Ide / Warga

Taring Maskulinitas dari Bisingnya Knalpotmu

Lewat di depan rumah atau menyalip dari samping kendaraan, tak jarang kita dibuat kesal dengan berisiknya suara knalpot. Wajarkah kita merasa jengkel? Sudahkah kita mengerti mengapa ada pengendara yang sengaja memodifikasi kendaraannya seperti itu?

Naufal R. Indriansyah
Kolektif Agora

--

A man modifying a motorcycle
Foto oleh Niko Lienata di Unsplash, 2019.

Di kota-kota Indonesia, jalanan adalah ruang bergelut paling kentara. Ada mobil, motor, delman, sepeda, pejalan kaki, bus, truk, tukang cuanki, polisi, kucing, dan lain sebagainya. Sehingga, tak ayal proporsi keadaan stres dalam satu hari sebagian besarnya mungkin muncul saat kita ada di jalan, entah berkendara, dibonceng kekasih, jogging, atau membeli cilok.

Dari semua fenomena yang mungkin terjadi di jalan, salah satu yang paling membuat kesal adalah bisingnya suara knalpot kendaraan. Tak heran memang, sebagai salah satu dari banyak jenis kebisingan lingkungan (environmental noise), gemuruh (atau lengking, yang banyak dijumpai di modifikasi motor matic) knalpot dapat berakibat negatif pada kesehatan mental dan fisik manusia.

Salah satu akibat yang paling fatal adalah dampak kardiovaskular (berkenaan dengan jantung). Penelitian dari Munzel et al (2014) yang dipublikasikan European Heart Journal menunjukkan bahwa selain gangguan terhadap sistem pendengaran, suara bising yang dimaksud dapat menyebabkan hipertensi, serangan jantung, dan stroke. Jika suara bising muncul pada malam hari, semisal dalam kasus orang yang memiliki rumah di samping jalan dengan aktivitas tinggi, hal tersebut dapat mengganggu struktur istirahat, peningkatan tekanan darah dan detak jantung, serta meningkatnya hormon stres.

Dampak lain yang juga patut diperhatikan terjadi pada hewan, seperti kucing dan anjing yang umumnya dijumpai di daerah urban. Riset Kight dan Swaddle (2011) dalam jurnal Ecology Letters menyimpulkan bahwa suara bising yang bersifat antropogenik (dihasilkan oleh aktivitas manusia) dapat berakibat pada kerusakan DNA, alterasi ekspresi gen, dan berbagai perubahan pada proses seluler yang berhubungan dengan fungsi saraf, pertumbuhan, imun, dan fisiologi. Selain itu, riset tersebut juga mengemukakan dampak yang mungkin terjadi pada perilaku dan ekologi komunitas hewan.

Riset-riset di atas dan juga studi lainnya menunjukkan bahwa tak salah jika kita gondok terhadap suara bising knalpot racing. Di Indonesia, dengan jumlah kendaraan motor yang terus meningkat tiap tahunnya hingga mencapai hampir 140 juta pada tahun 2017 (BPS Indonesia, 2019), warga kota terancam semakin tidak sehat mental dan fisiknya, selain diakibatkan masalah finansial dan asmara.

Tapi, setidaknya secara fisik, bukankah pengendara atau montir yang bertanggung jawab terhadap bisingnya knalpot kendaraan juga terdampak? Apakah yang memotivasi dan membuat mereka senang saat menggerungkan kendaraannya?

Sejauh penulis mencari literatur terkait aspek antropologis ataupun psikologis dari pertanyaan di atas, tidak ditemukan riset atau studi yang membahas hal tersebut. Salah satu artikel menarik muncul di sebuah blog otomotif, yang membahas bahwa sebetulnya suara knalpot (entah bising atau tidak) dapat menandakan atau memberitahu orang bahwa terdapat kendaraan yang akan melintas. Namun, tentunya hal ini seakan menjadi justifikasi belaka, karena masih ada alternatif seperti membunyikan klakson.

Argumen lain muncul dari sebuah artikel di Quora. Suara bising knalpot sebetulnya semacam “dibutuhkan” untuk meningkatkan performa kendaraan. Hal ini menjelaskan kenapa motor di kompetisi MotoGP atau mobil F1 memiliki suara knalpot yang cukup memekakkan telinga. Namun, jika kendaraan pribadi digunakan di jalanan kota dengan batasan kecepatan tertentu, argumen ini tentunya tidak valid dan kontraproduktif untuk menjustifikasi kenapa motor atau mobil menggunakan knalpot bising.

Sebuah artikel yang diterbitkan oleh The Telegraph pada tahun 2008 menjelaskan sebuah penelitian yang menyimpulkan bahwa suara knalpot bising (dari mobil mewah, sebetulnya) dapat menyebabkan respon fisiologis primal, terutama dari perempuan. Dengan mengukur level testosteron, yakni hormon yang menandakan rangsangan (arousal), penelitian tersebut menyimpulkan bahwa perempuan, ketimbang laki-laki, lebih menyukai kendaraan dengan suara knalpot bising.

Hal ini kemudian bersinggungan dengan penelitian Lumsden (2010) tentang subkultur mobil balap yang didominasi laki-laki. Sebagai bagian dari modifikasi kendaraan, memasang knalpot bising adalah bagian dari proses konstruksi identitas maskulin. Dalam tinjauan literaturnya, terdapat beberapa hal penting yang patut diperhatikan.

Pertama, bahwa hal ini terjadi di berbagai tempat di dunia, seperti di Australia, Amerika, Kanada, dan beberapa negara di Eropa. Namun, dengan karakter geografis yang khas di masing-masing tempat, bentukan subkultur yang muncul juga berbeda-beda, seperti fenomena Chicano Lowriders di Amerika, raggare di Swedia, dan kortteliralli di Helsinki, Finlandia.

Kedua, bahwa terdapat krisis maskulinitas dalam fenomena tersebut. Laki-laki berumur muda yang biasanya sulit mendapat pekerjaan atau mendapat bayaran yang rendah menjadi bagian dari subkultur modifikasi kendaraan dan balapan sebagai pelarian mereka dalam menunjukkan maskulinitas. Dalam praktiknya pula, terjadi pembentukan dan negosiasi hierarki kekuasaan dan status, seperti siapa yang berkuasa dalam sebuah kelompok, siapa yang berhak atas wilayah tertentu, dan lain sebagainya.

Ketiga, bahwa memang subkultur ini didominasi oleh laki-laki. Seringkali, perempuan yang terlibat dalam subkultur ini dipandang “cuma ikut-ikutan”, semacam imaji yang sering muncul di “pacar pembalap”. Walaupun dalam beberapa kasus seperti di Aberdeen, Skotlandia, perempuan memainkan peran aktif dalam memposisikan diri mereka juga sebagai “pembalap”, di mana mereka menginternalisasikan norma dan nilai subkultur yang dominan dikuasai laki-laki.

Dapat diketahui bahwa terdapat beragam alasan tentang kenapa ada saja orang yang memodifikasi kendaraannya, terutama menjadikannya berisik. Memang kemudian hal ini jelas-jelas berdampak buruk bagi pendengarnya, baik secara mental dan fisik, dan maka sangat wajar jika kita juga kesal dengan hal tersebut. Banyak usaha-usaha yang kemudian dilakukan untuk meredam “masalah” ini. Salah satunya yang mungkin familiar adalah peraturan untuk mematikan motor pada jam malam di gang-gang atau komplek perumahan, atau juga membuat polisi tidur untuk memperlambat laju kendaraan.

Selain intervensi yang dari inisiatif kolektif masyarakat, Indonesia juga menerapkan peraturan terkait hal ini. Dalam Pasal 285 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, disebutkan bahwa orang yang mengendarai sepeda motor dengan tidak memenuhi persyaratan yang sesuai (termasuk knalpot tidak standar plus bising), dapat dipidana dengan kurungan satu bulan atau denda maksimal Rp250.000,00. Selain itu, terdapat juga Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2009 yang mengatur ambang batas suara maksimal untuk tiap kapasitas mesin motor, di mana maksimal untuk motor dengan mesin 175 cc ambang batas kebisingannya adalah 83 dB (setara dengan suara truk diesel yang melintas).

Namun, kembali lagi, bukankah melanggar peraturan adalah bagian dari konstruksi maskulinitas?

ReferensiKight, C. R., & Swaddle, J. P. (2011). How and why environmental noise impacts animals: An integrative, mechanistic review. Ecology Letters,14(10), 1052-1061. doi:10.1111/j.1461-0248.2011.01664.xMunzel, T., Gori, T., Babisch, W., & Basner, M. (2014). Cardiovascular effects of environmental noise exposure. European Heart Journal, 35(13), 829-836. doi:10.1093/eurheartj/ehu030Lumsden, K. (2010). Gendered Performances in a Male-Dominated Subculture: ‘Girl Racers’, Car Modification and the Quest for Masculinity. Sociological Research Online,15(3), 1-11. doi:10.5153/sro.2123

--

--

Naufal R. Indriansyah
Kolektif Agora

Managing Editor at Kolektif Agora | Writing about (Indonesian) cities, urbanization, informality, politics, and everything in between