Transport Poverty: Pergerakan yang Memiskinkan

Kolektif Agora
Kolektif Agora
Published in
5 min readJan 24, 2018

Oleh: Fahdiana Liestya Pratiwi

Foto oleh Sangkara Nararya

Sekitar dua bulan lalu, saya menggunakan bus Transjakarta menuju rumah bersama ibu saya. Saat itu Sabtu sore, kondisi bus cukup penuh. Tak berapa lama setelah saya memasuki bus jurusan Pinang Ranti, seorang ibu paruh baya (dalam tulisan ini saya menyebutnya Ibu Y) menggendong anaknya masuk ke dalam bus dan duduk di samping ibu saya.

Selama perjalanan, Ibu Y bercerita tentang perjalanannya setiap hari menggunakan Transjakarta. Sehari-hari, Ibu Y berangkat jam 4 pagi untuk mengantar anaknya yang mengalami kelainan jantung ke RS Harapan Kita. Waktu subuh belum tiba, ia sudah berjalan kaki keluar rumah dan berkali-kali berganti angkot untuk sampai ke Terminal Pinang Ranti.

Transport Poverty

Dalam perencanaan transportasi, contoh Ibu Y bisa disebut sebagai transport poverty (kemiskinan transportasi), yakni kondisi yang membuat Ibu Y memiliki keterbatasan untuk mengakses fasilitas transportasi. Dalam risetnya, Lucas et.al (2016) menjabarkan transport poverty ke dalam empat faktor, yakni transport affordability, mobility poverty, accessibility poverty, dan exposure to transport externalities. Empat faktor ini menjadi parameter masalah sosial yang ditimbulkan dari minimnya sistem transportasi. Jika tidak ada perencanaan yang terintegrasi, transport poverty ini akan menghasilkan social exclusion, di mana kaum marginal seperti Ibu Y mengalami keterbatasan mobilitas sehingga tidak bisa mengakses berbagai fasilitas dan tereksklusi dari proses perencanaan dan pembangunan.

Secara lebih detail, konsep transport poverty dapat digambarkan pada kasus Ibu Y oleh tiap-tiap indikatornya. Pertama, pada indikator affordability (keterjangkauan), Lucas et.al (2016) merujuk affordability pada pengeluaran transportasi relatif terhadap pendapatan. Pada konteks ini, Ibu Y tidak bisa menjangkau biaya transportasi perjalanan ke rumah sakit. Mengacu pada penuturan beliau, ia harus menggunakan dua angkot berbeda dan sekali Transjakarta, sehingga satu kali trip bisa menghabiskan biaya Rp11.500,00. Jika Ibu Y membawa anaknya, maka biaya yang dihabiskan menjadi dua kali lipat. Oleh karena itu, biaya transportasi sebulan mencapai 50% pendapatan (jika diasumsikan penghasilan sebagai tukang cuci sekitar 1 juta rupiah). Besarnya persentase biaya transportasi tersebut menjadikan Ibu Y tidak hanya sulit untuk mengakses fasilitas kesehatan, tetapi juga menambah beban ekonominya.

Selanjutnya, pada kategori mobility poverty, dalam arti sempit, mobility (mobilitas) berarti perpindahan dari titik asal ke titik tujuan. Kembali ke kasus Ibu Y, adanya transportasi publik memudahkan ia untuk berangkat dari rumahnya di Bekasi menuju rumah sakit di Jakarta Barat. Walaupun berhasil melakukan perjalanan, pertanyaan selanjutnya muncul: apakah perjalanan tersebut efisien dari segi durasi perjalanan, jarak, dan biaya?

Pertanyaan yang muncul dari inefisiensi mobilitas dapat dijelaskan pada konsep accessibility (aksesibilitas). Geurs dan Van Wee (2004) mendefinisikan akesibilitas sebagai kemampuan masyarakat untuk mengakses aktivitas yang ditawarkan oleh beragam guna lahan dengan difasilitasi oleh jaringan transportasi. Implementasi indikator ini sayangnya memperlihatkan aksesibilitas yang tidak terintegrasi. Letak rumah sakit yang berada di barat Jakarta tidak bisa sepenuhnya difasilitasi oleh sistem transportasi Jakarta. Moda Bus Rapid Transit (BRT) eksisting hanya melayani sampai terminal di timur Jakarta. Sedangkan, moda pengangkut dari kantung perumahan sampai ke terminal bus Transjakarta terdekat kurang efisien dan efektif, sebagaimana sistem angkot yang kita kenal sekarang. Hasil analisis kasar ini serupa dengan beberapa hasil penelitian mengenai aksesibilitas BRT di negara-negara berkembang (Jaramillo et.al, 2012; Delmelle dan Casas, 2012) yang menyatakan bahwa sistem BRT hanya menjangkau kawasan pusat kota dengan mayoritas penduduk menengah ke atas. Sedangkan, kebanyakan kaum marjinal masih memiliki akses yang minim.

Parameter terakhir yaitu eksternalitas, merujuk pada dampak negatif yang ditimbulkan oleh aktivitas transportasi, dapat berupa kecelakaan lalu lintas maupun polusi. Dampak negatif ini umumnya lebih dirasakan oleh kelas menengah ke bawah. Kaum kelas menengah ke atas umumnya jarang berjalan kaki, bersepeda, maupun menunggu transportasi publik, sehingga tidak terlalu terpapar oleh polusi dari kendaraan (Starkey & Hine, 2014). Hal ini menunjukkan Ibu Y rentan terhadap polusi yang ditimbulkan oleh tingginya lalu lintas. Jika sehari-hari ia menghabiskan waktu di jalan menunggu angkot, maka paparan terhadap polusi akan semakin besar.

Paradigma Perencanaan Transportasi Kawasan Perkotaan

Konsep transport poverty pada kasus Ibu Y memperlihatkan bahwa transportasi lekat dengan isu-isu sosial. Namun pada implementasinya, pendekatan sosial belum sepenuhnya diintegrasikan ke dalam perencanaan transportasi. Saat ini, di Indonesia sendiri, pembangunan sistem transportasi khususnya di perkotaan masih mengandalkan konsep ‘predict and provide’. Tingginya jumlah bangkitan kemudian diartikan sebagai pembangunan jalan baru, khususnya di kota-kota besar. Sebagai contoh, pembangunan jalan tol melayang Cikampek, yang menurut hemat saya tidaklah penting. Pembangunan LRT yang mengikuti rute Tol Cikampek tidak dimaksimalkan sebagai solusi untuk mengubah perilaku ketergantungan pada kendaraan pribadi.

Nyatanya, pendekatan predict and provide tidak memberikan solusi yang signifikan. Asumsi bahwa menambah supply kapasitas jalan atau membangun jalan baru dapat mengurai kemacetan malah memungkinkan adanya tambahan demand di masa depan, atau disebut dengan induced demand. Mengutip dari Citymetric.com (2015), temuan dari kondisi lalu lintas di Spanyol dan Amerika menunjukan penambahan kapasitas jalan hanya berdampak kecil atau bahkan sama sekali tidak mengurangi kepadatan jalan.

Lantas, bagaimana seharusnya pembangunan transportasi yang optimal untuk menciptakan social inclusion khususnya pada kawasan perkotaan?

Menurut hemat saya, sudah seharusnya isu sosial dimasukkan ke dalam perencanaan transportasi. Sistem perencanaan transportasi tradisional yang menekankan pada demand forecasting and modelling memang dapat membantu memberikan gambaran umum untuk identifikasi masalah transportasi. Namun, untuk konteks masalah yang lebih besar, diperlukan pendekatan yang lebih holistik dan komprehensif. Transport poverty menjadi pendekatan alternatif yang membantu pemangku kebijakan melihat masalah transportasi secara multidimensi. Masalah transportasi tidak hanya sekedar tingginya demand, tetapi bagaimana membuat masyarakat dapat melakukan aktivitas sosial-ekonomi. Oleh karena itu, perubahan sistem perencanaan transportasi dari ‘predict and provide’ menuju ‘people-focused and needs-based perspective’ sangat dibutuhkan (Lucas, 2012).

Empat parameter dalam transport poverty mengintegrasikan unsur teknis, sosial, dan guna lahan dalam perencanaan transportasi. Ketiganya menjadikan isu transportasi tidak bisa lagi dilihat dalam satu kacamata sistem transportasi, tapi beririsan dengan guna lahan maupun perencanaan kota dalam konteks yang lebih makro. Integrasi antara guna lahan dan transportasi dapat dilakukan dengan tidak merencanakannya secara parsial. Setiap perencanaan peruntukan guna lahan harus dihubungkan dengan sistem transportasi yang baik, dalam hal ini transportasi publik, sehingga disparitas aksesibilitas seperti yang dialami oleh Ibu Y dapat diminimalisasi.

Dua strategi yang telah dijelaskan di atas nantinya perlu didukung dengan komitmen dari setiap pemangku kepentingan perencanaan untuk mencapai inklusi sosial. Karena pada akhirnya mobilitas merupakan tumpuan aktivitas ekonomi dan sosial, memutusnya sama artinya dengan menjauhkan salah satu hak manusia. Mengutip Delbosc dan Currie (2011),

“The ability to travel is a basic need, allowing access and the creation of social networks, and can be considered one of the basic rights of a democratic society.”

Referensi

  • Citymetric.com. (2015). Does building more roads create more traffic? | CityMetric. [online] Available at: https://www.citymetric.com/transport/does-building-more-roads-create-more-traffic-934 [Accessed 15 Jan. 2018].
  • Delbosc, A. and Currie, G. (2011). The spatial context of transport disadvantage, social exclusion and well-being. Journal of Transport Geography, 19(6), pp.1130–1137.
  • Delmelle, E. and Casas, I. (2012). Evaluating the spatial equity of bus rapid transit-based accessibility patterns in a developing country: The case of Cali, Colombia. Transport Policy, 20, pp.36–46.
  • Jaramillo, C., Lizárraga, C. and Grindlay, A. (2012). Spatial disparity in transport social needs and public transport provision in Santiago de Cali (Colombia). Journal of Transport Geography, 24, pp.340–357.
  • Lucas, K. (2012). Transport and social exclusion: Where are we now?. Transport Policy, 20, pp.105–113.
  • Lucas, K., Mattioli, G., Verlinghieri, E. and Guzman, A. (2016). Transport poverty and its adverse social consequences. Proceedings of the Institution of Civil Engineers — Transport, 169(6), pp.353–365.
  • Starkey, P., Hine, J. (2104). How transport affects poor people with policy implications for poverty reduction; A Literature Review.

Fahdiana Liestya Pratiwi
pratiwitya@gmail.com

--

--