Editorial

Sandang, Pangan, dan (Apa Kabar) Papan

Tentang Apa-apa yang Menghalangi Kita untuk Bernaung

Dinda Primazeira
Kolektif Agora

--

Ada suatu masa ketika saya berandai-andai memiliki sebuah rumah berhalaman luas ketika dewasa nanti; agar hewan peliharaan saya bisa bebas berlarian, agar dapat membaca buku dengan nyaman, pun agar sekedar memperoleh ketenangan pada sebuah jeda.

Dulu, saya kira harga rumah akan murah dan membeli rumah akan mudah.

Foto oleh Sangkara Nararya, 2018.

Berbagai media kini mempertanyakan kemampuan generasi kita — milenial — atas pemilikan hunian pribadi pada masa yang akan datang. Mereka — media — berusaha menguraikan faktor-faktor penyebab munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan menyadur dari berbagai sumber. Masing-masing media cenderung menodong hanya satu jenis aspek sebagai sumber persoalan ini. Padahal, masing-masing tersebut hanyalah simpul-simpul kecil dalam konstelasi yang lebih besar.

Keterjangkauan Rumah Tinggal

Bertempat tinggal merupakan kebutuhan dasar hak setiap manusia, sebagaimana tercantum pada UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Saat ini sudah saatnya bagi generasi milenial, yakni generasi yang lahir pada rentang tahun 1980 sampail awal 2000, untuk hidup mandiri dan memasuki pasar properti. Hanya saja, dengan rata-rata pendapatan yang hanya 6,1 juta per bulan, belum banyak dari generasi kita yang sudah mampu membeli rumah. Di banyak kota di Indonesia, kenaikan harga properti bahkan sudah melampaui pertumbuhan pendapatan.

Menurut sebuah penelitian di Amerika Serikat, pada dasarnya, kaum milenial memiliki keinginan untuk memiliki rumah pribadi. Di Amerika sendiri misalnya, 80% kaum muda menyatakan kesulitan untuk mendapat hunian yang terjangkau. Penelitian CBRE di lima negara Asia Pasifik menunjukkan kondisi serupa. Hanya 11% dari 13.000 responden memutuskan untuk membeli hunian pribadi. Sementara itu, 3% di antaranya bertempat tinggal di rumah dinas, 23% memilih untuk menyewa, dan 63% sisanya tinggal bersama orang tua. Kondisi ini tidak serta-merta terjadi. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kecilnya kemungkinan bagi kita untuk memiliki properti pribadi.

Bukan Sama Sekali Tidak Bisa, Melainkan Memang Sulit

Terdapat beberapa faktor eksternal yang menjadi penyebab sulitnya milenial mengakses kepemilikan rumah, yaitu ketidakstabilan pendapatan, jenis pekerjaan, kesenjangan pendapatan, dan kepemilikan harta (Dickerson, 2016). Menurut Dickerson (2016), terdapat perbedaan sistem ekonomi yang kentara antara generasi orang tua kita dengan saat ini. Generasi orang tua kita cenderung memiliki pendapatan tetap dan sistem kenaikan upah yang terprediksi. Sementara itu, kondisi lapangan kerja pada saat ini cenderung berlawanan, yakni tidak lagi memberikan upah yang stabil dan terprediksi.

Sementara itu, generasi muda kita tidak memilih pekerjaan hanya sekadar untuk mendapat upah. Terdapat proses internalisasi minat, peningkatan pengetahuan, dan kehausan atas pengalaman yang menjadi preferensi tambahan ketika memilih pekerjaan. Karenanya, memperoleh dan memilih pekerjaan tetap bukanlah sesuatu yang mudah karena kini kita memasuki era gig economy, yakni kondisi yang dicirikan dengan maraknya kontrak-kontrak jangka pendek dan pekerja lepas.

Ketersediaan pekerjaan pada masa ini, disertai peningkatan lulusan perguruan tinggi, menyebabkan semakin banyaknya masyarakat yang setengah menganggur. Setengah pengangguran ini meliputi masyarakat yang secara kapasitas mumpuni, mengharapkan pekerjaan full time namun hanya diterima sebagai pekerja paruh waktu, dan mengharapkan pekerjaan yang berbeda dengan pekerjaan yang sedang dijalani.

Karena tidak memiliki kepastian atas pendapatan, sistem kredit tidak lagi menjadi opsi terbaik sebagaimana dilakukan kebanyakan orang tua kita karena perbedaan pendapatan yang diperoleh. Pada usia yang kurang lebih sama, pendapatan kita saat ini tidak melebihi pendapatan orang tua pada masa lampau karena. Hal ini terjadi karena adanya krisis ekonomi. Di Indonesia, krisis yang terjadi pada tahun 1998 memperparah kesenjangan antara “kaya” dan “miskin”.

Pendapatan bagi masyarakat kelas atas, yang hanya sebagian kecil dari populasi meningkat drastis, sementara pendapatan kelas menengah ke bawah hanya cenderung stagnan atau mengalami peningkatan yang tak berarti. Akibatnya, generasi kita yang memiliki pendapatan yang tidak jauh berbeda dengan generasi sebelumnya — ditambah dengan ketidakpastian pekerjaan — tidak mampu mengimbangi kenaikan harga properti yang telah melonjak berkali-kali, terutama pascakrisis moneter.

Setidaknya, Apa yang Bisa Dilakukan?

Bagi kita yang sudah terlanjur menjadi bagian dari generasi ini, kecilnya kemungkinan bagi kita untuk memiliki rumah tinggal memang tak terelakan lagi (O’Neill et al., 2016). Apabila sebelumnya menabung dan sistem kredit menjadi pilihan ideal, maka kini tidak lagi.

Bukan berarti tidak bisa sama sekali. Menabung bisa menjadi sebuah solusi paling baik bagi generasi kita (Xu, 2016). Dickerson (2016) menyatakan bahwa tidak mungkin bagi seorang milenial untuk membeli rumah tanpa tabungan, bahkan untuk sekadar membayar uang muka. Walaupun begitu, sebagian masyarakat kelas menengah ke bawah di Amerika sudah meninggalkan kebiasaan menabung dan melepaskan angan untuk memiliki rumah karena kebutuhan hidup yang semakin tinggi (Dickerson, 2016). Selain menabung, “bantuan” dari orang tua menjadi pilihan kedua. Bantuan yang dimaksud dapat berupa bantuan dana untuk membeli rumah dan juga berupa warisan.

Terlepas dari banyaknya faktor yang memperkecil kemungkinan untuk memiliki, proses berkehidupan merupakan faktor yang paling menentukan keputusan masing-masing individu untuk membeli rumah tinggal atau tidak (Mulder & Wagner, 1998, 2001).

Wacana Rumah sebagai Asupan Pikiran

Persoalan mengenai kemampuan milenial untuk membeli rumah memang merupakan sebuah masalah bersama karena menyasar sebuah kelompok masyarakat yang besar, yakni sekitar 33% dari total populasi. Akan tetapi, apabila kita meninjau kembali, persoalan akses terhadap rumah tinggal bukan sebuah persoalan baru. Persoalan yang sudah terjadi selama berpuluh-puluh tahun ini tidak kunjung memperoleh sorotan karena cenderung terjadi hanya kepada masyarakat berpenghasilan rendah yang belum melek huruf dan teknologi.

Kiranya, selain menjadi beban pikiran tentang bagaimana kita bertempat tinggal pada masa yang akan datang, persoalan ini dapat sekaligus menjadi pengingat bahwa masih hak-hak dasar kita sebagai manusia yang belum terpenuhi.

Selain itu, pemerintah dan industri-industri properti sebagai pemilik kuasa tertinggi pada industri properti, bukankah seharusnya kini berefleksi; masih sesuaikah pasar properti di Indonesia dengan kondisi masyakat saat ini (dan masa depan)? Bukankah ada kebijakan dan hal-hal yang perlu diubah?

Referensi

  • Dickerson, A. Mechele (2016). Millennials, Affordable Housing, and the Future of Homeownership.
  • Xu, Yilan, et al. (2015). Homeownership Among Millenials: The Deferred American Dream?
  • Purwandi, Lilik. (2016). Indonesia 2020: The Urban Middle Class Millenials.

--

--