Esai / Haluan

Tata Pemerintahan Metropolitan

Sebuah Eksplorasi Model Kelembagaan Metropolitan Indonesia

Luthfi Muhamad Iqbal
Kolektif Agora
Published in
10 min readMar 24, 2019

--

Ilustrasi Metropolitan (Benita, 2018)

Mengapa metropolitan, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia, memerlukan pengelolaan yang khusus dan berbeda dari kota atau kawasan perkotaan lainnya? Terdapat setidaknya 10 alasan mengapa perlu ada fokus khusus bagi pengembangan tata kelola metropolitan (Matts, 2015[1]):

  1. Kawasan perkotaan tumbuh pesat, terutama di negara berkembang, baik yang disebabkan oleh urbanisasi karena migrasi desa-kota, ataupun urbanisasi karena transformasi desa-kota, atau densifikasi/pemadatan kota-kota secara alami.
  2. Tidak hanya kota inti, kota sekunder berkembang pesat pula.
    Kota-kota sekunder/satelit di sekitar kota inti terpengaruh oleh kecenderungan metropolisasi, mengalami persoalan mengenai pertumbuhan penduduk, kemiskinan, dan pengangguran/penciptaan lapangan kerja.
  3. Batas administrasi cenderung stabil, sedangkan komuter (penglaju) dan perekonomian lokal secara konstan berubah. Pertumbuhan perkotaan melampaui batas-batas administrasi, mengubah karakter wilayah termasuk parameter efektivitas perencanaan, efisiensi pelayanan, dan pemerataan pembangunan.
  4. Banyak wilayah metropolitan mengalami persoalan tentang fragmentasi, ketidakmerataan, kelimpahan, dan sistem tata kelola yang tidak berfungsi. Pelayanan seperti transportasi publik, sistem drainase, pembuangan sampah seringkali terfragmentasi, menciptakan layanan yang berbiaya tinggi dan tidak efisien sehingga menjadi tantangan bagi keuangan daerah. Selain itu, kemacetan, polusi udara, banjir — sebagai persoalan kewilayahan/regional, seringkali harus ditangani oleh hanya bagian kota inti saja. Juga perbedaan basis pajak menciptakan pertumbuhan yang tidak terkendali, karena masing-masing pemerintah daerah ingin memanfaatkan pemanfaatan lahan bagi pembangunan untuk meningkatkan pajak asli daerah (PAD), sehingga menimbulkan sprawling.
  5. Wilayah metropolitan umumnya menjadi penopang ekonomi nasional di beberapa negara sehingga menciptakan tata kelola terpadu adalah hal yang sangat esensial. Produktivitas wilayah metropolitan sangat menentukan pertumbuhan ekonomi nasional. Enam ratus kota terbesar dunia menghasilkan kurang lebih 60% dari total PDB dunia.
  6. “Mendapat lebih banyak manfaat dengan lebih sedikit biaya.” Koordinasi dan kolaborasi akan secara alami muncul untuk penghematan biaya potensial, di mana efisiensi dapat diperoleh dari perencanaan tata ruang kawasan yang terintegrasi dengan pengembangan infrastruktur, serta rencana keuangan dan pembiayaan (investasi) jangka panjang. Juga koordinasi beberapa layanan (tidak semua) yang bersifat lintas administrasi, di mana skala ekonomi dapat dicapai.
  7. Trade-offs (pengorbanan) yang perlu diatasi. Budaya kolaboratif dalam beberapa aspek seperti penataan transportasi, pembuangan sampah, dan peningkatan daya tarik investasi perlu ditumbuhkan secara terpadu. Dalam pemilihan model tata kelola, perlu dipertimbangkan potensi skala ekonomi dan efisiensi koordinasi pelayanan, mengatasi limpahan baik positif maupun negatif, dan potensi ketimpangan, seiring memperhatikan transparansi, akuntabilitas, dan responsivitas pemerintahan terhadap masyarakat.
  8. Kurangnya contoh kasus di negara berkembang. Negara maju sudah banyak yang memiliki otoritas atau tata pemerintahan metropolitan yang lengkap, meliputi mekanisme koordinasi, bentuk institusi, dan kerangka regulasi, sehingga perlu tata kelola yang disesuaikan dengan konteks lokal.
  9. Rendahnya kapasitas kelembagaan dan aparatur dalam melakukan reformasi tata kelola metropolitan secara komprehensif. Keterbatasan kapasitas menjadi tantangan dalam menghadapi persoalan metropolitan yang lintas yurisdiksi, lintas sektoral, dan menantang secara politik, sehingga perlu adanya reformasi kelembagaan yang dipersiapkan secara matang untuk mencapai wilayah metropolitan yang efisien, adil, dan berkelanjutan.
  10. Tendensi politik dalam penanganan isu metropolitan.
    Dalam pengembangan metropolitan, seringkali keputusan pemilihan tatanan pengelolaan wilayah ditentukan secara politis, alih-alih atas landasan efisiensi dan pemerataan atau keadilan. Pembentukan kerja sama antar daerah dalam wilayah metropolitan seringkali tidak menemukan titik temu karena perbedaan kepentingan atau agenda politik antar pemerintahan.

Apa itu “Metropolitan”?

Untuk menemukan definisi metropolitan, setidaknya perlu ditelaah melalui dua peraturan perundang-undangan utama yang terkait yakni UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 26/2007 tentang Penataan Ruang.

Perspektif Pemerintahan Daerah
Dalam UU/23 tahun 2014[2] tentang Pemerintahan Daerah tidak ditemukan mengenai definisi baku secara spesifik terkait wilayah metropolitan. Akan tetapi, istilah tersebut dapat masuk ke dalam cakupan definisi “kawasan perkotaan” sebagaimana diterangkan pada pasal 355 ayat (3):

“Kawasan Perkotaan sebagaimana dimaksud … berupa … bagian dari dua atau lebih Daerah yang berbatasan langsung”

Meskipun demikian, tidak dijelaskan mengenai bentuk kelembagaan untuk kawasan perkotaan itu sebaiknya seperti apa. Lebih lengkapnya akan diulas pada bagian lain tulisan ini.

Perspektif Penataan Ruang
Dalam UU 26/2007 tentang Penataan Ruang[3], telah terdapat definisi baku mengenai metropolitan, yakni:

Kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu juta) jiwa.

Pada UU ini sedikit dijelaskan mekanisme penataan ruang kawasan perkotaan yang berada di lebih dari satu wilayah administrasi, yang mana dilaksanakan dengan mekanisme kerja sama antardaerah (Pasal 47 ayat 1). Adapun apabila statusnya kawasan strategis nasional, maka pelaksanaan penataan ruang menjadi kewenangan pemerintah pusat (Pasal 8 ayat 1 huruf c).

Potret Pengelolaan Eksisting?

Setelah menulis sejauh ini, ternyata sudah banyak yang mengulas mengenai identifikasi model kelembagaan metropolitan di Indonesia, di antaranya studi yang dilakukan Kurniawan (2006)[4]; Firman (2008)[5]; Warseno (2013)[6]; Hudalah dkk. (2014)[7]; dan Mardianta dkk. (2016)[8].

Selama ini, pengelolaan metropolitan, sama halnya seperti kawasan perkotaan yang lain, dikelola dengan cara kerja sama antar daerah dalam bentuk:

  1. Sekretariat Bersama (Sekber) seperti halnya Kartamantul (Yogyakarta, Sleman, Bantul),
  2. Badan Kerjasama Pembangunan (BKSP) Jabodetabek,
  3. Badan Kerjasama Antardaerah (BKSAD) Subosukawonosraten (Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, Klaten), dan BKSAD Barlingmascakeb (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Kebumen)(Warseno, 2011)[4].

Adapun menurut Mardianta dkk. (2016)[8], berdasarkan kerangka regulasi yang ada di Indonesia saat ini, dapat dilihat pada skema berikut:

Konsep Pengelolaan Kawasan Metropolitan di Indonesia Dari Perspektif Peraturan Perundangan. (Mardianta, dkk., 2016)

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang telah diidentifikasi oleh studi sebelumnya, ditemukan beberapa temuan (Mardianta, dkk. 2016):

  1. Metropolitan bukan merupakan entitas politik, melainkan fungsional. Ia tidak dikenal pada struktur pemerintahan yang ada di Indonesia.
  2. Rencana pembangunan di kawasan metropolitan hanya sebagai “alat koordinasi pelaksanaan pembangunan” dan tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus dimasukkan ke dalam rencana pembangunan RPJM dan RTRW di wilayah administrasi sesuai lingkupnya.
  3. Implementasi pembangunan diserahkan sepenuhnya pada masing-masing tingkat pemerintahan sesuai kewenangan.
  4. Penataan ruang dan penyediaan fasilitas pelayanan umum tertentu harus dikelola bersama oleh pemerintah daerah terkait, kecuali untuk fasilitas yang skalanya telah ditentukan menjadi kewenangan pemerintah pusat. Pada prakteknya, hal ini sangat sulit dilakukan karena keterbatasan pembiayaan.
Kedudukan RTR Kawasan Metropolitan dalam UU 26/2007 (Mardianta, dkk. 2016)

Dari kesimpulan berdasarkan analisis regulasi tersebut, kita seolah-olah berhenti pada model kelembagaan dalam bentuk “kerja sama”, karena bentuk seperti itulah yang paling tersirat dalam kerangka regulasi yang ada pada saat ini. Akan tetapi, pelaksanaan kerja sama akan sangat tergantung pada kondisi kultural, politik, serta orientasi masing-masing pemerintah daerah yang melakukannya. Setelah adanya desentralisasi, masing-masing pemerintah daerah di kawasan metropolitan lebih berorientasi pada wilayahnya sendiri (Sutrisno 2004, dalam Firman 2009; Hudalah dkk, 2013)[5][7][8].

Boleh jadi, di Yogyakarta, sekretariat kerja sama dapat berhasil karena memiliki pengaruh sosio-kultural kesultanan yang kuat, atau Subosukawonosraten dan Barlingmascakeb yang memiliki keterikatan historis dalam satu karesidenan. Namun, model kerja sama seperti ini menjadi rentan apabila terpaksa dibuat seperti pada kasus BKSP Jabodetabek, atau terkesan dipaksakan apabila skema “kerja sama wajib” pada PP 28/2018 tentang Kerjasama Daerah diterapkan untuk menjadi model pengelolaan pada pengembangan wilayah metropolitan lainnya di masa mendatang.

Benarkah kita tidak memiliki ruang implementasi bagi model tata kelola lain?

Model Pengelolaan Metropolitan?

Paradigma Pengelolaan Metropolitan
Terdapat empat paradigma pengelolaan metropolitan (Brenner (2004); Heinelt dan Kubler (2005), Savitch dan Vogel (2009); Hamilton (2013) dalam Mardianta dkk. (2016)), yakni sebagai berikut:

Paradigma Pengelolaan Metropolitan (Mardianta dkk, 2016)

Tipologi Pengelolaan Metropolitan
Adapun tipologi tata kelola metropolitan (Matts, 2015) terdiri dari:

  1. Tata kelola terfragmentasi (fragmented governance)
    (case by case; metropolitan association/committee; contracting among LGs)
  2. Otoritas wilayah metropolitan
    (dewan pemerintah metropolitan; badan perencana metropolitan; badan penyedia layanan metropolitan; badan perencana dan penyedia layanan metropolitan)
  3. Pemerintahan wilayah metropolitan
    (pemisahan pemerintahan wilayah metropolitan untuk mengoordinasikan fungsi tertentu yang disepakati antar pemerintah daerah anggota (fungsional); pembentukan pemerintahan wilayah oleh pemerintah di atasnya)
  4. Pemda terkonsolidasi (consolidated local government)
    (penggabungan wilayah yurisdiksi metropolitan ke dalam satu kesatuan daerah administrasi)

Konsep Pembagian Kewenangan Pengelolaan Metropolitan
Metropolitan tentu memiliki karakteristik dan tantangan yang berbeda dengan daerah kabupaten/kota maupun provinsi. Konsekuensinya ialah pembagian ini mungkin akan berbeda dengan pembagian kewenangan dalam UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Berikut merupakan cascading pembagian kewenangan bersama (konkuren) antara pemerintah pusat (P), kelembagaan metropolitan (M), pemerintah daerah (D), dan swasta (S) menurut GIZ dan UN-Habitat (2015).

Tabel Konsep Pembagian Kewenangan di Wilayah Metropolitan (Matts, 2015)

Kontekstualisasi Model?

Melalui pemetaan paradigma dan tipologi pengelolaan metropolitan, terdapat dua kelompok pendekatan yang dapat ditempuh menggunakan kerangka regulasi yang ada, yakni melalui kerjasama daerah (tipe 1 dan 2) melalui penataan daerah (tipe 3 dan 4).

Interaksi Paradigma dan Model Tata Kelola Metropolitan serta Pendekatan dalam Konteks Indonesia

Untuk tipe 3, sebenarnya boleh jadi merupakan kombinasi antara pendekatan kerja sama daerah dan penataan daerah, apabila inisiatif pemerintahan metropolitan datang dari hasil pelaksanaan kerja sama antar pemerintah daerah.

Paradigma Eksisting

Menurut paradigma yang sudah dijelaskan sebelumnya, kecenderungan eksisting yang teridentifikasi di Indonesia ialah:

  1. Pemda yang ada di wilayah metropolitan cenderung memiliki paradigma public-choice perspective. Salah satu contohnya, sulit bekerjanya BKSP Jabodetabek dalam pembangunan Major Convention Center di Jakarta, Sentul (Bogor), dan Serpong (Tangerang Selatan), dsb.
  2. Pemda yang ingin menjadi metropolitan cenderung memiliki paradigma metropolitan reform tradition melalui konsolidasi beberapa pemda untuk menciptakan satu pemerintahan otonom baru (usulan pemekaran Provinsi Ciayumajakuning untuk melingkupi Metropolitan Cirebon Raya).
  3. Kementerian Dalam Negeri dalam UU 23/2014 dan PP Kerjasama Daerah cenderung memiliki paradigma the new regionalism dengan mendorong pembentukan sekretariat kerja sama daerah yang fungsional dalam mengelola wilayah metropolitan.
  4. Kementerian Agraria dan Tata Ruang memiliki paradigma re-Scaling/re-territoriality dengan menetapkan wilayah metropolitan sebagai kawasan strategis nasional untuk mendorong kepentingan ekonomi (menciptakan pusat pertumbuhan baru dalam bentuk metropolitan yang berdaya saing global).

Dalam rangka mengembangkan wilayah metropolitan yang berkelanjutan, perbedaan paradigma ini menciptakan tidak bertemunya pemahaman yang sama antar satu sama lain. Mungkin, karena itu pulalah RPP Perkotaan, RPP Penataan Daerah, RPP Desain Besar Penataan Daerah sebagai turunan dari UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah belum diundangkan.

Pendekatan Kerjasama Daerah (Fungsional — Desentralistik)

Menurut PP 28/2018 tentang Kerja Sama Daerah, pelaksanaan pengelolaan wilayah metropolitan masuk ke dalam kategori sebagai berikut:

  1. Menurut sifat kerja samanya terdiri atas kerja sama wajib (untuk daerah yang berbatasan langsung dan memiliki urusan yang wajib dikerjasamakan) atau kerja sama sukarela (untuk daerah yang tidak berbatasan langsung atau urusan pemerintahan yang tidak diwajibkan untuk dikerjasamakan).
  2. Kerja sama dari jumlah subjeknya dapat berbentuk bilateral (antara dua pihak) dan multilateral (antara banyak pihak).
  3. Dari jenis subjeknya dapat berbentuk KSDD (Kerjasama Daerah dengan Daerah Lain) dan KSDPK (Kerjasama Daerah dengan Pihak Ketiga).
  4. Dari jenis objeknya dapat berbentuk kerja sama sektoral (satu urusan pemerintahan) dan kerja sama multisektoral atau kewilayahan (banyak urusan pemerintahan).
  5. Dari bentuk kelembagaannya dapat berupa asosiasi/komite/komisi/forum komunikasi apabila bersifat ad-hoc, memiliki kompleksitas rendah, dan temporer, serta tidak mengikat. Berbentuk sekretariat kerja sama daerah apabila terus menerus, memiliki kompleksitas yang tinggi, dan memiliki jangka waktu minimal lima tahun.

Apabila daerah tidak melakukan kerja sama wajib sesuai aturan tersebut, pelaksanaan urusan yang dikerjasamakan dapat diambil alih oleh pemerintah pusat/GWPP (Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat). Hal ini menyiratkan, apapun tindakan “resentralisasi” pengelolaan metropolitan (pendekatan otoritas metropolitan/penataan daerah metropolitan) baru dapat dilakukan apabila daerah-daerah yang diwajibkan untuk melakukan kerja sama daerah dinilai “gagal” dalam melaksanakan kerja sama wajib.

Tipologi Kerjasama Daerah Dalam Negeri menurut PP 28/2018

Pendekatan Otoritas Metropolitan (Fungsional — Sentralistik)

Otoritas metropolitan dapat dibentuk melalui peraturan presiden (Perpres) yang kedudukannya dapat berupa lembaga pemerintahan maupun lembaga nonpemerintahan. Secara struktur, dalam kelompok “lembaga pemerintahan” dapat berbentuk:

  1. setara kementerian/lembaga (ministerial structure, dikepalai kepala badan/otorita/lembaga setara menteri);
  2. di bawah kementerian/lembaga (intra-ministerial structure, dikepalai kepala badan/otorita/lembaga setara eselon I/Ib, bertanggungjawab kepada menteri/menko/kepala lembaga tertentu);
  3. atau di luar kementerian/lembaga (extra-ministerial structure, kepala otorita independen, yang ditunjuk langsung presiden, di bawah dewan pengarah yang beranggotakan kepala daerah dan kementerian/lembaga terkait).

Untuk struktur nonlembaga pemerintahan, dapat juga berupa otorita metropolitan independen (berupa lembaga nonpemerintahan yang dapat berstatus hukum badan usaha milik negara, badan usaha milik swasta, maupun badan hukum) yang dapat memberikan layanan suatu urusan pemerintahan (sektoral) maupun banyak urusan pemerintahan (multisektor/kewilayahan), di mana pemerintah daerah melakukan kerja sama dengan pihak ketiga (KSDPK) untuk melakukan transfer urusan-urusan yang dikerjasamakan kepada badan yang dibentuk tersebut.

Tipologi Otorita Metropolitan

Pendekatan Penataan Daerah (Regional)

Untuk pendekatan penataan daerah, terdapat beberapa kategorisasi:

  1. Menurut inisiatornya dapat dikelompokkan ke dalam tiga cara, diinisiasi oleh pemerintah daerah kabupaten/kota, diinisiasi oleh pemerintah daerah provinsi, atau diinisiasi oleh kementerian/lembaga.
  2. Secara bentuknya dapat berupa daerah otonom baru (DOB) atau daerah yang memiliki otonomi khusus (Otsus).
  3. Secara prosesnya dapat berupa penyesuaian daerah (border adjustment), pembentukan melalui pemekaran daerah (re-scaling or re-territoriality), atau pembentukan melalui penggabungan daerah (consolidated local government).
  4. Secara tingkatan pemerintahan dapat berupa Daerah Kota Metropolitan ataupun Daerah Provinsi Metropolitan.
Tipologi Penataan Daerah menurut UU 23/2014

Untuk memudahkan penampilan tipologi opsi daerah dan tata cara/proses-proses yang perlu dilakukan menuju pelembagaan wilayah metropolitan, akan penulis sajikan pada tulisan selanjutnya.

Luthfi Muhamad Iqbal
luthfi.iqbal23@gmail.com

Referensi[1] Matts, Anderson. 2015. Unpacking Metropolitan Governance for Sustainable Development. Discussion Paper. Bonn: GIZ. [tersedia di: http://localizingthesdgs.org/library/130/Unpacking-Metropolitan-Governance-for-Sustainable-Development.pdf][2] Undang Undang №23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah [tersedia di: https://pih.kemlu.go.id/files/UU0232014.pdf][3] Undang Undang №26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang [tersedia di: https://www.atrbpn.go.id/Publikasi/Peraturan-Perundangan/Undang-Undang/undang-undang-nomor-26-tahun-2007-1849][4]Kurniawan, Teguh. 2006. Kepemerintahan Kawasan Metropolitan: Sumbangan Pemikiran untuk Revisi UU 34/1999. Jurnal Industri dan Perkotaan, Vol X, No 18/ Agustus 2006 [tersedia di: http://staff.ui.ac.id/system/files/users/teguh.kurniawan/publication/kepemerintahan_metropolitan_tk.pdf][5] Firman, T. (2008), In search of a governance institution model for Jakarta Metropolitan Area (JMA) under Indonesia’s new decentralisation policy: old problems, new challenges. Public Admin. Dev., 28: 280–290.[6]Warseno. 2013. Model Kelembagaan Kawasan Metropolitan. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol. 13, №1, April 2011 Hlm.20–25 [tersedia di: https://media.neliti.com/media/publications/130781-ID-model-kelembagaan-kawasan-metropolitan-d.pdf][7] Hudalah, D., Firman, T. and Woltjer, J. 2014. Cultural cooperation, institution building, and metropolitan governance in decentralizing Indonesia, International Journal of Urban and Regional Research, 38 (6), 2217–34 [tersedia di: https://westminsterresearch.westminster.ac.uk/download/1bdc0512f2e473898e71ab1542dd83c20cb8cec96c6dfd297bac69944a889f66/198042/Manuscript%20Cultural%20cooperation%20metropolitan.pdf][8] Mardianta, Anthoni Veery; B. Kombaitan; Heru Purboyo; Delik Hudalah. 2016. Pengelolaan Kawasan Metropolitan di Indonesia dalam Perspektif Peraturan Perundangan. Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016. [tersedia di: https://temuilmiah.iplbi.or.id/wp-content/uploads/2016/12/IPLBI2016-C-051-056-Pengelolaan-Kawasan-Mtropolitan-di-Indonesia-dalam-Persfektif-Peraturan.pdf]

--

--