IDE / HALUAN

Terpaksa Urban?

Konsekuensi Transformasi Ekonomi dalam Rangka Pertumbuhan

Nefertari Pramudhita
Kolektif Agora

--

Foto oleh Shayan Ghiasvand di Unsplash, 2019.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang melambat mulai terlihat terperangkap dalam middle income trap: sebuah contoh klise tentang ketidakmampuan dalam meningkatkan produktivitas ekonomi. Di saat yang sama, kita juga punya tanggungan bonus demografi. Kedua tekanan ini menjadikan peningkatan produktivitas ekonomi melalui pengembangan lapangan pekerjaan sebagai sebuah tujuan utama.

Sebuah pendekatan kebijakan yang akan sangat mungkin diambil untuk tujuan tersebut, mengarah kepada perbaikan industri dengan mindset ekspor yang kita anut dari jaman orde baru (Habibi, 2018). Hal ini terlihat dengan jelas pada kebijakan strategis pertama dalam Undang-undang Cipta Kerja (UUCK), “perbaikan ekosistem investasi dengan menciptakan ekosistem yang mendukung kemudahan berusaha.”

Arah kebijakan strategis ini menjadikan pemerintah Indonesia saat ini tepat dalam definisi neoliberal menurut Harvey (2005), di mana misi fundamentalnya adalah “memfasilitasi kondisi untuk akumulasi modal yang menguntungkan modal domestik maupun asing” dengan memastikan kerangka institusi yang “baik untuk investasi”.

Namun, pertanyaan yang selalu hinggap di kepala adalah pada siapa kebijakan ini akan berpihak? Dalam gemerlap investasi dan upaya dalam mendorong transformasi ekonomi ini, siapa yang akan tergusur dari tanahnya?

Pemodal dan Kelompok Subsisten

Yang pertama perlu dibahas adalah bagaimana industri bisa berkembang sedemikian rupa sehingga menjadi semarak seperti sekarang, seakan tidak akan pernah berhenti bertumbuh? Sebuah teori neoklasik yang paling awal mengupas tentang dinamika ini adalah dual-sector model karya W. Arthur Lewis dalam artikelnya yang berjudul “Economic Development with Unlimited Supplies of Labor” pada tahun 1954.

Dalam modelnya, Lewis membagi ekonomi negara terbelakang menjadi dua sektor: sektor kapitalis dan sektor subsisten. Sektor kapitalis didefinisikan sebagai sektor yang melakukan reproduksi modal. Sektor ini seringkali di gambarkan sebagai sektor manufaktur. Sedangkan sektor subsisten adalah “bagian ekonomi yang tidak menggunakan modal yang dapat direproduksi” yang dapat disesuaikan sebagai sektor pertanian tradisional.

Ceritanya berawal dengan asumsi bahwa lahan hanya dapat memfasilitasi kegiatan pertanian secara terbatas. Hal ini menyebabkan sektor pertanian tradisional memiliki kelebihan tenaga kerja tak produktif yang kemudian akan disebut sebagai tenaga kerja surplus. Sebagian tenaga kerja ini tertarik pada sektor kapitalis yang produktivitas marjinalnya lebih tinggi.

Di saat yang sama, sektor kapitalis memiliki karakteristik kapitalistik untuk kembali menginvestasikan keuntungannya, menyebabkan pertumbuhannya dari waktu ke waktu lebih pasti. Pertumbuhan ini juga menyerap tenaga kerja surplus, mendorong industrialisasi, dan merangsang pembangunan yang secara terus menerus. Hal ini memberikan ilusi bahwa industri dapat terus tumbuh dengan supply tenaga kerja yang tidak terbatas; setidaknya selama tenaga kerja surplus masih ada.

Penjelasan mengenai model Lewis di kanal Youtube Robert Inklaar, 2020.

Terpaksa Urban

Seperti yang sebagian dari pembaca mungkin sudah duga, teori ini bukan tanpa kritik. Salah satu catatan terbesar dari teori ini adalah tentang seberapa perpindahan ini mungkin bukan hal yang mulus sebagai konsekuensi dari adanya surplus tenaga kerja dari sektor pertanian, karena industri seringkali memiliki kebutuhan yang spesifik (Gentry, 2018).

“The transfer of unskilled workers from agriculture to industry is regarded as almost smooth and costless, but this does not occur in practice because industry requires different types of labor. The problem can be solved by investment in education and skill formation, but the process is neither smooth nor inexpensive.”

Lebih jauh lagi, beberapa bahkan berargumen bahwa surplus tenaga kerja yang ada pada teori ini bukanlah berisi mereka yang memiliki pilihan melainkan mereka yang dari awal sudah termarjinalkan. Alih-alih menghubungkan pertanian dan industri berdasarkan pembagian kerja nasional, tatanan neoliberal menundukkan kedua sektor menjadi pembagian kerja internasional untuk melayani produksi komoditas global.

Merujuk pada model sebelumnya, sektor industri dalam tatanan neoliberal mengarahkan industrialisasi substitusi impor, yang tujuan utamanya adalah menghilangkan impor dengan menciptakan basis manufaktur domestik dengan lapangan kerja penuh, ke industrialisasi berorientasi ekspor (EOI) di mana negara-negara berproduksi untuk pasar dunia. Hal ini dilakukan dengan harapan bahwa sektor industri mendapatkan manfaat pembangunan dari melakukan perdagangan global, sambil memanfaatkan “keunggulan komparatif”, termasuk sumber daya alam dan tenaga kerja yang relatif melimpah.

Di sisi lain, agar produktif, petani diharapkan bekerja efisien dan bergabung dengan rantai produksi global. Hal ini dilakukan melalui promosi tanaman komersial serta mengintensifkan penggunaan teknologi baru; menciptakan sebuah rezim agraria baru di mana produktivitas menjadi tujuan utama.

Namun, tentu saja akses terhadap intensifikasi produksi ini tidaklah seragam. Mereka yang tidak bisa didorong untuk meninggalkan sektor pertanian di pedesaan atau pindah ke kota.

Investasi pertanian neoliberal mengambil alih tanah yang tidak produktif dan mengubahnya menjadi perkebunan besar yang menghasilkan makanan dan bahan bakar nabati untuk pasar. Skenario ini menyebabkan apa yang Araghi (1995, 338) sebut sebagai “de-peasantisation”; petani dengan sedikit atau tanpa akses ke lahan yang pertama dianggap tidak layak untuk rezim agraria baru ini.

Akibat tekanan untuk menjadi efisien, mereka terpaksa menyerahkan tanah mereka kepada petani yang lebih efisien. Hal ini membuat jumlah petani dengan akses langsung ke lahan menurun. Masih petani, hanya saja tanpa tanah.

Akan tetapi, tidak semua petani yang sekarang tanpa tanah ini kemudian menjadi “surplus” untuk kebutuhan produksi pedesaan; mereka menjadi rendundan dalam skema agrikultur yang lebih efisien. Seringkali, mereka harus bekerja serabutan dengan bermigrasi secara musiman ke kota untuk memenuhi kebutuhan, terlebih ketika harus bertahan dalam situasi genting.

Mereka, idealnya, kemudian terserap di sektor manufaktur dan jasa yang berkembang di kota. Namun, seperti yang seringkali terjadi, ternyata laju industrialisasi di kota tidak bisa menandingi perpindahan dari populasi pedesaan. Breman (1996) menunjukkan mobilitas yang lebih besar dari “footloose labour” — yang kakinya terus berpindah antara daerah pedesaan dan perkotaan; di mana kemudian mereka terutama terlibat dalam perekonomian informal perkotaan.

Terlanjur Urban

Tidak hanya terbatas pada migrasi desa-kota, permasalahan surplus ini juga juga hadir bagi mereka yang sudah berada di kota. Terjebak dalam ketidakpastian pekerjaan, tidak membuat mereka bisa kembali ke desa. Para pendatang kemudian memanfaatkan ragam kesempatan untuk memperbaiki hidupnya, lewat sektor informal.

Walau informalitas bukan sebuah kegiatan yang glamor, kegiatan informal memberikan penghidupan dengan tingkat kesulitan yang relatif rendah. Kegiatan informal, yang biasanya merupakan layanan jasa, umumnya hanya dapat dilakukan pada wilayah yang cukup padat, sebuah karakteristik utama perkotaan.

Dalam konteks urbanisasi, kegiatan informal menjadi salah satu pilihan paling mudah untuk memulai kehidupan di kota. Kegiatan informal merupakan pilihan yang memberikan keleluasaan bagi mereka, yang bahkan dengan tingkat pendidikan rendah, dapat hidup layak di situasi urban.

Poin Breman adalah bahwa surplus tenaga kerja bukan hanya tentang penduduk yang sebelumnya tinggal di pedesaan dan pindah ke daerah perkotaan untuk mencari pekerjaan, tetapi merupakan sirkulasi konstan antara dua sumbu mata pencaharian — bertani di pedesaan dan bekerja serabutan di perkotaan — dalam kondisi genting.

Ya, mungkin berinvestasi dan bertransformasi ekonomi memang diperlukan Indonesia untuk keluar dari middle income trap. Lagipula, memang tidak dapat disangkal kalau kita tetap butuh kapital untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik; kehidupan yang lebih baik untuk semua.

Oleh karena itu, menjadi produktif masih layak untuk dijadikan idaman. Namun, hal ini dapat menjadi bumerang; bagi kita, atau mungkin bagi pekerja tanpa lahan yang akhirnya terpaksa untuk mengikuti arus tanpa perlindungan yang pasti.

Kekhawatiran telah muncul: hak-hak untuk bekerja dan hak-hak di tempat kerja dilanggar, serta kritik tentang janji-janji kesempatan kerja muncul. Kurangnya stabilitas menjadikan tenaga kerja direduksi menjadi sekadar “unit of labor”, sebuah unit yang dapat dengan mudah digantikan yang, bukan sebagai manusia secara utuh. Secara khusus, ketika disandingkan dengan narasi pembangunan yang lebih luas dari visi pemerintah 2045, penetrasi modal ke tenaga kerja yang dapat disingkirkan pasti akan menyebabkan ketidakcocokan keterampilan dan masyarakat yang semakin rentan.

Menjadi jelas bahwa peningkatan jumlah lapangan pekerjaan bukan serta merta miningkatkan kesejahteraan. Dalam skala tertentu, hal ini mungkin malah bisa mengakibatkan keterpurukan dalam ketidakpastian yang begitu dalam, terutama bagi mereka yang “terpaksa urban”.

ReferensiAraghi, F. 1995. Global Depeasantization, 1945–1990. Sociological Quarterly 36 (2): 337–368.Breman, J. 1996. Footloose Labour: Working in India’s Informal Economy. Cambridge: Cambridge University PressGentry, S. (2018). Economic Development and Planning. ETP:127Habibi, M., & Juliawan, B. H. (2018). Creating Surplus Labour: Neo-Liberal Transformations and the Development of Relative Surplus Population in Indonesia. Journal of Contemporary Asia, 48(4), 649–670. https://doi.org/10.1080/00472336.2018.1429007Harvey, D. 2005. A Brief History of Neoliberalism. New York: Oxford University Press

--

--

Nefertari Pramudhita
Kolektif Agora

Mainly interested in the city and the choices people make in it