ESAI / HALUAN

Silang Sengkarut yang Luput

Mengimbangi Diskusi Substansi dan Birokrasi Perkotaan

Alvaryan Maulana
Kolektif Agora

--

Foto oleh epicioci di Pixabay, 2015.

Belakangan, saya menyadari bahwa, jangan-jangan, untuk meningkatkan kualitas kehidupan perkotaan di Indonesia, dibutuhkan peningkatan kualitas pemerintahan wali kota dan jajarannya. Kalau mau turut membahas wilayah perkotaan fungsional, maka para bupati yang punya functional urban area juga masuk pembahasan.

Di Indonesia, pada dasarnya, sebuah kota adalah daerah dengan batas administrasi yang jelas. Di mana dan bagaimana batas-batasnya diatur lewat undang-undang pembentukan daerah tersebut. Siapa yang mengatur dan bagaimana wilayah tersebut diatur sudah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Yang terbaru, Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2022 tentang Perkotaan juga mengatur bagaimana pemerintah daerah mengelola sebuah kota.

Tidak salah, sih, jika berpikiran bahwa tulisan ini terlalu birokratis. Tapi, saya kira, elaborasi tentang kota sebagai daerah dan kaidah-kaidah penyelenggaraannya menjadi sebuah bahasan yang penting tapi jarang dibicarakan.

Dua Dimensi Kota

Pada dasarnya, kota punya dua pokok bahasan berbeda. Sayangnya, diskusi antara keduanya tidak seimbang.

Dimensi pertama adalah soal substansinya: soal topik atau isu tertentu tentang kota. Kita lebih banyak membicarakan dimensi ini. Beberapa contohnya adalah transportasi: kita bisa bicara panjang lebar soal bagaimana mobilitas yang baik dalam sebuah kota. Juga lainnya soal hunian atau penataan ruang.

Dari sisi lingkungan, kita bisa memasang rambu-rambu soal krisis iklim dan relasinya dengan kota. Dari sisi kegiatan masyarakat, bisa berbicara banyak tentang hal-hal yang informal.

Intinya, dimensi ini membicarakan secara teoretis dan idealis soal apa isu kota yang kita hadapi, dan apa imajinasi serta harapan kita tentang perbaikan yang kita inginkan.

Kolektif Agora pun banyak berbicara di dimensi ini. Aktivitas kami banyak mengumpulkan dan membagikan ulang pengetahuan, inisiatif ,dan gagasan yang baik dan menarik untuk membuat kehidupan kota menjadi lebih baik lagi.

Percakapan di media sosial pun banyak berkutat di dimensi ini. Belakangan ini, semakin banyak percakapan dari warganet mengenai kota: apa yang kurang, apa yang jadi masalah, dan apa sintesis tentang kota yang baik.

Dimensi kedua adalah bagian yang sulit dan tidak banyak dibicarakan: tentang bagaimana hal-hal yang substantif dilaksanakan dan diimplementasikan. Dimensi kedua ini mencakup mekanisasi dan birokrasi untuk menyelesaikan berbagai persoalan di kota.

Karena kota pada dasarnya adalah sebuah daerah, maka isu-isu tadi dilaksanakan dalam kerangka penyelenggaraan pemerintahan daerah. Saat membicarakannya, ragam elemen terkait bisa melebar ke mana-mana dan menjelma jadi penyelenggaraan pemerintah daerah.

Topik pertama yang paling klasik adalah celah dan kemandirian fiskal daerahnya. Apakah pemerintah kotanya punya duit? Apakah pemerintah kotanya menyusun rencana anggaran yang cermat untuk menjawab persoalan dan aspirasi warga kotanya?

Dari sisi tata kelola, apakah sudah ada rencana program dalam siklus perencanaan kotanya? Apakah sudah ada peraturan daerah atau peraturan kepala daerah untuk menindaklanjuti undang-undang atau peraturan pemerintah terkait? Jika mendapatkan bantuan pemerintah pusat, syarat-syaratnya sudah dipenuhi atau belum?

Lalu, bagian yang paling tidak enak untuk dibicarakan: soal kapasitas SDM dan pemerintahan. Secara gamblang, pertanyaanya adalah apakah jajaran pemerintah kotanya berkapasitas atau tidak untuk melaksanakan tugas-tugasnya? Setidak-tidaknya, untuk melakukan sebuah program, butuh menyusun dokumen Kerangka Acuan Kerja yang bagus pula.

Sebelum melakukan pembangunan macam-macam, banyak readiness criteria yang harus dipenuhi, apakah tersedia universitas atau lembaga konsultansi yang bisa mengerjakan kebutuhan tersebut dengan baik? Ada orang yang kompeten atau tidak?

Jebakan Birokrasi

Dimensi kedua ini menyebalkan bagi kebanyakan orang. Rasanya sudah mau marah duluan mendengar alasan ada pemerintah kota yang tidak bisa menyediakan angkutan umum yang layak atau mengatur tata kota dan mobilitas yang semrawut.

Nyatanya, memang banyak pemerintah kota yang tidak andal menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Studi-studi tentang desentralisasi banyak yang mulai mengkhawatirkan soal kapasitas dalam desentralisasi. Misalnya, bagaimana pemerintah daerah malah menjadi rent-seeking economic actor, alih-alih memfasilitasi sektor privat dalam ekonomi regional, atau bagaimana setelah 20 tahun desentralisasi, masih banyak pengaturan institusional yang harus dibenahi.

Saya kira masalahnya bukan karena pemerintah kota tidak mengetahui cara merencanakan transportasi yang baik, atau cara mengendalikan tata ruang kota yang produktif dan tidak semrawut. Bisa diasumsikan bahwa, pada tataran ide, atau menentukan baik-buruknya, para birokrat kota sudah memahami. Justru, pengelolaan kota dipersulit oleh birokrasinya.

Mari ambil contoh kasus. Jika sebuah kota ingin meningkatkan kualitas transportasi umumnya, maka opsi yang bisa dilakukan adalah:

  • membeli bus atau mikrobus untuk dikelola oleh BUMD;
  • meminta bantuan bus atau mikrobus dari Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Pusat, atau;
  • melakukan kerja sama dengan dunia usaha untuk menyediakan transportasi umum.

Ketiga hal itu terlihat sederhana, tapi persyaratan yang harus disediakan, birokrasi yang harus ditempuh sulit. Belum lagi biaya uang dan biaya politiknya yang besar sekali.

Untuk kasus pertama, anggap pemerintah kotanya punya uang untuk membeli bus sendiri, maka yang harus dipikirkan berikutnya:

  • Siapa yang akan menjadi operatornya? Siapa yang akan menjadi sopirnya? Perlu dipertimbangkan kalau Dinas Perhubungan tidak boleh menjadi operator;
  • Opsi yang biasanya ditempuh adalah menggunakan BUMD atau perusahaan daerah seperti DAMRI—jika di kota tersebut belum ada, maka harus dibentuk terlebih dahulu, termasuk birokrasi dan persyaratannya dalam peraturan daerah;
  • Peraturan daerah harus dibahas bersama DPRD, dan sebelum itu, ada serangkaian penyusunan yang harus dilaksanakan, termasuk feasibility studies, dan;
  • Umumnya pembahasan ini pun berpotensi alot: berapa persen APBD yang akan disertakan sebagai modal awal BUMD penyelenggara transportasi ini? Berapa persen keuntungan yang harus disediakan BUMD sebagai unit usaha?

Untuk kasus kedua, jika mendapatkan hibah atau bantuan, maka yang biasanya ditanyakan oleh pemberi bantuan adalah:

  • Proposal yang isinya kenapa kota ini layak dapat bantuan. Perumusannya perlu rapat berjilid-jilid. Perencanaan transportasi pun dituntut harus sudah matang;
  • Kalau dikasih bus atau moda transportasi lain, akan dirawat tidak? Apa jaminannya? Perihal ini pun harus bisa dipercaya.

Kasus ketiga, lewat skema kerja sama. Biasanya ini dikenal dengan istilah “jual trayek” kepada pemilik usaha transportasi. Yang butuh dipertimbangkan adalah:

  • Mekanisme kerja samanya seperti apa? Apa hak dan kewajiban pemerintah kota? Apa hak dan kewajiban pelaksana? Apakah ada standar minimal? Ditetapkan lewat apa?
  • Pembagian trayeknya seperti apa? Rencana penerimaan daerah dari jualan trayek ini seperti apa?

Itu baru satu aspek saja. Urusan transportasi itu biasanya berlaku untuk satu trayek atau satu ruas. Jika ada ruas lain, maka diulang lagi pembahasannya.

Kalau mau membahas dengan lebih rumit lagi, pemerintah juga harus menggodok bagaimana mereka bisa berkomitmen dan turut serta dalam upaya mitigasi krisis iklim. Hal ini sulit karena, pertama, memang wacana ini masih bersifat baru di Indonesia. Kedua, pedoman pelaksanaanya belum lengkap dan belum sempurna, sehingga pasti masih akan ada iterasi-iterasi berikutnya.

Intinya begini: untuk bisa melakukan jurus-jurus inovatif dalam menyelesaikan persoalan kota, pemerintah kota ini butuh serangkaian birokrasi yang ketentuannya diatur oleh pemerintah pusat dan tangan mereka diawasi oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Makanya, banyak pemerintah daerah yang tak berani berinovasi, karena ancamannya adalah pemeriksaan dan mungkin saja memunculkan indikasi kerugian negara.

Pemerintah Kota Bukan Kambing Hitam

Ulasan di atas bukan untuk menyalahkan pemerintah kota. Justru, saya berusaha mengelaborasikan realitas yang dihadapi oleh pelaksana teknis sehari-hari. Belum lagi, jika kita mau memasukkan faktor manusia pada street-level birokrasi tersebut.

Seperti penjelasan pada bagian sebelumnya, pemerintah kota bekerja sesuai peraturan dan regulasi yang berlaku. Biasanya, urusan-urusan seperti itu sudah diikuti dengan pedoman atau petunjuk teknis. Mau bangun trotoar? Sudah ada standarnya. Mau menyusun RDTR? Sudah ada petunjuk penyusunannya. Mau menyelenggarakan pendidikan menengah? Sudah ada ketentuannya.

Nah, biasanya, petunjuk-petunjuk ini juga banyak bikin bingung pemerintah kotanya. Percaya atau tidak, komunikasi pemerintah daerah dengan pemerintah pusat tidak sesederhana itu. Ada birokrasi dan unggah-ungguh tertentu juga untuk sekadar menanyakan bagaimana cara membuat proposal bantuan.

Para urbanis dan aktor-aktor yang punya perhatian lebih tentang kota pun tidak bisa serta-merta langsung turun tangan dalam mengelola pembangunan kota. Suka tidak suka, akhirnya semua ide-ide tentang kota tidak akan cukup tanpa ada jembatan ke pemerintah daerahnya.

Banyak ide-ide urban bermunculan, misalnya tentang city branding atau placemaking. Tapi, bagaimana pemerintah kotanya mengeksekusi gagasan tersebut? Apakah melalui perencanaan ruang? Apakah melalui program Dinas Pariwisata? Apakah melalui Kehumasan? Apa mekanisasinya? Tools apa yang dimiliki oleh pemerintah kotanya untuk mengeksekusi ide-ide tersebut? Secara hukum, apa rambu-rambu atau batasan bagi pemerintah kotanya?

Penutup

Saya tidak berargumen bahwa pengelolaan dan pembangunan kota kita didominasi oleh pemerintah kota dan menghilangkan peran dan partisipasi masyarakatnya. Kalau mau jujur, aktivitas kota toh tetap jalan-jalan saja tanpa ada campur tangan pemerintah. Dalam banyak hal, kita bisa melihat bahwa titik optimalnya sudah tercapai lewat mekanisme pasar.

Tapi, harus dipahami pula bahwa peran pemerintah kota besar dan krusial dalam mengelola kota. Bahkan, absennya pemerintah pun sebenarnya adalah isu pengelolaan. Dengan struktur perekonomian yang masih “begini”, belanja pemerintah masih menjadi faktor dominan dalam denyut perekonomian kita. Saya kira, kita perlu mengawal bagaimana uang yang sedikit tersebut digunakan untuk mengelola kota kita.

Tulisan ini tidak disusun untuk menambah fuzzy words dalam diskursus perkotaan. Tujuan saya justru ingin mengelaborasikan dengan lebih detail kondisi lapangan yang dihadapi oleh otoritas kota, sehingga masing-masing individu bisa menindaklanjuti sesuai dengan peran dan porsi masing-masing.

Ada yang bisa menjadi konsultan yang memberikan dukungan substansi, ada yang menjadi kontraktor dan operator untuk implementasi program pemerintah kota. Ada juga yang menganalisisnya lebih lanjut sehingga menjadi pengetahuan baru dan juga masukan untuk penyusun regulasi.

Mengetahui bahwa mengelola kota ternyata sulit sama sekali tidak menggugurkan kewajiban pemerintah kota untuk memberikan pelayanan yang baik bagi masyarakat kotanya. Jadi, bukan berarti dengan membahas kerumitan ini, kita malah harus maklum saja dengan kesemrawutan yang terjadi.

Justru, dengan memahami gambaran lebih besarnya, titik-titik pengawalan dan tekanan publik bisa menyasar lebih banyak aspek. Memahami perkara ini juga bisa jadi modal masyarakat sehingga tidak dikibulin oleh otoritas kotanya.

Referensi

Matsui, K. (2005). Post‐decentralization regional economies and actors: Putting the capacity of local governments to the test. The Developing Economies, 43(1), 171–189.

Talitha, T., Firman, T., & Hudalah, D. (2020). Welcoming two decades of decentralization in Indonesia: a regional development perspective. Territory, Politics, Governance, 8(5), 690–708.

--

--