Editorial

Tematik Problematik

Merayakan Kemacetan Oleh Taman Tematik

Nayaka Angger
Kolektif Agora

--

Alun-alun Kota Bandung (Foto oleh Sangkara Nararya, 2017)

Kota Bandung diberkati dengan keteduhan dan kegaduhan di saat yang bersamaan. Sejak Ridwan Kamil naik panggung, kota ini kebanjiran ruang publik dan vegetasi hijau di seantero kota. Mulai dari pot-pot bunga di trotoar sampai revitalisasi alun-alun, dari vertical garden di lampu jalan sampai taman-taman tematik.

Inovasi dan perbaikan kota yang diorkestrasi oleh Pak Wali serasi dengan karakteristik wargi Bandung yang gandrung berbincang dan menghabiskan waktu di luar ruang. Dalam konteks peningkatan kualitas hidup, taman-taman dan hijau-hijauan tersebut berpengaruh besar dalam mencukupkan dosis “piknik” yang dibutuhkan oleh penduduk Kota Bandung. Ketersediaan sarana dan kesempatan rekreasi tentunya akan berdampak positif terhadap produktivitas masyarakat…kan?

Tamanku Teduh

Ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Bandung mengalami peningkatan yang cukup pesat pada satu dekade terakhir. Sekitar 10% dari keseluruhan luas RTH tersebut adalah berupa taman kota dan kebun bibit. Data dari Dinas Pemakaman dan Pertamanan menunjukkan bahwa terdapat 613 taman di Kota Bandung yang mencakup setidaknya taman kota, taman tematik, taman unit lingkungan, dan pulau jalan.

Ridwan Kamil menggunakan diskresinya untuk bebas berkreasi pada domain publik dengan membangun taman-taman tematik — seperti Taman Jomblo yang terkenal itu, entah kenapa. Per tahun 2017, terdapat 23 taman tematik yang tersebar di Kota Bandung. Setiap taman memiliki tema dan namanya masing-masing dengan karakteristik fisik yang unik antara satu dengan yang lainnya. “Tema” pada masing-masing taman terkonstruksi dari setidaknya dua hal, yakni 1) fungsi dan aktivitas, serta 2) lokasi dan sejarah.

Taman tematik di Kota Bandung (Sumber: Diskamtam Kota Bandung)

Tema-tema tersebut dipadupadankan dengan desain taman dan aktivasi kegiatan yang kreatif sehingga menimbulkan sebuah kesan ruang yang menawan. Pengunjung selalu membeludak bertandang ke taman-taman tematik, terutama di akhir minggu, untuk sekadar menikmati suasana atau menonton festival. Tak jarang pengunjung dari luar Kota Bandung rela hijrah untuk menumpang main di taman Bandung. Taman tematik juga kerap menjadi titik temu komunitas-komunitas di Kota Bandung dan menjadi wadah kegiatan yang produktif — atau, yah, jadi lokasi persembunyian anak-anak SMA yang mabal untuk saling mengasihi.

Tamanku Gaduh

Taman adalah sebuah sarana rekreasi dengan cakupan area pelayanan lokal. Artinya, secara ideal taman dimaksudkan untuk dipergunakan oleh orang-orang atau warga di sekitarnya. Setiap orang tidak harus pergi jauh-jauh, cukup keluar pagar rumah dan berjalan beberapa meter untuk bisa menikmati udara yang (agak) segar dan bersantai di bawah rimbun dedaunan.

Di sisi lain, ketimbang melayani penduduk di sekitarnya, taman tematik di Kota Bandung justru menjelma menjadi sebuah landmark populer, sebuah kiblat inovasi pembangunan, sebuah objek wisata yang mengundang banyak orang datang berkelimun. Mengingat Kota Bandung merupakan pusat dari metropolitan Bandung Raya, maklum jika orang-orang dari kota sekitar dapat dengan mudah mengakses Kota Bandung. Selain itu, popularitas Ridwan Kamil sebagai figur di media sosial mengamplifikasi pula popularitas taman-taman tematik tersebut dan mendatangkan jauh lebih banyak orang.

Tidak hanya itu, justru yang menjadi masalah laten dari taman tematik adalah “tema” itu sendiri. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, beberapa taman tematik mendapatkan temanya dari fungsi dan kegiatan yang spesifik yang diperuntukan untuk penggunaan taman tersebut. Dengan begitu, pengguna taman tidak lagi peduli taman mana yang dekat atau yang jauh, tapi justru taman mana yang sesuai dengan preferensinya. Yang ingin foto datang ke Taman Fotografi, yang ingin konser kecil datang ke Taman Musik, yang ingin main papan seluncur datang ke Skate Park.

Sekilas, nampak bahwa itu bukanlah sebuah masalah ataupun sesuatu yang mungkin dipermasalahkan. Toh, taman tematik justru menjadi sesuatu yang baik karena kebutuhan rekreasi masyarakat dapat diakomodasi secara spesifik. Namun, kombinasi antara popularitas taman tematik dan spesifikasi penggunaannya menghasilkan efek negatif yang tak begitu kasat mata — dan tak diketahui.

Macet yang Tak Kasat Mata

Setiap kegiatan pada umumnya menciptakan bangkitan pergerakan. Bangkitan pergerakan dapat dijelaskan sebagai arus pergerakan manusia akibat adanya sebuah kegiatan. Jika dibangun sebuah mal, tentu saja orang akan berdatangan ke tempat tersebut, bukan? Dan saya yakin tidak akan ada yang datang dengan berjalan kaki. Itu berarti akan terjadi banyak pergerakan kendaraan, baik umum maupun pribadi, dari dan ke tempat tersebut.

Bangkitan pergerakan yang timbul oleh mal tentu saja akan berbeda oleh perumahan atau tanah kosong. Dalam konteks taman, diasumsikan bahwa taman melayani pengguna yang berada di sekitarnya, sehingga pergerakan yang dibangkitkan dapat diminimalisasi dan dipertahankan dalam jarak tertentu.

Kiri-kanan: 1. Gambaran pergerakan taman lingkungan | 2. Gambaran pergerakan taman tematik (Sumber: Ilustrasi pribadi)

Pada ilustrasi di atas, gambar pertama menunjukkan model sederhana pergerakan yang terjadi pada taman lingkungan. Hal yang sama kemungkinan besar juga terjadi pada taman-taman lingkungan di Kota Bandung. Di sisi lain, gambar selanjutnya mengilustrasikan pergerakan yang mungkin terjadi akibat adanya taman tematik. Terlihat bahwa pergerakan yang terjadi lebih rumit dan carut-marut. Seperti didramatisasi — memang — sebab dibutuhkan penelitian lanjutan untuk betul-betul mengetahui origin-destination dari setiap perjalanan olehmasing-masing taman. Ilustrasi tersebut juga baru menggunakan faktor preferensi berdasarkan kegiatan, belum mempertimbangkan faktor popularitas dan hype taman tersebut akibat endorsement atau acara-acara besar.

Jika taman tematik menjadi salah satu pilihan utama warga Bandung dan sekitarnya dalam berekreasi, akhir minggu di Kota Bandung jadi neraka. Dilihat dari ilustrasi sebelumnya, taman tematik tentu turut andil dalam menciptakan kemacetan di akhir minggu. Kemacetan Bandung di akhir minggu bukan hanya tentang banyak orang Jakarta yang ke Bandung, tapi juga tentang ke mana orang-orang itu pergi dan apakah dapat ditampung oleh sarana yang ada.

Tidak semua taman tematik memiliki sarana parkir dengan kapasitas yang cukup untuk menampung kendaraan para penggemarnya, sehingga sirkulasi di sekitar taman menjadi terhambat akibat orang yang parkir di pinggir jalan, pengunjung yang hilir-mudik menyeberang jalan, serta kendaraan yang lalu-lalang maju-mundur karena parkir penuh. Akibatnya, lalu lintas kelamaan tersendat dan menimbulkan kemacetan yang berekor — di mana-mana.

Pendapat ini tentu memiliki banyak kekurangan teoretik serta bukti-bukti empiris, tetapi setidaknya beriktikad baik untuk menjelaskan secara sederhana dampak tersembunyi yang ditimbulkan oleh taman tematik. Taman tematik tentu memiliki nilai positifnya tersendiri, ia telah menjadi inovasi yang kontekstual dan aplikatif dalam meningkatkan kualitas hidup sebagian kelompok masyarakat di Kota Bandung. Namun, kekurangan yang ada bukan berarti harus diacuhkan. Ini bukan sebuah kritik, melainkan sebuah telaah terhadap fenomena perkotaan yang terlalu dielu-elukan untuk bisa dikritik oleh orang biasa.

Referensi

  • Badan Stardisasi Nasional (2004). SNI 03–1733–2004: Tata cara perencanaan lingkungan perumahan di perkotaan. Bandung.
  • Dasar-Dasar Pemodelan Transportasi — Pendalaman Model Bangkitan/Tarikan Pergerakan. Bahan ajar: Perencanaan Infrastruktur dan Transportasi, Program S2 Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Bandung, Bandung.
  • Dinas Pemakaman dan Pertamanan Kota Bandung (2017). Diambil dari: http://diskamtam.bandung.go.id/
  • Maryati, Sri dan PH, Binsar. Perencanaan Fasilitas Kebudayaan, Rekreasi, Olahraga, dan RTH. Bahan ajar: Pengantar Infrastruktur Wilayah dan Kota, Program S1 Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Nayaka Angger
Koresponden Kolektif Agora

--

--