintah kita bukannya tidak pernah turun tangan menghadapi fenomena ini. Berbagai upaya sudah muncul tenggelam dalam mengentaskan kumuh dan mencegahnya tumbuh baru. Bahkan kini, Pemerintah kita menaruh perhatian lebih dalam upaya pengentasan kumuh. Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015–2019 [1], terdapat suatu sasaran pembangunan yang bisa dibilang ambisius, bahkan utopis, yaitu target pengentasan permukiman kumuh hingga 0% di seluruh penjuru negeri. Ambisius, karena terdapat 38.431 Ha permukiman kumuh yang harus ditangani dalam lima tahun. Utopis, karena upaya pengentasan kumuh adalah upaya terus menerus yang kompleks dengan melibatkan permasalahan multidimensi yang belum terurai dari dulu hingga sekarang.

Kini, di penghujung tahun terakhir RPJMN 2015–2019, target ambisius nan utopis tersebut masih jauh dari kata selesai. Ini bukan sesuatu yang mengherankan. Cara kita memandang permasalahan kumuh masih terlalu linear, di mana berbagai niatan baik dan upaya yang dilakukan selama ini belum mengakomodir beberapa aspek penting dalam pengentasan kumuh. Perlu ada pendekatan yang lebih komprehensif dari upaya-upaya kita selama ini. Beberapa poin yang menyebabkan pendekatan kita selama ini belum menunjukan hasil signifikan disebabkan oleh dua hal fundamental: pertama, pemahaman kita terhadap kekumuhan serta perkembangan diskursus mengenainya yang belum bisa kita adopsi dalam upaya-upaya kita dan kedua, karena saat ini payung hukum kita belum bisa sepenuhnya memayungi berbagai upaya yang diperlukan untuk mengentaskan kekumuhan.

Jika kita tidak segera mengevaluasi pendekatan kita dalam menghadapi fenomena ini, konsekuensi besar sudah siap menanti. Meski upaya pengentasan terus berjalan, tanpa adanya perubahan pendekatan yang lebih komprehensif dan menyentuh ke akar permasalahan, dikhawatirkan pertumbuhan kawasan kumuh baru masih akan tetap terjadi. Ditambah lagi, dengan terus naiknya laju urbanisasi, ancaman terhadap masalah kekumuhan diprediksi akan semakin meluas ke depan. Habitat for Humanity [2] bahkan melaporkan bahwa kelak satu dari empat orang akan tinggal di permukiman kumuh pada tahun 2030.

Masa depan yang menyeramkan ini adalah masa depan milik kita semua. Pertanyaan besarnya, apa yang harus kita lakukan?

Memahami “Kumuh”

Istilah “kumuh” meski dipahami secara universal sejatinya tidak memiliki definisi yang mutlak. Setiap negara memiliki definisinya sendiri mengenai apa itu “kumuh”. Namun, tetap banyak persamaan dari aspek-aspek yang menjadi kriteria kekumuhan itu sendiri.

Secara umum, “kumuh” menandakan tempat tinggal yang tidak layak, dengan akses buruk ke pelayanan dasar seperti air dan sanitasi, akses terbatas terhadap layanan kesehatan, serta kualitas hidup yang buruk (Roy et al., 2014). Selain itu, daerah kumuh dapat diidentifikasikan dari permukiman yang sangat padat, dipenuhi dengan bangunan yang dikonstruksi dengan buruk atau tidak sesuai standar, berada di dalam lingkungan yang tidak sehat, dan biasanya tidak memiliki infrastruktur air minum dan sanitasi yang baik (Goswani dan Manna, 2013).

Khusus untuk diskusi ini, kita menggunakan definisi yang lebih umum dari UN Habitat (2015) yang mendefinisikan kekumuhan sebagai kondisi di mana suatu lingkungan hunian memiliki satu atau lebih dari karakteristik berikut: akses buruk terhadap sumber air minum, akses buruk terhadap fasilitas sanitasi, rentannya ketahanan bangunan, dan kurangnya keamanan pada kepemilikan. Perlu dipahami juga bahwa kekumuhan bersifat heterogen di mana tiap permukiman memiliki sebab serta derajat keparahan yang berbeda.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat kita lihat bahwa kekumuhan dititikberatkan pada kondisi fisik lingkungannya. Namun, di balik itu semua, akar penyebab kekumuhan belum tergambarkan dengan baik. Baru-baru ini di dalam XIX ISA World Congress of Sociology tahun 2018 kembali didengungkan bahwa kekumuhan adalah manifestasi dari kemiskinan dan ketidakadilan sosial, sesuatu yang sudah lama dan banyak dikemukakan akedimisi namun belum menjadi perhatian para pemangku kebijakan; kumuh adalah tanda spasial dan fisik dari kemiskinan perkotaan (urban poverty).

Memang terdapat korelasi yang kuat antara “kumuh” dan kemiskinan. Mayoritas penghuni kawasan kumuh adalah masyarakat miskin perkotaan atau dalam hal ini kita sebut urban poor. Namun, tidak semua penghuni permukiman kumuh adalah masyarakat miskin dan vice versa. Untuk dapat memahaminya secara utuh, kita perlu benar-benar memahami tentang penghuni kawasan tersebut, siapa mereka, dan kenapa mereka bisa tinggal di sana. Barulah kita dapat menyadari bahwa kekumuhan dan kemiskinan bagaikan dua sisi mata uang, sehingga untuk dapat mengentaskan kekumuhan juga perlu menyentuh permasalahan urban poverty.

Budi Prayitno (2012) di dalam bukunya “Perlindungan Hak Bermukim MBR dan Warga Miskin Perkotaan” menyebutkan salah satu upaya krusial untuk menciptakan kawasan yang bebas kumuh dan bisa mengangkat kualitas hidup penghuninya adalah bantuan atau keberpihakan agar kelompok urban poor yang tinggal di kawasan kumuh terpenuhi haknya dalam bermukim di kota. Hal ini merupakan modal awal yang dibutuhkan untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Sayangnya, hak bermukim ini adalah hal yang paling sering direnggut dari para urban poor.

Padahal, kembali Budi Prayitno tekankan, para urban poor ini dijuluki sebagai debu emas perekonomian kota (gold dust of urban economy), sebuah metafora yang menarik karena menggambarkan urban poor dengan cermat. Di satu sisi mereka dipandang bagai debu-debu yang tidak berharga oleh para elite perkotaan di mana sering kali kebijakan dan tindakan yang dilakukan kerap merugikan dan tidak adil bagi urban poor tersebut. Sementara, keberadaan mereka sangat esensial dalam menggerakkan roda-roda penghidupan perkotaan. Mereka menyediakan tenaga kerja yang murah dalam pengembangan industri perkotaan dan pembangunan infrastruktur, serta sering kali mereka mengisi posisi-posisi penting yang tidak mau diambil oleh kelas menengah dan atas, seperti menjadi tenaga kebersihan, penjaga toko, sopir taksi, dan lain sebagainya. Menyediakan jaminan keamanan bermukim bagi urban poor menjadi langkah fundamental untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.

Jika dibiarkan, ketika urban poor terus menerus tinggal di kawasan kumuh, maka dapat menyebabkan mereka terjebak di dalam poverty trap — suatu kondisi di mana tinggal di tempat kumuh mempersulit penduduknya untuk keluar dari kemiskinan. Tinggal di kawasan kumuh menjadi beban sosial, ekonomi, dan finansial yang berat bagi rumah tangga. Beberapa contohnya adalah rawan terhadap berbagai macam penyakit, tidak mendapatkan akses finansial untuk memperoleh modal atau aset untuk berkembang, hingga sulitnya memperoleh pelayanan dasar seperti air bersih dan sanitasi. Kondisi ini menjadi lingkaran setan yang menghambat mereka menjadi “mampu”.

Di satu sisi, secara historis, kekumuhan sudah ada di kota-kota masa kolonial. Kota kala itu dibangun berdasarkan segregasi ras yang memukimkan penduduk berdasarkan rasnya. Orang Eropa dan Timur Asing tinggal di permukiman dengan fasilitas yang layak, sebaliknya penduduk lokal tinggal di kawasan yang terpinggirkan tanpa difasilitasi infrastruktur dan pelayanan yang layak. Masyarakat lokal dianggap penduduk kelas dua. Mereka didiskriminasi oleh kebijakan yang berkuasa. Hal ini adalah bentuk hegemoni kolonial terhadap masyarakat yang lemah, menunjukan bahwa mereka tidak memiliki hak terhadap ruang di kota mereka sendiri.

Mirisnya, kini saat sudah merdeka, masih banyak ditemukan praktik-praktik serupa di mana mereka yang berkuasa menyingkirkan dan merenggut hak akan ruang kota masyarakat yang termarjinalkan, hanya beda pelaku saja. Melalui sejarah ini kita bisa belajar dua hal. Pertama, bahwa kekumuhan itu sering kali diciptakan oleh kebijakan diskriminatif. Kumuh tidak hanya karena pertumbuhan yang organik akibat keterbatasan ruang kota, namun juga karena ketidakmampuan pemerintah berlaku adil dalam pemanfaatan ruang kota. Kedua, bahwa kita belum belajar banyak dari masa lalu dalam menjunjung hak akan ruang kota bagi seluruh masyarakat.

Dari sini, kita bisa ketahui bahwa kekumuhan bukan hanya tentang aspek fisik lingkungan, tetapi terdapat lapisan-lapisan yang lebih dalam lagi, di mana kumuh juga sangat erat kaitannya dengan kemiskinan dan kekuasaan.

Memandang Kekumuhan dari Kacamata Perundang-Undangan Kita Saat Ini

Undang-Undang Nomor 1 tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman mendefinisikan kumuh dalam dua konteks. Pertama, perumahan kumuh yang merupakan perumahan yang mengalami penurunan kualitas fungsi sebagai tempat hunian. Kedua, permukiman kumuh yaitu permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat.

Sementara itu, mengenai kriteria kekumuhan, tata cara penetapan lokasi, dan pola penanganan dibahas lebih lanjut di PP No. 14 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman. Di dalam PP tersebut, dijelaskan mengenai kriteria kekumuhan yang terdiri dari tujuh kriteria dan enam belas poin turunannya. Peraturan-peraturan tersebut pun didetailkan lagi untuk pelaksanaan teknisnya di dalam Permen PUPR No 14/PRT/2018 tentang Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Terhadap Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh.

Sumber: Fuji Restu Pratiwi, 2018

Dari kriteria dan turunannya tersebut, kita dapat menghitung nilai tingkat kekumuhan. Di dalam Permen PUPR 14/PRT/2018 sudah dijelaskan dalam lampirannya metode beserta rumus untuk menghitung scoring dari ketujuh kriteria tersebut. Sederhananya, setiap turunan kriteria akan dinilai kondisinya dalam bentuk persentase, lalu persentase tersebut dikonversi ke dalam skor dari 1, 3 atau 5. Setelah itu, nilai skor dari tiap kriteria akan diakumulasikan. Jika total skornya di bawah 16, maka selamat, karena kawasan Anda tidak termasuk kumuh. Namun, jika di atas 16, maka kawasan tersebut tergolong kumuh, bisa jadi kumuh ringan, kumuh sedang, hingga kumuh berat, tergantung besaran skor.

Sementara itu, untuk mendeliniasi (membuat batasan spasial) perumahan kumuh dan permukiman kumuh dilakukan pertama-tama dengan menentukan dahulu permukiman yang akan ditinjau (mau secara administratif atau lintas batas administratif). Kemudian, permukiman tersebut dibagi per RT, di mana setelahnya dilakukan perhitungan skor tingkat kekumuhan per RT. Proses terakhirnya setelah itu adalah mendeliniasi setiap RT yang tergolong kumuh ke dalam satu kawasan.

Terkait pola penanganan, Permen PUPR 14/PRT/2018 telah menjelaskan bahwa pola penanganan terbagi tiga, yaitu: pemugaran, peremajaan, dan pemukiman kembali. Pemugaran merupakan perbaikan in situ, sedangkan peremajaan adalah memindahkan sementara penduduknya agar dapat ditingkatkan kualitas permukiman lamanya. Terakhir, pemukiman kembali adalah memindahkan penduduk ke lokasi lain, atau bahasa gamblangnya: menggusur.

Sumber: Visualisasi Pribadi, 2019

Terakhir, mengenai prioritas penanganan kawasan kumuh, selain melihat tingkat kekumuhan dan legalitas tanah, ada pertimbangan lain yang menjadi masukan memprioritaskan kawasan. Pertimbangan lain ini melihat nilai strategis lokasi kawasan, kepadatan penduduk, dan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya. Dari sana, akan dilakukan penilaian dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut untuk menentukan skala prioritas kawasan yang perlu ditangani terlebih dahulu.

Dilihat dari keseluruhan badan perundangan kita tentang kekumuhan ini, dapat ditemukan beberapa bagian yang dirasa masih luput dan belum memberikan jawaban, di antaranya:

  1. Definisi perumahan dan permukiman di dalam UU No. 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman memiliki kerancuan. Perumahan didefinisikan yaitu kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni. Sementara, definisi tentang permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan. Nyatanya, di Indonesia, pertumbuhan perumahan dan permukiman sering kali terjadi secara acak. Secara faktual, sangat sulit untuk mendeliniasi permukiman kumuh yang sesuai dengan definisi undang-undang, karena begitu tidak teraturnya perumahan dan fasilitas penunjang eksisting. Hal ini mempersulit deliniasi. Belum lagi ditambah dua definisi tentang kumuh, yaitu kumuh perumahan dan kumuh permukiman, sehingga sedikit banyak membuat bingung dan menyebabkan saling lempar tanggung jawab.
  2. Penilaian terhadap tingkat kekumuhan dirasa kurang tepat sasaran karena menjadikan semua kriteria sama signifikannya. Nyatanya, saat berbicara kekumuhan yang paling pertama muncul di kepala adalah perumahannya. Seperti hasil studi dari berbagai literatur sebelumnya, kondisi bangunan dan ketersediaan air serta sanitasi ditempatkan sebagai poin paling penting. Seharusnya, ada pembobotan awal yang menjadikan nilai kriteria perumahan lebih tinggi. Misalnya, dari proteksi kebakaran atau dari kriteria lain yang tidak signifikan dalam meningkatkan kualitas hidup. Hal ini dapat membuat kita memiliki fokus yang tepat dalam penanganan kondisi kumuh, sehingga penanganan yang akan dilakukan lebih efisien dan efektif. Tidak jarang, banyak kualitas pelayanan dasar suatu perumahan cukup baik, namun karena kurangnya nilai proteksi kebakaran, maka sebuah kawasan dapat diklasifikasikan kumuh. Dan juga sebaliknya, ada kawasan yang sebenarnya kumuh namun dianggap tidak.
  3. Bentuk pola-pola penanganan yang tersedia di undang-undang kita lebih bersifat linear. Setiap permukiman ilegal otomatis akan dimukimkan kembali, padahal masih banyak solusi lain yang bisa ditempuh. Memang banyak kawasan perlu direlokasi atas nama keselamatan, sehingga menjustifikasi pemukiman kembali. Namun, perlu diperhatikan pula bahwa ada permukiman yang sebenarnya masih layak ditinggali namun tetap dijadikan ilegal. Selama kawasan tersebut punya nilai tambah yang baik ke lingkungannya, semisal nilai historis, ekonomi, atau keunikan lain, bisa saja dilakukan engineering kawasan untuk membuatnya layak huni. Penerapan pola penanganan pemukiman kembali ini seolah ingin mengambil jalan cepat. Jika setiap permasalahan harus direlokasi tanpa menyentuh akar permasalahan kumuh di kawasan tersebut, yang ada hanyalah memindahkan kekumuhan ke tempat lainnya. Seperti kasus di mana penghuni kawasan kumuh direlokasi ke rumah susun, namun selang beberapa bulan berikutnya mereka terancam diusir karena menunggak bayaran. Praktik seperti ini ibarat menggusur secara diam-diam. Tentu ini tidak sesuai dengan cita-cita di Permen PUPR 14/PRT/2018 untuk menangani kumuh secara manusiawi, berbudaya, berkeadilan, dan ekonomis.
  4. Dari kacamata perundang-undangan tersebut, ada kecenderungan cara pandang yang masih melihat kumuh hanya dalam lapis pertamanya, yaitu aspek fisik lingkungannya. Padahal, seperti yang sudah dibahas di bagian sebelumnya, “kumuh” adalah permasalahan multidimensi yang memiliki lapis-lapis lain di belakangnya yang perlu ditangani juga. Memang di dalam undang-undang sempat membahas pertimbangan lain yang meninjau aspek sosial, ekonomi, dan budaya, namun aspek tersebut hanya digunakan dalam menentukan prioritas penanganan, bukan bagaimana mengelolanya. Di samping itu, aspek tersebut masih terlalu umum penjabarannya dalam perundangan, sehingga tidak praktis dan belum signifikan bagi penanganan kumuh. Pentingnya untuk mempertimbangkan hal-hal tersebut dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan dari berbagai aspek lain tergambarkan dengan jelas dalam suatu kisah. Suatu ketika, pemerintah membangun sambungan air bersih ke sebuah permukiman kumuh. Diharapkan kualitas kehidupan masyarakatnya meningkat dan tidak lagi melakukan kegiatan mandi, cuci, dan kakus di kali yang tercemar di dekat permukiman. Namun, saat pemerintah kembali untuk mengetahui kondisi masyarakatnya, betapa kagetnya mereka melihat masyarakat masih berbondong-bondong mandi dan mencuci di kali. Saat ditanya kenapa tidak menggunakan air di rumahnya, mereka secara polos berucap, “Kami tidak ada uang untuk membayar tagihan air tiap bulannya, di sini [kali] kami bisa bebas menggunakan air.”

Selain materi substansi dari perundangan-undangan, ada hal lain yang tidak boleh luput. Luasan kawasan kumuh bukan nilai yang konstan. Jika saat ini sebuah kawasan memiliki luas sebesar 38.431 Ha, tanpa adanya upaya pencegahan yang disiplin dan masif, nilai kumuh tersebut bisa saja malah bertambah meskipun sudah dikerjakan berbagai upaya pengentasannya. Oleh karena itu, upaya pencegahan dan pengentasan perlu dilakukan sama seriusnya.

Perkembangan Diskursus Mengenai Kekumuhan

Kata “kumuh” sudah terlalu usang dan lebih sering menyebabkan petaka daripada manfaat bagi penghuninya. Sekiranya, itulah premis dari Alan Mayne, seorang akademisi dari Australia, di dalam bukunya “Slums: The History of a Global Injustice”. Dirinya berargumen untuk tidak lagi menggunakan kata “kumuh” dalam mendeskripsikan lingkungan yang memiliki kualitas yang buruk. Pasalnya kata kumuh ini telah digeneralisir sedemikian rupa, sehingga segala penanganan terhadapnya selalu sama. Kebijakan palu gada seperti ini menghambat pengentasan kumuh hingga ke akarnya. “Kumuh” sering kali dijadikan sebagai justifikasi oleh pemerintah terhadap eksternalitas dari laju urbanisasi. Padahal, sering kali kumuh itu sendiri adalah akibat dari kebijakan permukiman yang tidak adil.

Setiap komunitas adalah produk dari suatu pengaruh historis ataupun geografis. Tidak sedikit permukiman kumuh yang memiliki nilai budaya dan ekonomi yang tinggi, yang bila dikembangkan mampu menjadi daya dongkrak bagi peningkatan kualitas hidup masyarakatnya. Bahkan di Indonesia sendiri, sebenarnya sudah ada beberapa contoh penanganan kumuh swadaya yang berhasil seperti Kampung Glintung Go Green. Memang untuk mewujudkannya harus ada niatan baik di kedua pihak: masyarakat mau berswadaya dan pemerintah berinisiatif membantu dan mengarahkan. Sayangnya, cara pandang dari banyak pemangku kebijakan dalam memandang kumuh masih kaku, sehingga pilihan kebijakan dalam menangani kumuh terbatas dan minim kreasi. Padahal, ada banyak potensi dari kawasan-kawasan permukiman yang masih bisa digali.

Selain itu, sudah dari beberapa tahun yang lalu, telah dibuka suatu diskursus baru dalam memandang kumuh dengan berbasis hak dasar. Dalam diskusi terkait, Budi Prayitno menyampaikan bahwa sudah saatnya menggunakan pendekatan berbasis hak dan meninggalkan pendekatan berbasis spasial, yaitu pendekatan yang hanya mengelompokkan masyarakat miskin ke dalam status tanahnya, legal atau ilegal. Karena, hak akan tempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sudah tertuang di dalam UU dasar 1945 Pasal 28H dan kembali diperjelas dalam Pasal 40 UU no. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah Indonesia untuk menjamin penyediaan hak tersebut. Ke depan, perlu paradigma yang beyond shelter, di mana cara kita melihat kekumuhan tidak hanya dari sisi permukimannya saja, melainkan dari faktor lain, seperti hak untuk mengakses permukiman layak dan hak untuk dilindungi dalam bertempat tinggal.

Cara pandang ini senada dengan argumen di awal tentang memberikan legitimasi bagi kelompok urban poor yang tinggal di kawasan kumuh agar memiliki akses terhadap keamanan dalam bertempat tinggal di dalam kota. Pemerintah harus mengganti kecenderungannya yang melempar penyediaan perumahan dan permukiman ke mekanisme pasar karena hal ini akan menciptakan kontestasi antara si kaya dan urban poor dalam mengakses ruang kota. Hasilnya sudah pasti, si kaya akan memonopoli ruang-ruang kota, sementara urban poor akan termarjinalkan dan menempati ruang-ruang kota yang tidak layak. Dari sinilah permukiman-permukiman kumuh lahir. Untuk mencegah hal itu terjadi, maka kebijakan yang harus ditetapkan kedepannya wajib berpihak kepada kelompok-kelompok urban poor tersebut.

Penanganan ke Depan?

Beberapa poin penting yang bisa diterapkan di antaranya:

  1. Sadari sedari awal, bahwa ada kelompok-kelompok rentan penghuni kota yang memerlukan bantuan dalam memenuhi hak mereka, sehingga dalam penyusunan tata ruang dan sistem pertanahan perlu memberikan ruang yang layak bagi kelompok tersebut. Karena tata ruang bisa ditata ulang, tidak ada alasan untuk tidak mampu memberikan hak ruang kota kepada penduduknya secara adil.
  2. Sadari potensi permukiman. Gusur menggusur bukanlah solusi penanganan kumuh yang efektif. Masih banyak solusi alternatif yang lebih baik. Belum lagi fakta bahwa banyak kepala daerah enggan melakukan penggusuran karena takut merusak citranya, tetapi di satu sisi enggan juga mencari alternatif. Akibatnya kumuh dibiarkan saja, padahal ini adalah hak dasar masyarakat. Banyak kawasan kumuh menyimpan potensi untuk dapat dikembangkan menjadi harta yang berharga bagi kawasan bahkan kotanya. Apakah siap menempuh jalan yang lebih sulit, namun dengan imbalan ke depan yang lebih baik?
  3. “Kumuh” bukanlah persoalan yang mudah. Ada berbagai macam lapisan yang menyebabkan kumuh begitu kompleks dan merupakan tugas yang mustahil jika dikerjakan oleh satu pihak saja. Oleh karenanya, penanganan kumuh ini harus melibatkan kerja sama yang kuat dari sebanyak mungkin pihak, karena ini adalah permasalahan kita semua.

Kalau perlu, ya, kita rusuh-rusuh mengurus kumuh.

Referensi

[1] RPJMN 2015–2019 [tersedia di: http://djsn.go.id/storage/app/media/RPJM/BUKU%20I%20RPJMN%202015-2019.pdf]

[2] https://www.habitatforhumanity.org.uk/what-we-do/slum-rehabilitation/what-is-a-slum/

[3] Roy, D., Lees, M., Palavalli, B., Pfeffer, K., Sloot, M.A.P. 2014. The emergence of slums: A contemporary view on simulation models. http://www.complexity.ntu.edu.sg/publications/Documents/Publications/PMAS-Slums.pdf

[4] Goswani, S., Manna, S. 2013. Urban Poor Lining in Slums: A Case study of Raipur City in India. Global Journal of Human Social Science Sociology & Culture Volume 13 Issue 4. https://www.researchgate.net/publication/316846315_Urban_Poor_Living_in_Slums_A_Case_Study_of_Raipur_City_in_India

[5] Prayitno, B. 2012. Perlindungan Hak Bermukim MBR dan Warga Miskin Perkotaan. UGM [dapat diakses di: https://repository.ugm.ac.id/32910/1/Perlindungan_Hak_Bermukim_MBR_dan_Warga_Miskin_Perkotaan.pdf]

[6] Undang-Undang RI №1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman [tersedia di: https://www.bphn.go.id/data/documents/11uu001.pdf]

[7] Peraturan Pemerintah RI № 14 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman [tersedia di: https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt57612001edf7e/nprt/lt511b434e6b2d6/peraturan-pemerintah-nomor-14-tahun-2016]

[8] Permen PUPR № 14/PRT/2018 tentang Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Terhadap Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh [tersedia di: http://jdih.pu.go.id/produk-hukum-detail.html?id=2313]

[9]UUD Republik Indonesia 1945 [tersedia di: http://jdih.pom.go.id/uud1945.pdf]

[10]UU № 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia [tersedia di: https://www.komnasham.go.id/files/1475231474-uu-nomor-39-tahun-1999-tentang-$H9FVDS.pdf]

--

--