Esai / Haluan

Sisi Gelap Akses Kesehatan

Membuka Luka Lama yang Tak Kunjung Sembuh

Syarifatul Ulya
Kolektif Agora

--

Foto oleh Marcelo Leal di Unsplash, 2020.

Kesehatan adalah hak setiap warga negara. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia menjamin bahwa setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai. Tanpa jiwa dan raga yang sehat, kita tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Tanpa aktivitas, maka tidak ada pergerakan di kota. Tanpa pergerakan, kota mati.

Tidak terasa sudah hampir lima bulan sejak kasus pertama COVID-19 diberitakan di Cina dan dua bulan sejak kasus pertama di Indonesia. Selama itu pula, terjadi degradasi yang signifikan di berbagai negara hingga berdampak sangat besar terhadap aktivitas dan kehidupan kita. Tidak ada yang menyangka organisme subseluler ini akan datang dan mewabah, semakin lama semakin tidak terkendali dan terpaksa membuat kita tidak dapat beraktivitas sebagaimana mestinya.

Hingga awal Juni 2020, angka positif COVID-19 telah mencapai 26.473 kasus dan yang meninggal mencapai 1.613 kasus. Mungkin, kita memang tidak masuk lima besar nilai kasus tertinggi di dunia, tapi negara ini memiliki nilai kematian yang relatif tinggi yaitu 6,10%, diperparah dengan nilai kesembuhan yang relatif rendah yaitu 27,60%, jika dibandingkan dengan persentase dunia yang mencapai angka 44,50%.

Dari angka-angka tersebut, kita pun bertanya: mengapa bisa demikian?

Kemelut di Balik Krisis

World Health Organization (WHO) menetapkan wabah ini masuk kriteria kondisi pandemi. Sebelum pandemi ini hadir menyedot fokus pemerintah, negara kita sedang berada di tengah serangkaian transisi, mulai dari demografis dan epidemiologis, hingga sosial, ekonomi, dan politik.

Laporan dari Asia Pacific Observatory on Health Systems and Policies pada tahun 2017 tentang kondisi sistem pelayanan kesehatan di Indonesia cukup menjelaskan perkembangan yang terjadi. Setelah puluhan tahun pemerintahan berjalan otoriter dan terpusat, Indonesia memperkenalkan reformasi pada tahun 1998 untuk membangun pemerintahan demokratis, dengan melimpahkan wewenang yang signifikan ke tingkat provinsi dan kabupaten.

Hal ini menyebabkan Indonesia dapat mengejar status pendapatan menengah dengan pertumbuhan ekonomi yang mulai berjalan baik. Namun, investasi pemerintah dalam sistem kesehatan seringkali terbatas atau bahkan tidak terlalu menjadi prioritas sehingga menyebabkan kurangnya fasilitas dan tenaga kerja kesehatan yang dibutuhkan untuk layanan publik.

Ada pula perbedaan regional yang signifikan dalam hal status kesehatan dan kualitas kesehatan serta ketersediaan dan kapasitas pelayanan kesehatan. Desentralisasi telah memengaruhi kapasitas Kementerian Kesehatan untuk mempertahankan integrasi dan penyelarasan di berbagai tingkat sistem kesehatan.

Akan tetapi, investasi pemerintah di bidang kesehatan mulai meningkat sejak terjadinya penurunan ekonomi pada tahun 1997 dengan tujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan keamanan sosial, salah satunya dengan membentuk program asuransi kesehatan sosial bagi warga miskin.

Skema ini berkembang menjadi pembentukan asuransi kesehatan universal bagi seluruh warga di tahun 2014 yang ingin dicapai pada tahun 2019, sembari mengatasi kesenjangan regional dalam kualitas layanan dan aksesibilitas kesehatan, mengelola sumber daya secara efektif, meminimalkan penipuan, melibatkan sektor swasta, memelihara investasi dalam program promosi, dan masih banyak lagi.

Sumber foto: Tempo.co — Warga mengantri pendaftaran dengan sistem BPJS di RS Persahabatan, Jakarta

Sayangnya, rencana pemerintah pusat seringkali tidak sejalan dengan implementasi di daerah. Penetapan standar dan regulasi tidak dibarengi dengan monitoring dan evaluasi berkala. Sehingga, seringkali ditemukan “cela” pada proses implementasi Jaminan Kesehatan Nasional di daerah yang berimplikasi terhadap kondisi pelayanan kesehatan.

Tingginya jumlah penduduk pun tidak diimbangi dengan peningkatan kapasitas fasilitas kesehatan yang memadai. Fasilitas yang hanya ala kadarnya juga tidak didukung dengan pelayanan yang maksimal dari para tenaga kesehatan. Bukan maksud menyudutkan kinerja tenaga kesehatan, tapi tingginya demand warga terhadap layanan kesehatan membuat para tenaga kesehatan menjadi kewalahan sehingga pelayanan pun menjadi kurang maksimal.

Perbandingan jumlah tenaga kerja kesehatan sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah penduduk. Jumlah dokter di Indonesia sangat memprihatinkan dan masuk terendah kedua di Asia Tenggara, yaitu 0,4 dokter per 1000 penduduk. Artinya, Indonesia hanya memiliki empat dokter yang melayani 10.000 penduduk.

Jumlah ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan Singapura yang memiliki dua dokter per 1000 penduduk. Itu baru jumlah dokter, belum perawat, bidan, dan tenaga kesehatan lainnya. Alhasil, kesehatan warga seringkali tergadaikan dan kita hanya bisa berharap belas kasih Tuhan untuk kesembuhan.

Sebagai salah satu warga Kota Bandung, saya cukup merasakan dampak yang signifikan dari minimnya akses kesehatan di kota ini. Sedih iya, kecewa apalagi. Mulai dari penumpukan pasien di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), pemberian obat yang tidak sesuai, sulitnya mendapatkan tempat tidur untuk rawat inap, mahalnya biaya pengobatan, kurangnya tenaga kesehatan, dan masih banyak masalah lainnya.

Terkadang, kondisi-kondisi tersebut membuat saya mengurungkan niat untuk mengunjungi fasilitas kesehatan walau sedang sakit-sakitnya. Swamedikasi pun menjadi “jalan ninja” untuk mengobati diri sendiri.

Kota Kembang, meski merupakan kota metropolitan di Jawa Barat, adalah bagian dari provinsi dengan tingkat pelayanan kesehatan paling rendah di Indonesia, dilansir dari Katadata Insight Center per tanggal 3 April 2020. Dalam pemetaan ini, parameter yang digunakan adalah keberadaan fasilitas kesehatan dan tenaga kerja kesehatan per penduduk serta APBD untuk fungsi kesehatan per kapita.

Dengan jumlah penduduk sebesar 48,68 juta, Jawa Barat belum difasilitasi pelayanan kesehatan yang cukup. Salah satu parameter yang menjadi standar terpenuhi atau tidaknya kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan adalah rasio tempat tidur dengan jumlah penduduk.

WHO menetapkan standar minimal 1 tempat tidur untuk 1000 penduduk. Rasio tersebut memberikan gambaran sumber daya yang tersedia untuk memberikan layanan kepada pasien rawat inap di rumah sakit. Jawa Barat termasuk dalam delapan provinsi yang tidak memenuhi standar WHO dengan rasio sebesar 0,85.

Artinya, dari setiap seribu penduduk di provinsi tersebut, tak ada seorang pun yang bisa mendapat akses tempat tidur di rumah sakit. Pantas saja, tidak sekali atau dua kali, seringkali jika mengunjungi rumah sakit dalam kondisi kritis, saya kesulitan mendapat tempat tidur yang kosong hingga akhirnya terpaksa berpindah rumah sakit tanpa bantuan apa pun.

Itu baru permasalahan rasio tempat tidur. Ketersediaan dan distribusi tempat tidur rumah sakit di Jawa Barat pun tidak merata, terutama di daerah penyangga kota besar. Ada beberapa kota atau kabupaten yang kelebihan tempat tidur di saat masih banyak kota atau kabupaten lainnya yang kekurangan. Sehingga, seringkali terjadi penumpukan pasien di beberapa rumah sakit. Hal ini jelas menjadi masalah besar dalam implementasi Jaminan Kesehatan Nasional.

Kondisi yang kurang baik pada akses kesehatan di kota dan negara kita ini seringkali tidak menjadi perhatian yang utama di mata pemangku kebijakan. Bahkan, isu mengenai defisitnya biaya BPJS atau JKN pun telah menjadi buah bibir di mana-mana dan asik diperbincangkan sejak bertahun-tahun lalu lamanya.

Entah akan dibawa ke mana masa depan kesehatan bangsa dan negara ini.

Hal Penting yang Terabaikan

Direktur Jenderal WHO pernah mengirim surat kepada Presiden Republik Indonesia untuk meminta negara-negara dengan populasi penduduk yang tinggi untuk segera fokus dalam memitigasi wabah COVID-19. Salah satunya dengan meningkatkan infrastruktur kesehatan yang terdiri dari peningkatan kapasitas rumah sakit, tenaga kerja kesehatan, dan laboratorium.

Sama seperti cerita sebelumnya, pemerintah juga tampak enggan mendengarkan dan mematuhi himbauan tersebut. Tidak ada satu pun inisiasi untuk melakukan tindakan preventif. Alih-alih memperkuat dan menyiapkan infrastuktur kesehatan, mulai dari ruang dan tenaga serta meningkatkan kapasitas laboratorium dan strategi tes masif di Indonesia, pemerintah malah berguyon dengan isu ini.

Ironis rasanya, di saat hal utama yang menjadi perisai untuk bertahan dari pandemi ini seharusnya menjadi fokus utama, pemerintah sibuk membuat Perppu tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan pada tanggal 31 Maret 2020. Sebab, menurut yang empunya kebijakan, pandemi ini tidak hanya mengakibatkan masalah kesehatan masyarakat, tapi juga membawa implikasi ekonomi yang besar dan luas. Tidak dapat disalahkan, tapi tidak dapat pula dibenarkan.

Adapun isi Perppu tersebut berisi tentang aturan alokasi APBD baru, prioritas anggaran, dan kebijakan moneter. Bidang kesehatan jelas menjadi salah satu poinnya. Dari total Rp405,1 triliun untuk penanganan COVID-19, hanya Rp75 triliun yang dialokasikan untuk belanja kesehatan. Jumlah tersebut terbilang sangat kecil untuk kondisi yang dialami saat ini, bahkan lebih kecil dari alokasi dana lainnya.

Padahal, urgensi peningkatan kapasitas infrastuktur kesehatan tidak “sebercanda” itu. Pasien yang terkonfirmasi positif virus corona dan mengalami gejala berat memerlukan perawatan intensif dengan peralatan dan pemantauan secara berkala.

Alat kesehatan juga sangat dibutuhkan untuk menunjang kesembuhan dari pasien, seperti ventilator atau alat bantu pernapasan yang terdapat di ruang ICU. Kit pemeriksaan untuk mengidentifikasi dan melacak sampel dari pasien yang mungkin positif pun sangat dibutuhkan dengan jumlah yang besar dan cepat.

Jika diperhatikan, Rp75 triliun yang dialokasikan untuk bidang kesehatan diprioritaskan untuk pemenuhan sejumlah kebutuhan seperti

1. pembelian alat-alat kesehatan (test kit, reagen, ventilator, dll),
2. perlindungan tenaga kesehatan, salah satunya pembelian APB,
3. peningkatan 132 rumah sakit rujukan COVID-19,
4. insentif untuk tenaga kesehatan,
5. santunan kematian tenaga kesehatan, dan
6. penanganan permasalahan kesehatan lainnya.

Ya, itu adalah narasi yang cukup baik untuk menenangkan sebagian besar tenaga kesehatan. Namun, rencana tidak seindah realita. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di dapur. Selama tiga bulan terakhir sejak isu pandemi ini muncul, banyak berita beredar bahwa rumah sakit dan tenaga kesehatan masih kekurangan APD dan sangat mengandalkan bantuan masyarakat yang peduli untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Bahkan, jika diperhatikan, apabila tidak ada bantuan dan gerakan dari masyarakat, maka krisis akan kebutuhan APD di faskes akan semakin menjadi-jadi. Itu pun baru terlihat di beberapa kota besar saja yang mengalami dampak paling besar di awal-awal kasus baru bermunculan.

Kebutuhan akan ruang khusus juga tidak ditindaklanjuti dengan cepat. Pasalnya, pasien di rumah sakit yang sudah kekurangan ruang harus berbagi dengan pasien baru dengan kondisi yang tidak terdefinisi. Pasien dengan diagnosis COVID-19 memerlukan ruang khusus agar tidak menulari pasien lainnya.

Penumpukan pasien mulai membuat rumah sakit tertentu tidak berkutik dan kapasitas yang berlebih dapat meningkatkan kemungkinan transmisi virus dari satu orang ke orang lainnya. Tidak heran, mulai banyak tenaga kesehatan yang juga tertular virus ini (apalagi dengan hanya jas hujan sebagai pengganti APD standar).

Salah satu harapan yang dapat membantu mengurangi beban tenaga kesehatan dan mengakali kondisi infrastruktur kita yang lemah adalah dengan mengantisipasi laju pertumbuhan pasien terdiagnosis COVID-19. Namun, menggencarkan 3T (test, tracking, dan treatment) juga bukan tanpa kendala, sebab kit pemeriksaan dan kapasitas laboratorium masih jauh dari cukup.

Bagai Makan Buah Simalakama

Kini rasanya sudah terlambat,
atau mungkin belum?
Apakah masih ada kesempatan?

Seandainya para pemangku kebijakan cepat membuat keputusan dan mendahulukan hal yang seharusnya diprioritaskan, mungkin saja akan lebih banyak nyawa yang tertolong, yang terlindungi, dan akan lebih sedikit tangisan pilu dari masyarakat yang terdampak secara ekonomi.

Kini, semua kewalahan. Tidak hanya tenaga kesehatan maupun orang-orang yang berjuang untuk diam di rumah, pemerintah juga sama. Apa pun keputusan yang dibuat pasti akan memberikan implikasi yang berat dan luas.

Jika harus menyelamatkan ekonomi, nasib tenaga kesehatan dan pasien akan semakin terbengkalai dan virus mungkin akan semakin lama menghantui negeri ini. Tapi, jika menyelamatkan kesehatan, nasib masyarakat miskin dan ekonomi akan semakin menurun dan negeri ini mungkin bisa semakin hancur. Terlebih lagi, pendidikan dan sektor lainnya juga bisa turut terdampak.

Pandemi yang hadir bagaikan bom di tengah kerumunan membuktikan bahwa kondisi infrastruktur kesehatan kita tidak pernah siap. Ia membuka luka lama yang tidak kita sadari. Tuntutannya kini berlapis: pandemi harus ditangani dengan cepat dan fasilitas kesehatan harus dibenahi untuk mencegah bencana tak terulang lagi.

Lantas, terjawab sudah, mengapa begitu banyak nyawa tak terselamatkan, raga yang meratapi peruntungan, dan jiwa yang merindukan kebebasan.

Yang belum terjawab: masihkah ada harapan?

--

--