IDE / WARGA

Spasialitas Grafiti

Merebut Ruang Publik, Mengembalikan Seni pada Warga

Bangkit Mandela
Kolektif Agora

--

Foto oleh David Tip di Unsplash, 2020.

Grafiti, seni yang sedikit jorok, tetapi paling demokratis. Walaupun lebih sering dianggap anarkis, grafiti adalah cerminan bawah sadar dari relasi sosial yang mewujud dalam bentuk coretan kota bermuatan seni, sedikitnya mengandung jurus-jurus dalam pembuatannya. Menyangkut teritorialitas atau soal kewilayahan, grafiti termanifestasi secara ambigu, sebab ia dapat muncul di mana saja dan hilang begitu saja. Sejak internet semakin merambat, grafiti dapat bersembunyi, tapi tetap disaksikan. Pergulatan grafiti sebagai bentuk seni yang menuntut nyali tidak lagi sama bunyinya.

Grafiti sebagai Seni

Grafiti merupakan cabang istilah di bawah payung seni jalanan (street art). Secara umum, grafiti berupa signature seorang/kelompok writers (sebutan untuk pelaku tagging) yang hadir pada dinding publik dengan gaya dan teknik tertentu. Sementara, kegiatan lain di dalam seni jalanan menggunakan wahana dinding yang sama, dengan medium dan hasil yang berbeda seperti stensil atau mural. Dalam dokumenter Style Wars (Silver, 1984), subkultur grafiti dimulai dengan memanfaatkan subway sebagai kanvas berjalan para writer. Grafiti kerap dekat dengan skena hip-hop dan punk, sering kali bergerilya dan saling menimpali antarkelompok, dan bersitegang dengan aparat menyoal kebersihan gerbong kereta. Sementara, di kota-kota besar di Indonesia, akar gerakan grafiti cenderung berbeda.

Dalam konteks Indonesia, embrio grafiti telah muncul sebagai medium propaganda prakemerdekaan, berisi slogan-slogan semangat juang yang dapat ditemukan di ruang-ruang publik. Hingga hari ini, parodi atau sekadar kejahilan tekstual masih dapat ditemukan di jalan, hingga dalam bentuk latrinalia atau corat-coret di dinding toilet. Namun, grafiti yang menampung muatan seni, atau tampil dengan teknik dan tema tertentu, baru dimulai pascareformasi. Salah satu desas-desus menyatakan perkembangannya dimulai di kawasan Pondok Indah, Jakarta, oleh siswa ekspatriat dari Jakarta International School yang memperkenalkan grafiti dan street art kepada pemuda lokal. Beberapa dari pemuda ini hijrah dari Jakarta ke kota-kota satelit, yang kemudian membuka ekosistem baru. Namun, tentu saja seperti hakikatnya sebagai seni anonim, kebenarannya pun bersifat parsial dan berlangsung secara oral.

Yang jelas, kita tahu bahwa sejak hadirnya referensi majalah impor hingga ditengarai oleh internet, gerakan grafiti di bawah payung street art semakin menjamur. Para writer pemula dapat mempelajari gaya dan cara untuk berkarya melalui konten di dunia maya, serta menuangkannya secara positif dalam kegiatan-kegiatan bersama warga. Namun, stigma tentang graffiti masih juga negatif, dengan anggapan bahwa kegiatan tagging merupakan proses formatif kenakalan remaja menuju kriminalitas. Seni grafiti lebih sering ditemukan dalam bentuk tagging dan throw up, yakni jenis paling awam seni grafiti berupa coretan tagar, nickname writer, atau bentuk lettering bervolume yang tidak selesai. Sehingga, bentuk-bentuk tersebut tampak sebagai polusi visual dan kerap memperlambat penerimaan grafiti sebagai sebuah seni yang utuh.

Dengan kata lain, seni grafiti terutama bukan soal negosiasi, legalitas, dan karir, melainkan urgensinya untuk hadir di sekitar kita.

Merebut Ruang Publik

Hubungan antara grafiti dan ruang publik memang begitu dekat. Grafiti adalah ekspresi pribadi yang sangat lantang ketika ia mengada. Kita bisa melihat keberadaanya di ruang publik sebagai upaya untuk merajut kembali titik-titik mati di dalam jalinan urban fabric. Sasarannya begitu luas, tetapi memiliki tren kualitas dead space (ruang mati) yang jelas, misalnya halte bus yang tidak digunakan, toko, dan ruko tak berpenghuni, hingga tembok puing bangunan yang hendak dirobohkan. Sadar tak sadar, para writer menyuntikkan penanda baru di atas infrastruktur sisa guna, yang secara tak langsung menghasilkan third space berupa galeri publik nonformal.

Terlepas dari fungsinya untuk menghias dan menghidupkan sebuah ruang mati, grafiti menandai kepemilikannya sekaligus. Kurt Iveson (2016. p. 182) mengatakan bahwa grafiti merupakan bentuk perebutan status kepengarangan (authorship) antara writer dan pemangku otoritas atas sebongkah tembok. Writer merupakan kelompok pencela yang perlu hadir untuk mencegah terjadinya monopoli atas hak-hak di ruang publik oleh satu sisi pemangku wewenang formal.

Sementara legalitasnya dipertanyakan, nilai produk street art seakan berada di dua kutub ekstrem. Di satu sisi, hasil tagging para writer pemula yang belum menemukan karakternya sering kali dianggap sebagai polusi visual. Di sisi lain, karya street art telah lumrah mengalami komersialisasi. Sejumlah writer profesional seperti darbotz, tututupai, dan Bujangan Urban yang telah berhasil mengalahkan stigma negatif lantas hadir di ruang galeri, kafe, dan hotel. Antara keduanya, pengembangan kecakapan seorang writer menuju titik profesional harus melewati jurang yang lebar dan sering kali bersitegang dalam soal legalitas.

Terbatasnya kanvas di ruang publik menelurkan lebih banyak upaya sporadis sebagai jejak perebutan ruang publik. Di sisi lain, untuk memenuhi hakikatnya sebagai bentuk seni tak berwajah, grafiti justru harus hadir secara ilegal. Jam terbang seorang writer ditentukan dari keberadaan karyanya di ruang publik, dan untuk mengakuisisi tembok di ruang publik, ia harus terus berkarya. Dengan kata lain, mengapresiasi kultur grafiti adalah untuk memahami bahwa grafiti bukanlah produk akhir, melainkan keseluruhan proses berupa ragam tingkat kecakapan writers yang tersebar di penjuru kota.

Mungkin pernyataan yang dapat membungkus paradoks seorang writer telah disimpulkan oleh Bujangan Urban, yang mengatakan bahwa dalam memilih dinding untuk kanvasnya, ia “lebih baik minta maaf daripada minta izin”. Dengan kata lain, seni grafiti terutama bukan soal negosiasi, legalitas, dan karir, melainkan urgensinya untuk hadir di sekitar kita.

Mencoret Stigma Negatif, Mengembalikan Seni pada Warga

Konsensus negatif atas grafiti sebagai coreng-moreng tembok kota mulai ditentang balik oleh komunitas writer. Salah satu upaya tersebut terjadi di Depok melalui acara Koneksi Antar Kampung Vol. 1 dan 2 yang diadakan pada tahun 2020. Jalannya lumayan panjang, dimulai dengan mencari permukiman yang mau memberikan jatah dinding, persetujuan satu per satu dengan warga, RT/RW setempat, hingga mengundang seniman dari berbagai kota untuk mengisinya.

Demikianlah, kurang lebih 150 karya writer dari 20 kota menghiasi kampung Jatijajar pada volume pertama. Sebelumnya, komunitas Depok Art District juga telah melangsungkan acara jamming atau gathering secara teratur, seperti GAKON (Gambar Akhir Taon) atau Respect Your Team, sebagai ajang silaturahmi berupa ajakan tagging bersama, tentu saja di dinding yang telah diwakafkan.

Ketika saya mampir ke Jatijajar pascaacara, suasana cuaca yang mendung membuat saya agak cemas tidak kedapatan melihat-lihat. Namun, awan mendung kemudian mundur sebelum sore berakhir. Saya dan seorang kawan dipandu berkeliling oleh Deny, Black, dan beberapa pemuda karang taruna Joker. Kami menelusuri kampung Jatijajar, melihat-lihat grafiti hasil karya Koneksi Antar Kampung Vol. 1.

Pertemuan dengan pemuda Joker membuahkan saya wawasan baru tentang gerakan street art di Depok. Deny adalah salah satu pemuda yang menginisiasi kegiatan Koneksi Antar Kampung bersama kelompok pemuda di daerahnya, Abbot Raya Family. Ia percaya bahwa grafiti adalah upaya pribadinya untuk menorehkan sejarah dan menghidupkan sesuatu yang mati di saat bersamaan. Ia mengakui bahwa usia sebuah karya grafiti memang pendek, tetapi jeda tersebut justru membuat grafiti menjadi bentuk karya seni yang paling membebaskan. Pengakuan ini dapat dimengerti ketika kita melihat grafiti sebagai bentuk seni performatif yang spesifik terjadi saat karya itu dibuat, bukan sebelum atau setelahnya.

Deny percaya bahwa kegiatan kolektif Koneksi Antar Kampung perlu didasari beberapa syarat. Syarat pertama adalah jarak antarkarya tak boleh saling berjauhan antar dinding. Ini mengacu pada dua hal, pertama agar seniman dapat saling berkomunikasi, yang kedua agar warga dapat menikmati narasi baru yang dihasilkan dari karya-karya tersebut secara utuh. Syarat lainnya adalah menciptakan koneksi dari skema pembagian dinding, dengan cara mencampur para seniman dari kota berbeda untuk berkolaborasi bersama dalam satu dinding dan satu tema, sehingga masing-masing writer antarkota dapat saling mengenal satu sama lain.

Kita dapat melihat kegiatan ini dalam dua lensa: pertama, sebagai upaya untuk menggeser stigma buruk grafiti; yang kedua, untuk mengaktivasi warga, khususnya para pemuda. Melalui acara ini, masyarakat mulai menyadari bahwa grafiti merupakan bentuk seni yang perlu diapresiasi dan dapat hidup berdampingan dengan keseharian. Deny juga menjelaskan bahwa terjadi proses rekonsiliasi tak langsung yang terjadi di dalam kerangka sosial kampung “dari yang tidak akur (pemda dan pemuda), menjadi akur. Dari yang tidak kenal (seniman antarkota), menjadi kenal.”

Penutup

Kini perhatian saya sering kali tercuri oleh kehadiran grafiti di tembok-tembok. Saya membayangkan bagaimana seorang writer membuat sketsa di bukunya, kemudian berjalan larut malam, menelusuri dinding-dinding mati, membayangkan siapa saja yang akan melaluinya, hingga memutuskan untuk melukisinya dengan risiko hilang pada minggu berikutnya. Romantisisme tersebut tidak akan berhenti selama kota memiliki dinding mati dan kreativitas tak terperi yang perlu dimuntahkan.

Unsur spasialitas liminal yang dikandung oleh grafiti ini selalu menarik bagi saya. Ketika berada di ruang publik, grafiti bukan lagi milik seorang writer, ia lantas menjadi cermin bagi masyarakat mengenai hal-hal yang sepele hingga begitu penting. Terlepas dari nilai seninya, suatu karya grafiti hidup dan senantiasa menyentuh keseharian masyarakat.

Kini, pergerakan grafiti tidak lagi berhenti pada romantisisme ekspresi individual. Di luar agenda seorang writer untuk menyatakan hingga membombardir ruang publik, upaya melokalisasi grafiti dalam konteks kampung kota menjadi jenis kegiatan yang penting. Selain sebagai media silaturahmi dan pelatihan bagi writer pemula, kegiatan di atas merupakan bentuk kontribusi estetika bagi warga, yang lantas menyaksikan prosesnya secara utuh dan mengapresiasinya.

ReferensiSilver, Tony (Director). 1984, Style Wars [film]. Henry Chalfant ProductionsIveson, Kurt (2016). Avramidis, Konstantinos & Tsilimpounidi, Myrto (Eds.). Graffiti and Street Art: Reading, Writing and Representing the City. (pp. 182–196). New York: Routledge.Gambar dicatut dari instagram @abbotrayafams dengan izin dari Deny Prayitno.

--

--