ESAI / BUMI

Sebutir Dua Butir, Lama-Lama Menjadi Kota

Masifnya Permintaan Sumber Daya Pasir sebagai Ongkos Pembangunan

Alvaryan Maulana
Kolektif Agora

--

https://unsplash.com/photos/bpIyUMGPH1A?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditShareLink

Pasir adalah salah satu sumber daya alam yang paling banyak dikonsumsi dan sangat esensial untuk berbagai aktivitas manusia. Industri, pengelolaan air, elektronik, hingga konstruksi semuanya membutuhkan pasir.

Khusus untuk bidang konstruksi, kebutuhan pasir dunia diperkirakan sangat besar, meski tidak bisa dihitung secara langsung. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan proxy terhadap konsumsi semen. Satu ton semen beton membutuhkan 10 ton pasir. Jumlah permintaan semen lebih mudah dihitung karena merupakan produk industri. Penghitungan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) memperkirakan konsumsi totalnya melebihi 40 miliar ton per tahun.

Pengetahuan bahwa tidak semua jenis pasir dapat digunakan untuk konstruksi juga adalah hal yang ekslusif. Pasir gurun misalnya, tidak berguna untuk konstruksi karena mudah mengalami oleh erosi angin dan tidak mengikat dengan baik pada beton.

Pasir yang baik digunakan dalam konstruksi biasanya bersumber dari penambangan terbuka di darat, dikeruk dari dasar sungai, atau diambil dari dasar laut. Namun, yang menjadi komoditas utama adalah pasir dari dasar sungai, karena pasir dari dasar laut memiliki kandungan garam yang menyebabkan korosi pada konstruksi bangunan.

Permintaan yang tidak pernah berhenti terhadap komoditas pasir berhubungan langsung dengan perkembangan teknologi dan urbanisasi. Teknologi membutuhkan pasir untuk membuat layar, sementara urbanisasi membutuhkan beton untuk terus membangun. Laju pengotaan dengan demikian punya relasi yang dekat sekali dengan diskursus sumber daya pasir yang terbatas dan berpotensi menimbulkan konflik laten yang senyap di seluruh dunia.

Memotret Sumber Daya Pasir

Sulit untuk menjelaskan bahwa pasir bukanlah sumber daya yang murah dan unlimited, serta membutuhkan perbaikan pengelolaan. Akibatnya, ancaman krisis dan konflik akibat sumber daya pasir ini belum disadari secara luas.

Meregulasi penggunaan pasir adalah perkara yang gampang-gampang susah. Pasir bukan barang tambang bernilai tinggi seperti emas atau nikel yang diperebutkan banyak pihak karena keberadaanya ada di mana-mana. Masuk akal pula jika menganggap pasir sebagai common-pool resources karena pada dasarnya dapat diakses oleh siapapun.

Anggapan bahwa suplainya melimpah ruah dan dapat diakses secara bebas inilah yang menyebabkan petaka, sekaligus menyebabkan petaka itu tidak dibicarakan karena sudah dianggap sebagai kewajaran: bahwa untuk membangun, memang perlu ada yang dikeruk.

Sumber daya pasir biasanya didapatkan dari penambangan pasir di pantai, sungai, atau dasar laut. Belakangan juga ditemukan cara yang terdengar di luar nalar, tapi benar-benar terjadi:“membongkar” pulau-pulau kecil.

Di mana pun tempatnya, penambangan pasir harus diregulasi, atau setidaknya dilakukan dengan cara-cara teknis yang memperhatikan aspek lingkungan. Sayangnya, bagian ini juga masih minim sekali dibicarakan.

Penambangan pasir punya implikasi mengganggu ekosistem dan keanekaragaman hayati. Adanya pengerukan pasir turut mengeruk mikroorganisme sehingga petak tanah yang dikeruk menjadi wilayah “mati” bagi kehidupan.

Selain itu, hilangnya jumlah pasir dalam jumlah besar di sebuah ekosistem menyebabkan kondisi fisiknya menjadi rentan terhadap abrasi dan erosi.

Dalam kasus pesisir, adanya abrasi menjadi faktor yang memperparah ancaman yang dihadapi akibat krisis iklim, seperti kenaikan muka air laut dan banjir akibat cuaca ekstrim. Ancaman lain yang perlu diperhatikan adalah kelangkaan pasokan air akibat intrusi air laut terhadap lapisan akuifer di daratan.

Sementara itu, penambangan di wilayah air yang mengalir seperti sungai berpotensi mengganggu siklus hidrologi. Adanya penambangan pasir menyebabkan perubahan aliran air yang berimplikasi terhadap sedimentasi, banjir, hingga kerusakan parah terhadap area pertanian.

Kerusakan infrastruktur jembatan, tanggul sungai, dan prasarana badan air lainnya juga menjadi implikasi yang mengintai jika penambangan pasir di sungai dilakukan tanpa pengaturan yang baik.

Masa Depan Penambangan Pasir

Lebih lanjut, diskursus soal sumber daya pasir ini perlu dilihat dari dua sudut pandang, yakni supply dan demand.

Sisi supply spesifik membicarakan bagaimana cara pasir-pasir ini disediakan. Di bagian sebelumnya, kita tahu apa implikasi penambangan pasir terhadap lingkungan, yang secara tidak langsung mempengaruhi ruang hidup masyarakat yang terkoneksi dengan lokasi penambangan.

Skema-skema penambangan pasir yang strategis perlu dipikirkan. Salah satu contohnya adalah memetakan lokasi-lokasi badan-badan sungai yang memang perlu dikeruk untuk menjaga sedimentasi, kemudian memberikan instentif kepada pelaku industri untuk menambang pasirnya dari lokasi yang sudah ditentukan tersebut.

Greenland (ironisnya) memanfaatkan dampak krisis iklim dalam memutar roda perekonomian melalui penambangan pasir di delta aliran gletser yang terus mengalir akibat bongkahan es yang mencair di hulu. Aliran gletser tersebut membawa sedimen pasir siap tambang di bagian pesisir.

Langkah berikutnya adalah memikirkan ulang permintaan akan sumber daya pasir untuk keberlanjutan peradaban manusia. Pada bagian inilah percakapan soal demand dilakukan.

Pada suatu titik, aktivitas manusia harus melepaskan ketergantungan terhadap pasir. Selain karena ketersediaannya terbatas, biaya dan dampak penambangannya terlalu mahal.

Melepaskan diri dari ketergantungan terhadap sumber daya pasir ini bukan dalam rangka melandaikan kemajuan peradaban manusia. Justru, hal tersebut dilakukan supaya pembangunan peradaban manusia berevolusi ke arah yang lebih baik. Cara-cara dan strategi alternatif pembangunan yang lebih berkelanjutan perlu dimulai sesegera mungkin.

Menurut UNEP, masih terbatas sekali publikasi dan penelitian yang dapat mendukung kampanye untuk mengurangi penambangan pasir secara sembarangan. Sulit untuk memosisikan pasir sebagai sumber daya yang akan mengalami kelangkaan. Adanya regulasi berpotensi dilihat sebagai praktik tidak baik dalam perdagangan.

Bisa dibilang meregulasi penambangan pasir secara tiba-tiba hanya akan mendorong penambangan ilegal karena demand terhadap sumber daya pasir yang terlalu besar untuk diabaikan. Oleh karena itu, upaya harus dimulai dari sisi permintaan, entah dengan cara meminimalisir permintaan atau memunculkan material alternatif untuk pembangunan.

Penutup

Jika terus dibiarkan, pengambilan pasir dan konsumsi yang berlebihan tidak hanya membawa dampak terhadap lingkungan, tapi juga melebar ke urusan sosial-politik, seperti konflik penambangan pasir di Lumajang dan Kulonprogo.

Percakapan soal sumber daya pasir menjadi bagian tidak terpisahkan dari ketimpangan pembangunan, mengingat lokasi yang membutuhkan pasir dalam jumlah besar adalah kota-kota besar yang menjadi pusat aktivitas. Namun, dampaknya ditanggung oleh daerah-daerah pinggiran.

--

--