Editorial

Small Cities, Big Agenda

Alvaryan Maulana
Kolektif Agora
Published in
6 min readOct 29, 2017

--

Pengingat dari Barney Cohen sejak tahun 2006 tentang sisi gelap dari urbanisasi yang luput dari pandangan arus utama studi-studi tentang Kota.

Kutoarjo adalah salah satu area perkotaan di Kabupaten Purwerejo, Provinsi Jawa Tengah. Kecamatan yang dihuni 60 ribu penduduk ini, meski bukan destinasi wisata, merupakan salah satu lokasi yang familiar bagi orang-orang yang berpergian melewati jalur selatan Pulau Jawa. Lokasi geografi merupakan salah satu alasan paling kuat mengapa Kutoarjo menjadi salah satu kecamatan yang meng-urban dan dikenal oleh pelancong. Dilewati oleh Jalan Nasional Rute 3 (Cilegon — Ketapang), dan jalur kereta api lintas selatan Pulau Jawa menjadikan Kota Kecamatan Kutoarjo sebagai pusat keramaian dan pemberhentian kendaraan yang melintasi lintas selatan Pulau Jawa.

Kutoarjo hanya satu dari ratusan wilayah di seantero Indonesia yang mengalami transformasi menjadi wilayah perkotaan dengan berbagai macam penyebab dan dinamika yang masing-masing berbeda. Ada Tanjung Selor yang sedang mempersiapkan diri untuk tampil ke pentas nasional karena baru saja ditetapkan menjadi pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Utara. Ada Kota Tual yang terbentang di pulau-pulau di tengah luasnya Laut Arafuru yang biru dan dalam, dan lusinan bahkan ratusan kota-kota kecil dan kecamatan kota yang saat ini sedang menggeliat menjadi kota-kota yang lebih besar lagi.

Putussibau dari udara, 2017

Apakah tiap-tiap kota tersebut menghadapi persoalan yang sama dengan Jakarta, Bandung atau Surabaya yang selama ini menjadi pentas dan laboratorium utama dalam studi-studi tentang kota? Apakah kota-kota tersebut turut ambil bagian dalam jejaring kota-kota global dunia? Bisa iya, bisa tidak. Namun, pertanyaan tersebut perlu untuk dijawab dengan serius dan saksama.

Asosiasi kota dengan hal-hal yang besar dan megah dan cenderung dianggap homogen memberikan ruang bagi kesalahpahaman mengenai pendefinisian mengenai kota dan proses pengkotaan. Menganggap bahwa kota adalah karakteristik yang universal dan memiliki proses serta dinamika yang sama satu sama lain adalah pandangan yang butuh untuk dipertimbangkan. Thrit mengeluarkan anekdot “one size does not fit all”, bahwa kota bukanlah entitas homogen yang bisa digeneralisasi. Studi dan pemahaman tentang kota perlu digeser agar tidak terbatas pada kota-kota besar dan tidak lagi melihatnya sebagai proses yang homogen sebagaimana saat ini mendasari kajian-kajian kota dan perkotaan.

Paradigma alternatif mengenai cara untuk memahami kota dan proses pengkotaan ini membutuhkan kesepakatan awal; bahwa kota memiliki struktur dan aktivitas keseharian yang berbeda satu sama lain. (Robinson, 2005). Kesepakatan ini menjadi dasar yang vital dalam pengembangan wacana alternatif mengenai kota dan perkotaan; bahwa masing-masing kota memiliki berhak untuk mendefinisikan sendiri apa yang baik dan apa yang tidak, dan menjadi kewajiban bagi tiap kota yang berbeda itu untuk diperlakukan dan dikelola sesuai dengan kebutuhannya, dan bukan dengan kebijakan template.

Bagaimana Mendefinisikan Kota

Pertanyaan paling mendasar dalam pemahaman mengenai kota dan proses pengkotaan adalah “apa itu kota?” Membedakan mana kota dan mana yang bukan adalah urusan yang jauh lebih mudah ketimbang mendefinisikan kota. Definisi paling umum ditentukan berdasarkan aktivitas ekonomi yang mendominasi. Definisi dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Indonesia menyatakan bahwa kota adalah wilayah yang kegiatan utamanya bukan pertanian. Definisi tersebut tentu tidak sendiri. Badan Pusat Statistik mengeluarkan presentase yang lebih presisi: jika aktivitas sektor primer kurang dari 25%.

Pendefinisian tersebut menurut Barney Cohen merupakan hal yang menyesatkan. Entah Cohen menyarankan untuk tidak membuat standar universal untuk mendefinisikan kota atau tidak, yang jelas Cohen menyarankan kita semua untuk tidak terburu-buru dalam mendefinisikan kota. Ajakan demographer ini tentu berdasar. Penelitiannya di berbagai penjuru dunia, baik negara-negara tempat kantong kemiskinan berada, di negara-negara yang sedang berkembang dengan sangat cepat, hingga negara-negara yang sudah maju berdasarkan indikator sepihak, menunjukan bahwa konteks kewilayahan membuat pendefinisian kota menjadi sangat bias tergantung konteks wilayah dan demografinya.

Kebijakan Perkotaan yang Bias

Ingar-bingar kontestasi antara aktivis perkotaan, pemilik modal yang berlomba-lomba menumpuk investasinya di wilayah perkotaan, pemerintah-pemerintah kota yang mempercantik wilayahnya untuk menarik investasi, dan para pencari nafkah di kota-kota besar, memonopoli perhatian dan studi mengenai kota (Hall, T., & Hubbard, P., 1996). Sehinga, baik pemikiran maupun gerakan-gerakan perkotaan yang hadir berfokus pada isu-isu yang sebenarnya diimpor dari kota-kota dengan konteks wilayah dan ruang yang sama sekali berbeda.

Sangat disayangkan bahwa bias perkotaan tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari pemikiran mengenai perkotaan. Misalnya, konsep Smart City yang sedang naik daun, diimpor mentah-mentah ke wilayah-wilayah perkotaan yang memiliki konteks berbeda dengan tempat pertama kali konsep tersebut dilahirkan. Jika konsep tersebut direproduksi agar lebih kontekstual, maka penggunaan pemikiran-pemikiran tersebut masih dapat dimengerti dengan beberapa catatan. Nyatanya, konsep tersebut seringkali merupakan konsep alien yang tidak dipahami sepenuhnya dengan masyarakat yang sehari-hari menghuni kota tersebut.

Bias lain juga muncul dari pengambilan keputusan atau perumusan kebijakan yang tidak berasal dari dalam kota tersebut. Keterbatasan fiskal yang menjadi tantangan umum kota-kota kecil menyebabkan pembangunannya menjadi tergantung terhadap uang yang dikucurkan oleh pemerintah pusat atau pemerintah provinsi dengan skema intergovernmental transfer. Adanya perbedaan persepsi wilayah dan keruangan antara pemerintah pusat/pemerintah provinsi terhadap kota-kota yang dikucuri dana tersebutlah yang kemudian memunculkan bias-bias pemahaman dan kemudian bias-bias kebijakan yang dirumuskan untuk kota-kota yang sedang menggeliat tersebut.

Mengawal Perkembangan Kota-Kota Kecil

Pemahaman untuk melihat kota-kota kecil dengan konteksnya masing-masing menjadi penting dalam mengawal perkembangan kota-kota tersebut untuk berkembang bertahun-tahun kemudian. Persoalan-persoalan di kota-kota besar yang sudah mengglobal seringkali disebabkan oleh kegagalan perencanaan, misalnya volume ruas jalan yang terlalu kecil dan tidak diimbangi dengan intensitas penggunaan lahan, degradasi lingkungan akibat ketiadaan batasan untuk melimitasi luasan kota, atau perkembangan kota yang tanpa penataan sama sekali. Singkatnya, kota-kota yang baru saja akan berkembang tersebut juga membutuhkan sumbangsih pemikiran dan tentu saja tidak bisa disamakan dengan pemikiran tentang kota-kota besar.

Perhatian dan energi yang terlalu dimonopoli oleh kota-kota besar memberikan ruang tak terurus dalam perkembangan kota-kota kecil (Cox, K. 1993). Padahal, masa depan kota-kota tersebut tidak kalah penting dari isu kendaraan berbasis aplikasi atau jadwal bus/kereta yang tidak molor di kota-kota besar, bahkan bisa jadi lebih penting. Jika kemudian pembahasan mengenai Kota Baru Meikarta atau hiruk-pikuk reklamasi Teluk Jakarta menjadi bahan pemikiran para aktivis dan pemerhati kota, maka siapa yang kemudian mendorong pemikiran-pemikiran mengenai kota-kota kecil yang tentu saja konteks kewilayahannya berbeda.

Ditambah lagi, disparitas antar wilayah di Indonesia yang juga melingkupi aspek sosial menyebabkan polarisasi keterampilan dan pengetahuan antara kota-kota besar dengan wilayah di luar kota-kota besar. Mendorong agar muncul aktor-aktor intelektual yang memikirkan kota atau wilayahnya, dibandingkan dengan memikirkan Meikarta atau reklamasi Teluk Jakarta, menjadi sebuah gerakan yang perlu menjadi pertimbangan dan menjadi pekerjaan rumah bersama. Menghadirkan wacana-wacana perkotaan yang tidak hanya dikooptasi isu kota-kota besar juga menjadi tantangan sendiri, terutama di tengah arus globalisasi yang menghegemoni.

Jakarta, Bandung, atau Surabaya, tentu saja menyumbang kebaikan yang tidak sedikit sebagai mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tapi, Indonesia bukan soal Jakarta, Bandung, atau Surabaya saja. Sampai kapan putra-putri terbaik daerah-daerah disedot orientasinya dan kemudian dicabut dari akarnya, hanya karena kota-kota atau daerah kelahiran mereka tidak cukup besar untuk memberikan ruang bagi kegelisahan intelektual mereka? Kembali, karena tidak pernah ada diskusi mengenai kota-kota seperti Tanjung Selor, Metro, Kendari, Tual, Putussibau, Sorong atau Labuan Bajo selain sebagai destinasi wisata atau pelengkap di peta Indonesia.

Bahan Baca

  • Bell, D., & Jayne, M. (2009). Small cities? Towards a research agenda. International Journal of Urban and Regional Research, 33(3), 683–699.
  • Cohen, B. (2006). Urbanization in developing countries: Current trends, future projections, and key challenges for sustainability. Technology in society, 28(1), 63–80.
  • Cox, K. (1993) The local and the global in the new urban politics: a critical view. Environment and Planning D: Society and Space 11, 433–48.
  • Hall, T., & Hubbard, P. (1996). The entrepreneurial city: new urban politics, new urban geographies?. Progress in human geography, 20(2), 153–174.
  • Harvey, D. (1987). Flexible accumulation through urbanization: reflections on ‘post‐modernism’in the American city. Antipode, 19(3), 260–286.
  • Robinson, J. (2005). Urban geography: world cities, or a world of cities. Progress in Human Geography, 29(6), 757–765.

--

--