Fitur

Sumur, Dapur, Kasur, dan Lembur

Tentang Perempuan dan Pekerjaan

Jennie Yuwono
Kolektif Agora

--

Sumber: Unsplash

Sebentar lagi, saya akan berusia 24 tahun. Di usia yang sama, teman-teman saya yang sesama perempuan jalan hidupnya sudah beragam. Ada yang menikah, ada yang bekerja, ada yang masih menyelesaikan jenjang sarjana, dan ada pula yang kembali ke bangku kuliah. Ada pula yang memilih jalan hidup menjadi wanita karir, ibu rumah tangga, maupun keduanya. Namun, dari sekian teman, sebagian besar dari mereka memilih untuk menjadi wanita karir.

Di Indonesia, obrolan tentang wanita karir merupakan isu yang selalu hangat. Ada anggapan bahwa kehidupan wanita terkonsentrasi pada tiga elemen: “sumur”, “dapur”, dan “kasur”. Namun, paradigma yang berkembang saat ini memberikan fleksibilitas yang lebih tinggi kepada wanita untuk memilih peran yang ingin dijalani, termasuk menjadi wanita karir. Beberapa pihak pun memandang bahwa pelibatan wanita dalam suatu ranah pekerjaan — selain mendorong ketercapaian inklusivitas — juga mampu meningkatkan produktivitas. Di atas kertas, keterwakilan perempuan dalam suatu sektor mungkin terlihat mudah untuk dijalankan dan dapat mempermanis keadaan. Apa daya, dalam prakteknya kita masih menghadapi beragam tantangan.

Keterwakilan: Kuantitas vs Kualitas

Perempuan seringkali disebut sebagai kelompok yang belum terepresentasikan di banyak sektor. Ketika ada tuntutan untuk meningkatkan representasi perempuan di sektor tertentu, maka ada implikasi terhadap populasi wanita karir. Namun, ketika kita membicarakan hal ini, manakah yang lebih penting: kuantitas atau kualitas?

Dua tahun yang lalu Hidden Figures, sebuah film biopik tentang tiga ahli matematika yang bekerja di NACA (National Advisory Committee for Aeronautics, lembaga yang menjadi cikal bakal NASA, red) dirilis. Ketiga perempuan tersebut, yakni Katherina Johnson, Dorothy Vaughan, dan Mary Jackson, dikisahkan menempuh pendidikan tinggi (yang juga bermodalkan semangat sejak mereka masih berusia kanak-kanak) untuk mencapai keahlian tertentu yang sesuai dengan kualifikasi yang diminta NACA. Mary Jackson pun bahkan mengambil kelas ekstra untuk karyawan yang diselenggarakan di malam hari untuk mendapatkan kualifikasi sebagai insinyur. Saat itu, yakni tahun 1960-an, jumlah perempuan yang bekerja di NACA sangat minim. Saat itu isu perempuan pegiat sains (women in science) dapat dikatakan belum sepopuler sekarang, sehingga barangkali apa yang terjadi di NACA merupakan hal yang lumrah.

Lain lagi dengan yang terjadi di Indonesia. Menjelang pemilihan umum legislatif tahun 2009, muncul regulasi yang mengatur representasi perempuan di parlemen. Menurut undang-undang (UU) №2 Tahun 2008, persentase perempuan di parlemen setidaknya 30%. Aturan lain yang serupa adalah UU №10 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa partai politik baru dapat mengikuti pemilihan umum setelah memenuhi ketentuan setidaknya 30% pengurus partai politik di tingkat pusat adalah perempuan.

Berbagai strategi pun ditempuh oleh partai politik ditempuh untuk mencapai aturan tersebut. Ada yang menempatkan calon anggota legislatif perempuan di nomor-nomor awal sehingga memiliki peluang lebih tinggi untuk terpilih, mengajak figur publik perempuan yang memiliki basis massa yang kuat untuk menjadi kader partai yang dianggap sebagai alat bantu untuk mendulang suara, dan lain-lain. Nyatanya, di tahun ini, setelah satu dekade sejak kedua aturan tersebut diterbitkan, persentase ideal tersebut belum juga tercapai.

Meskipun berbeda ranah, setidaknya dari kedua cerita tersebut ada hal yang bisa dipelajari. Kasus pertama mencontohkan bahwa kualitas ada di atas kuantitas, sedangkan kasus kedua lebih condong terhadap kuantitas di atas kualitas. Dalam ranah sains dan teknik, jika yang menjadi titik berat adalah kuantitas, maka hal tersebut bisa jadi berakibat fatal karena adanya celah yang menutup peluang keterlibatan laki-laki yang kompeten, tetapi tidak diterima karena yang lebih penting adalah keterwakilan perempuan, terlepas dari kualitasnya. Terlebih dalam kasus NACA, institusi tersebut menjalankan proyek-proyek strategis nasional yang berdampak terhadap citra Amerika Serikat di tingkat internasional.

Selanjutnya, dalam ranah politik mungkin pertimbangan untuk menetapkan kuota sebesar 30% bagi perempuan adalah karena alasan praktis semata. Namun, kondisi ini dalam jangka panjang juga berisiko karena menyangkut kebijakan pemerintah yang akan disahkan oleh anggota legislatif. Saat ini pun kita belum memiliki jaminan mengenai kualitas anggota legislatif yang terpilih, sebab belum semua partai politik memiliki mekanisme untuk menyaring anggotanya yang akan mencalonkan diri berdasarkan kualitas.

Tuntutan Akan Fleksibilitas

“Kalau aku nanti menikah, pengennya tetap kerja tapi yang fleksibel aja,” begitulah kata beberapa teman saya. Pernyataan tersebut bukannya tidak berdasar. Di zaman yang katanya serba mahal ini, ada sekian persen perempuan yang memang bekerja untuk membantu perekonomian keluarganya, serta sekian persen lagi yang memang bekerja agar tetap mendapatkan pemasukan yang bisa digunakan untuk kepentingan pribadi. Di Indonesia, yang masyarakatnya tengah bertransformasi dari masyarakat tradisional ke modern, ada beberapa kelompok yang memandang bekerja itu perlu dan memang penting, tetapi setelah berkeluarga maka ada tuntutan untuk mengutamakan keluarga di atas karir.

Dari sini kemudian timbul implikasi bahwa karir yang ideal bagi perempuan adalah yang jam kerjanya fleksibel; yang masih memungkinkan mereka untuk mengantar dan menjemput anak ke dan dari sekolah, memasak untuk keluarga, mendampingi anak-anak mengerjakan tugas sekolah, dan sebagainya. Tak heran jika di media sosial yang terkenal dengan fasilitas pengunggahan fotonya kemudian sering terselip iklan yang menjanjikan pekerjaan yang bisa dilakukan para ibu dari rumah hanya dengan bermodalkan gawai, tetapi pemasukan yang didapat bisa mencapai empat kali upah minimum di Jakarta.

Di atas kertas, semua hal tadi terasa manis saja. Bagaimana dengan perempuan yang memang sudah lama menekuni pekerjaan dengan jam kerja yang baku dan kesulitan untuk memulai pekerjaan baru yang terkesan lebih fleksibel?

Para perempuan yang sudah menjadi ibu pun menggunakan kreativitasnya untuk menyiasati kesibukan mereka demi anak dan keluarga. Setahun yang lalu, di KRL yang saya naiki dalam perjalanan pulang dari Jakarta Pusat menuju Bogor, saya seringkali melihat ibu-ibu yang membawa tas berpendingin berisi air susu ibu perah (ASIP) dan alat pemompa ASI. Seorang atasan di kantor yang baru masuk setelah menyelesaikan masa cuti melahirkan pun hampir setiap hari membawa tas yang sama.

Untuk mengurus anak, ada yang memilih untuk menitipkan anaknya di fasilitas day care hingga jam kerja usai, maupun meminta bantuan orang tua atau mertua. Setiap pilihan yang dilakukan memiliki konsekuensinya tersendiri, termasuk harus tahan banting saat mendapatkan berbagai macam komentar dari pihak yang asal bicara di media sosial. Namun, barangkali hal ini bisa menjadi kabar baik bagi para ibu yang bekerja: anak dari ibu yang bekerja memiliki tokoh panutan yang mencontohkan sikap sebagai individu yang profesional di bidang kerjanya serta menstimulus sikap mandiri.

Inklusivitas bagi Pekerja Perempuan: Mungkinkah?

Swedia adalah salah satu negara yang sering disebut-sebut sebagai percontohan dalam berbagai kasus yang menyangkut pembangunan berorientasi kesejahteraan manusia. Saat ini, di Swedia, setidaknya setengah dari anggota parlemen adalah perempuan serta seperempat dari perusahaan di sana pun dimiliki oleh perempuan. Dilansir dari situs Diversity Journal, inklusivitas bagi pekerja perempuan di Swedia setidaknya didukung oleh modal sosial mereka yang meliputi desentralisasi kekuasaan yang membuat hubungan antara karyawan dengan pemimpin lebih santai, kefemininan dalam hal keseimbangan antara kehidupan di kantor dan rumah, pengambilan risiko yang dianggap sebagai situasi yang positif, serta membuat peraturan ketika benar-benar diperlukan.

Inklusivitas yang telah dicapai oleh Swedia saat ini merupakan buah dari proses panjang dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Organisasi pemerintah yang dilibatkan setidaknya adalah Kementerian Kesehatan dan Urusan Sosial yang menangani bidang kesetaraan gender di masyarakat , Kementerian Pendidikan dan Riset sebagai perwakilan dari pemerintah yang meregulasi pendidikan tinggi dan pendistribusian tenaga pengajar berdasarkan gender, serta Ombudsman Kesetaraan yang memiliki peran spesifik untuk menyusun panduan dan menginspeksi untuk menghindari diskriminasi di tempat kerja. Para orang tua di Swedia pun terbantu dengan adanya fasilitas penitipan anak yang tersebar di berbagai area permukiman. Fasilitas tersebut tidak gratis, tetapi mendapatkan subsidi yang besar sebagai implikasi dari pajak penghasilan yang besar pula, sehingga orang tua maksimal membayar SKE 2574 per bulan untuk berapapun jumlah anak yang dimiliki.

Berkaca dari apa yang telah dilakukan Swedia, siapkah kita untuk mencapai inklusivitas bagi pekerja perempuan, termasuk dengan segala konsekuensinya?

--

--