EDITORIAL

Transisi Transportasi: Gig Economy (Bagian 2)

Menghindari Ruang Transisi dengan Kerja Jarak Jauh

Jaladri
Kolektif Agora

--

Foto oleh Sangkara Nararya, 2018.

Harga yang harus dibayar dari transportasi — termasuk ruang-ruang transisi yang tercipta di antaranya — semakin hari semakin mahal. Commuter life dipilih karena tidak ada pilihan lain yang lebih logis bagi warga urban.

Namun, era digital telah membuka pilihan baru. Melalui internet, komputer, dan ponsel pintar, tenaga kerja bisa semakin mobile dan pekerjaan dapat dilakukan dari mana saja. Pekerja lepas dapat bekerja dari belahan dunia lain tanpa harus berpindah ke belahan dunia yang berbeda.

“From the perspective of the freelancer, a gig economy can improve work-life balance over what is possible in most jobs.”
— Margaret Rouse

Tidak hanya pekerja lepas, kantor-kantor di kota besar seperti Jakarta mulai memberi opsi untuk melakukan pekerjaan secara remote. Hadir secara fisik di kantor tidak lagi jadi kewajiban karena pekerjaan dapat diselesaikan dan diawasi dari jauh.

Bagi kantor, hal ini tentu menguntungkan: produktivitas yang hilang karena perjalanan dari rumah ke kantor dapat diatasi dengan tidak harus bekerja di kantor. Ruang-ruang transisi yang mahal pun dapat dilewati.

Melalui teknologi pekerjaan jarak jauh ini, perusahaan bahkan tidak perlu merekrut pekerja secara penuh. Mereka cukup merekrut pekerja-pekerja jangka pendek untuk salah satu proyek atau satu bagian kecil pekerjaan. Perusahaan pun dapat memilih talent terbaik dari seluruh dunia dengan tarif upah paling rendah. Hasilnya adalah tenaga alih daya (outsource) yang semakin murah.

Upah Murah Pekerja Outsource

Situs seperti freelancer.com, Sribulancer, Patreon, dan situs pekerja lepas lainnya jadi penghubung antara perusahaan atau individu yang memerlukan jasa dan penyedia jasa. Perusahaan atau individu ini dapat memilih portofolio terbaik dari kolam bakat yang sangat luas. Pekerja lepas sebagai penyedia jasa berlomba-lomba memasang tarif paling murah menarik penerima jasa menggunakan jasa mereka.

Internet itu sendiri, secara tidak langsung, menjadi perusahaan penyedia jasa pemasok tenaga kerja — perusahaan outsourcing yang menjangkau seluruh belahan dunia. Perusahaan tidak perlu merekrut penuh seorang pekerja. Misalnya, sebuah perusahaan cukup menggunakan jasa desainer untuk satu acara daripada merekrutnya untuk jadi pekerja penuh dengan berbagai tanggungan wajib perusahaan.

Hal tersebut memotong biaya seperti tunjangan kesehatan, tunjangan makan, tunjangan transportasi, dan biaya-biaya lainnya di luar gaji pokok. Jika tidak suka dengan pekerja tersebut, setelah kontrak habis, perusahaan tinggal menggantinya dengan orang lain yang sama baiknya atau lebih murah jasanya. Bahkan, mirisnya, tidak jarang ada pekerja lepas yang tidak mendapatkan bayaran dan putus komunikasi begitu saja setelah pekerjaan diselesaikan.

Teknologi juga menghadirkan transportasi dan kurir yang bisa dipesan secara online. Dulu, untuk mendapat taksi, kita harus menunggu di pinggir jalan atau menghampiri pool taksi. Lalu, teknologi menghadirkan telepon dan kita bisa menelepon perusahaan taksi. Namun, dengan sistem perusahan dan kemudahan yang cukup mewah saat itu, taksi masih tergolong mahal untuk kebanyakan orang. Sekarang, teknologi semakin maju. Kita bisa memesan taksi melalui aplikasi dan bisa memantau pergerakan taksi yang kita pesan. Teknologi juga bisa memangkas berbagai biaya yang dulu tidak bisa dihindari. Hasilnya adalah transportasi daring yang jauh lebih murah dari taksi konvensional.

Sistem yang baru secara tertulis memperlakukan pengemudi taksi online ini (ojek motor ataupun mobil) sebagai mitra perusahaan transportasi. Artinya, sistem biaya-biaya dan keuntungan termasuk ke dalam sistem bagi hasil. Biaya bensin, perawatan kendaraan, pajak kendaraan, uang makan, risiko pengemudi di jalan, asuransi kesehatan, dan berbagai kebutuhan pengemudi lainnya ditanggung pengemudi. Biaya aplikasi, marketing, promosi, kantor, dan lain-lain sisanya ditanggung oleh perusahaan transportasi. Keuntungan pun dibagi sebagian untuk perusahaan, sebagian untuk mitra pengemudi.

Terlihat adil, bukan?

Namun, alih-alih sebagai mitra, yang dialami sehari-hari pengemudi lebih mirip seperti buruh alih daya. Pengemudi sudah tidak mendapat kepastian tunjangan pekerja, jaminan kesehatan, kontrak bisa diputus kapan saja, juga hasil bagi keuntungan yang semakin sedikit sebagai konsekuensi gig economy.

Perusahaan tentu berlomba-lomba untuk menurunkan tarif agar menarik konsumen. Konsekuensinya, bagi hasil antara perusahaan dan mitra pun semakin sedikit. Bagi hasil yang semakin sedikit tentu tidak merugikan perusahaan asal kuantitas pengguna lebih banyak. Tapi, tidak bagi mitra itu sendiri. Tarifnya yang semakin murah memaksa mitra pengemudi menambah jam kerja setiap harinya.

Selain itu, serupa dengan pekerja lepas di website freelance, jumlah mitra pengemudi yang semakin banyak setiap harinya menambah jauh kerugian di pihak pengemudi. Konsumen tidak perlu menunggu lama pesanan taksinya karena banyaknya jumlah pengemudi. Perusahaan pun diuntungkan dengan turnover pesanan (order) yang lebih cepat.

Di sisi pengemudi, mereka harus bersaing dengan sesama rekan mitra. Banyaknya mitra pengemudi, melambatkan turnover di masing-masing pengemudi. Tidak sedikit pengemudi yang menghabiskan waktu 12–18 jam setiap harinya tanpa biaya lembur. Padahal sebelum bertambahnya jumlah pengemudi, jumlah uang yang sama bisa dibawa ke rumah tanpa perlu “lembur” selama itu.

Pekerja lepas sering lembur tanpa upah tambahan termasuk insentif seperti THR.

Saat memilih kerja jarak jauh, ruang-ruang transisi itu tidak benar-benar hilang. Pengemudi transportasi daring, kurir, dan berbagai pekerja lepas lainnya menjadi pengisi alternatif ruang transisi ini. Biaya yang tadinya ditanggung konsumen saat melakukan perpindahan tempat menjadi tanggungan para pekerja ini.

Kompensasi Ruang Transisi

Menariknya, konsumen yang memanfaatkan jasa pekerja di gig economy ini biasanya adalah salah satu pekerjanya juga. Seperti pekerja lepas yang setiap hari memesan food delivery karena minim waktu luang. Pekerjaan memang bisa dikerjakan dari jauh, tetapi waktu untuk mengerjakan tetap sama atau lebih banyak. Kita dituntut untuk bekerja lebih banyak karena konsekuensi upah murah dari murahnya biaya untuk menyelesaikan satu pekerjaan.

Kurangnya pendapatan membuat kita mengambil pilihan yang lebih murah. Memanfaatkan jasa-jasa pekerja kontrak pendek, memilih jasa delivery yang menawarkan tarif lebih murah, transportasi yang lebih murah, dan kurir yang juga lebih murah.

Sementara, pekerjaan yang berkaitan erat dengan teknologi juga memaksa kita untuk membeli gadget yang canggih, komputer yang lebih mahal, internet yang lebih cepat, atau kuota yang lebih banyak. Tukang ojek sudah tidak bisa lagi menggunakan ponsel biasa, perlu smartphone yang bisa menggunakan aplikasi ojek online. Pengusaha UMKM perlu untuk terhubung dengan online marketplace-nya. Desainer dan ilustrator perlu komputer belasan juta karena dituntut performa yang lebih baik.

Sementara itu, teknologi menjadi semakin cepat. Kadang, smartphone kita belum rusak sama sekali, tapi sudah tidak “berfungsi baik” karena aplikasi terbaru memerlukan ponsel yang spesifikasinya lebih tinggi. Hal ini membuat kita merasa perlu membeli produk terbaru yang tetap saja akhirnya ketinggalan zaman.

Ruang alternatif ini memberi kita cara hidup yang baru. Pekerjaan dilakukan secara remote, makanan diperoleh melalui layanan pesan antar, dan barang-barang serta dokumen diantarkan oleh kurir. Bahkan, kegiatan personal pun mulai dilakukan secara nonfisik, seperti berkabar dengan keluarga di luar kota melalui WhatsApp, pacaran via Skype, atau nonton bareng pakai aplikasi Rabbit.

Biaya-biaya yang kita keluarkan menjadi semakin murah. Tidak hanya karena teknologi mengonversi kegiatan ke bentuk digital, tapi juga karena sebagian biaya ditanggung oleh pekerja-pekerja yang menjadi bagian dari gig economy.

Dulu, ruang-ruang fisik yang dibutuhkan tidak tersedia di sekitar kita sehingga kita perlu melakukan transportasi. Lalu, ruang-ruang tersebut menjadi terlalu “jauh” sehingga kita pun menciptakan ruang-ruang alternatif dengan teknologi yang ada. Tapi, saat nanti ruang-ruang alternatif itu pun terlalu mahal, ruang seperti apa yang harus kita buat untuk memenuhi kehidupan kita sebagai manusia?

--

--