Esai / Warga

Tutup Lapak, Buka Nestapa

Ekonomi Informal di Ruang Publik saat Pandemi

Naufal R. Indriansyah
Kolektif Agora
Published in
8 min readMay 19, 2020

--

Foto oleh Dinda Primazeira, 2017.

Saya rindu jajan di pinggir jalan. Betapa mudahnya hidup sebelum ini, kalau lapar atau mulut sekadar gatal ingin mengunyah, gerobak batagor begitu mudah untuk dijangkau. Kalau mengantuk, starling (“Starbucks” keliling) adalah penyelamat.

Sebenarnya, berada di rumah seperti sekarang tidak ada salahnya. Bahan pangan sudah ditimbun, kalau lapar tinggal dimasak. Kopi saset juga selalu siap diseduh.

Mungkin, bukan hanya “beli” yang didamba. Tak bisa menyapa dan melihat mereka — para pedagang kaki lima (PKL) — bekerja juga jadi gelebah. Berada di luar, nongkrong di trotoar sambil merokok, menyantap gorengan, dan menyeruput kopi; aduhai, betapa bahagia bisa diraih dengan sederhana sebelum ini.

PKL dan pelanggannya memang kerap mengisi kekosongan ruang publik (dan perut pengunjungnya), menghadiahkan suasana yang tidak bisa kita dapatkan di rumah, tempat kerja, pusat perbelanjaan, atau restoran. Di masa pandemi ini, manifestasi kultur dan ritme urban kelas menengah ke bawah itu yang rasanya tengah hilang (atau berpindah ke rumah dan ruang privat masing-masing).

Sambil mengiringi kerinduan, menarik tampaknya untuk “berkonspirasi” tentang nasib ruang publik dan PKL kita ke depannya. Sebagai prasyarat, kita coba telusuri dahulu konteks “informal” yang sering mendampingi PKL, kondisi ruang publik dan PKL saat ini, dan apa yang bisa ditempuh untuk menyelamatkan ruang publik pascapandemi.

Sekelebat “Informal”

Di Indonesia, secara hukum, PKL diatur dalam peraturan daerah masing-masing. Contohnya, di Jakarta, ada Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (“Perda DKI 8/2007”) yang salah satunya mengatur tentang definisi PKL:

“…seseorang yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan jasa yang menempati tempat-tempat prasarana kota dan fasilitas umum baik yang mendapat izin dari pemerintah daerah maupun yang tidak mendapat izin pemerintah daerah seperti badan jalan, trotoar, saluran air, jalur hijau, taman, bawah jembatan, jembatan penyeberangan dan lain sebagainya”

Berdasarkan Sensus Ekonomi yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2016, dari 26,7 juta usaha nonpertanian di Indonesia, 70,8 persen di antaranya adalah usaha yang tidak menempati bangunan. Dalam konteks dualitas sektor formal-informal, pada Februari 2019 lalu, tercatat penduduk berusia 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor tersebut berjumlah 74 juta jiwa, sementara yang bekerja di sektor formal berada di angka 55,3 juta jiwa.

Meski sudah diperhitungkan dalam peraturan daerah dan statistik, keeratannya dengan istilah “informal” membuat PKL mudah mengalami stigma berantakan, tidak sehat, kotor, ilegal, dan tidak teratur. Di arena perencanaan kota yang bersifat formal dan mengedepankan regulasi semua kegiatan, PKL — meski jelas-jelas tampak dan menghidupi kota — adalah benda asing, by-product dari proses pembangunan dan usaha memperindah lanskap urban.

Dalam introduksi buku “Street Vending in the Neoliberal City”, Kristina Graaf dan Noa Ha (2015) menanggapi label “informal” yang disematkan pada PKL dengan berargumen kalau lebih tepat memandang perdagangan jalanan sebagai praktik yang terinformalisasi. Karena harus bernegosiasi dengan usaha-usaha formalisasi pemerintah, PKL terpaksa bernavigasi dan terombang-ambing antara mematuhi atau melanggar peraturan-peraturan resmi.

Hal tersebut sejalan dengan pandangan Ananya Roy (2005) yang menyatakan bahwa informalitas lebih tepat dipandang sebagai “moda urbanisasi”. Maksudnya, alih-alih terjebak dalam dualisasi (sektor) formal-informal, Roy memahami informalitas sebagai seri-seri transaksi yang menghubungkan ekonomi dan ruang yang berbeda antara satu dan yang lainnya. Ia adalah sebuah sistem norma-norma yang mengatur proses transformasi urban itu sendiri.

Kebijakan neoliberal yang berkutat pada komodifikasi, turistifikasi, dan privatisasi ruang kota juga berpengaruh besar terhadap dinamika perdagangan kaki lima. Ruang publik menjadi komoditas (Harvey, 2006), membuat mekanisme pengawasan dan kontrol terhadap segala aktivitas di dalamnya menjadi semakin intensif. Di satu sisi, PKL masih bergantung besar terhadap taman, trotoar, atau jalan.

Ruang Publik: Polemik dan Alternatifnya

Tak hanya di Indonesia, pedagang kaki lima di berbagai penjuru dunia, utamanya di belahan selatan, perlahan tengah tercerabut dari ruang publik kota (WIEGO, 2020). Penyebabnya tentu adalah intervensi kesehatan publik yang diambil oleh pemerintah pusat dan daerah.

Anjuran (atau paksaan) physical distancing membuat semakin sedikit orang berkegiatan di luar rumah, yang juga mengakibatkan tingkat penjualan PKL terjun bebas. Di beberapa daerah, jadwal berdagang dibatasi. Aparat pemerintah juga semakin gencar melakukan penertiban terhadap PKL yang melanggar peraturan pembatasan kegiatan masyarakat.

Di masa pandemi ini, kontrol pemerintah terhadap ruang publik semakin kuat. Segala instrumen dikerahkan, baik yang sifatnya sekadar himbauan, teguran tertulis, sampai pidana. Hal ini membuat PKL tidak punya pilihan selain menghentikan kegiatan berdagang atau mencari sumber pendapatan lain yang lebih “aman”.

Hal tersebut semakin menekan kita — tidak hanya PKL — untuk berbudaya isolasi. Ruang privat semakin (harus) dihargai, dan dalam sekejap mata, kita jadi manusia impulsif. Hari ini beli meja kerja baru, besoknya beli tumbuhan indoor, alat pembuat kopi, buku, dan lain sebagainya yang membuat kita semakin nyaman di rumah.

Namun, tak semua punya sumber daya untuk merekonstruksi ruang privat yang “sempurna”. Bahkan, sebelum memikirkan soal ketimpangan dalam mencipta tempat tinggal yang sehat, bersih, dan estetis, cara kita memandang ruang publik dan privat pun sudah berbeda.

Tak sama dengan karyawan kantor atau pekerja domestik yang mungkin banyak menghabiskan waktu dan tenaga di rumah atau kantor, PKL merebut harinya di jalanan. Hal ini membuahkan paradoks dalam mendiami sepetak jalan, trotoar, atau taman — bahwa terlepas dari sifatnya yang umum (dan di mana keteraturan harus dijaga), entah disadari atau tidak, ruang publik bagi PKL bisa “diprivatisasi” secara spasial dan temporal. Tentunya, saat ketimpangan okupansi ruang secara brutal dilanggengkan lewat peraturan dan transaksi informal tingkat tinggi, hal tersebut terhitung kecil dan selayaknya dipandang sebagai taktik bernavigasi dan bertahan hidup di kota.

Tempat di mana uang bersirkulasi dan kehidupan dimaknai itu, hari ini, (mudah-mudahan hanya untuk sebentar lagi) sedang lenyap. Pandemi membuat instrumen kontrol negara terhadap ruang publik lebih leluasa digencarkan. Meski terlihat kosong, dalam rangka menurunkan angka penularan dan tingkat kematian akibat COVID-19, ruang-ruang tersebut kini sedang direbut kembali dan dilegitimasi ulang oleh pemerintah.

Tentu banyak asumsi yang bisa dimunculkan dalam memikirkan apa jadinya nasib taman, trotoar, dan jalan sehabis wabah berakhir. Yang jelas, bagi PKL, menduduki ruang publik tak akan semudah dulu.

Tapi, apakah ruang publik selalu tentang yang fisik?

Saat semua hal dikerjakan di rumah, terlebih pada masa pandemi ini, pola konsumsi kita pun berubah. Hampir semua jenis barang dan jasa bisa diakses lewat aplikasi digital, termasuk makanan dan bahan pokok. Layanan pesan-antar semakin mudah, dan semakin banyak pula pengusaha besar dan kecil yang memanfaatkan hal ini untuk mendulang pemasukan (atau hanya untuk bertahan hidup).

Tingginya penggunaan media sosial dan pasar daring di Indonesia memberi sinyal bahwa bagi sebagian besar masyarakat, hidup tak lagi soal tatap muka. Ekspresi politik , kultur kolektif, dan — dalam konteks tulisan ini — kegiatan jual-beli yang menjadi ciri ruang publik semestinya, perlahan bisa dijumpai dengan mudah di layar gawai (Papacharissi, 2017).

Sialnya, segala hal tersebut sangat tergantung dengan ketersediaan infrastruktur pendukung dan apakah akses kita terhadapnya bisa menyanggupi kebutuhan akan ruang publik. Masalahnya, tak semua punya gawai dan tak semuanya pula bisa menggunakan internet.

Bisa Apa Sekarang?

Dengan karakter “informalitas” yang berbeda-beda di tiap daerah, bahkan di tiap lokasi, pemerintah daerah harusnya mampu mengkaji dan memenuhi hak-hak dasar pekerja informal, terutama PKL, di masa pagebluk ini. Setiap intervensi kesehatan publik yang dilaksanakan harus mampu memperhatikan dampak-dampak turunannya (WIEGO, 2020), seperti

  • physical distancing yang sulit dilakukan bagi yang tinggal di kawasan padat penduduk;
  • keterbatasan akses terhadap informasi tentang COVID-19 dan kerawanan menjadi korban misinformasi;
  • kesulitan menjangkau air bersih dan sabun untuk cuci tangan;
  • kurangnya akses terhadap alat pelindung diri (APD) bagi yang tetap harus bekerja;
  • kesulitan melakukan stockpiling bahan pokok;
  • ancaman kesehatan mental karena ketidakpastian ekonomi;
  • tingginya kemungkinan menjadi korban kekerasan domestik, terutama bagi perempuan;
  • ditertibkan oleh aparat penegak hukum saat masih bekerja, seperti disita barang dagangannya, ditangkap dan dipidana, didenda, atau bahkan menjadi korban kekerasan fisik;
  • kesulitan mengambil gaji kepada pemberi kerja di tengah pembatasan aktivitas di luar rumah dan juga dalam mengakses layanan pembayaran (gaji) secara digital; dan
  • ancaman kehilangan pendapatan dan rumah, serta kemungkinan menjadi target kekerasan masyarakat saat kembali ke kampung halaman.

Terkait interaksi PKL dan ruang publik, dalam konteks intervensi terhadap PKL yang masih bekerja, penting untuk memperhatikan poin tentang APD dan juga penertiban oleh aparat. Jika memang melakukan intervensi secara “longgar” (membolehkan kegiatan terbatas di luar rumah), mendistribusikan APD dan melakukan penertiban (jika ada yang melanggar peraturan) secara humanis, proporsional, dan tidak memberatkan, mempertimbangkan kondisi yang sedang sulit seperti sekarang ini adalah hal krusial.

Selain itu, banyak cara-cara lain yang bisa ditempuh. Di Salatiga, contohnya, pemerintah mengatur jarak minimal antara satu pedagang pasar dan yang lainnya. Hal yang sama juga berlaku saat pembeli bertransaksi dengan pedagang.

Sumber: VOA Indonesia, 2020.

Dalam kebijakan yang lebih “ketat” (membatasi kegiatan di luar rumah), penting untuk memperhatikan poin-poin lainnya, terutama jaring pengaman ekonomi-sosial yang tepat guna dan mekanisme pendukung lain. Intinya, saat intervensi kesehatan publik semakin ketat dan membatasi kegiatan ekonomi di skenario normal, maka konsekuensinya (di luar dampak langsung pandemi, yakni penularan dan akses terhadap bantuan kesehatan) juga semakin buruk bagi para PKL, dan semua hal itu harus bisa dicegah.

Menuju Ruang Publik dan Ekonomi Informal yang Sehat?

Sebelum pandemi, perdebatan tentang ruang publik dihiasi oleh apa yang harusnya ada dan tidak ada, yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Hal yang sama tentunya semakin teramplifikasi hari ini. Banyak yang dipertaruhkan untuk meredefinisi dan merancang ulang ruang publik yang “sehat” — setidaknya, dalam artian sempit mencegah transmisi penyakit yang mudah menular. Taman, jalur pejalan kaki, dan jalan pun kian diandalkan sebagai solusi dari remuknya kesehatan fisik dan mental warga kota yang kian terkungkung di rumah saat ini.

Namun, kita tetap harus berhati-hati dalam mempelajari dan mengampanyekan hal tersebut. Pasalnya, kembali pada bagaimana informalitas mendominasi proses urbanisasi, PKL telah menjelma menjadi sesuatu yang sulit dilepaskan dari ruang publik dan telah berperan begitu besar bagi banyak warga kota lainnya.

Di antara banyaknya pilihan dan terbatasnya sumber daya, bagi kita dan pemerintah, salah tindak dapat berakibat fatal bagi ruang publik yang kita kenal sebelum wabah ini menyerang. Sterilisasi ruang publik jelas merenggut kesempatan ekonomi PKL dan juga masyarakat yang masih bergantung terhadapnya, apalagi tanpa kebijakan yang bisa menyokong hilangnya pekerjaan. Di satu sisi, tentu semua ingin meratakan kurva, berusaha dan berharap kesulitan ini mereda.

Dengan semakin ramainya transisi ke dunia maya, beberapa dari kita mungkin masih bisa bersukacita. Namun, dalam perjalanannya, barang tentu banyak juga yang tersisihkan, tanpa tahu harus berbuat apa dan mengadu ke siapa. Di sisi lain, tak ada salahnya memanfaatkan teknologi yang ada hari ini untuk mengakomodasi kegiatan ekonomi yang terancam punah, baik sebagai sarana transaksi atau sebagai wadah membagi kekayaan.

Masih ada jalan tengah, masih banyak yang bisa dituntut, masih ada rasa rindu akan ritme urban yang tidak kaku — yang tentunya dipenuhi oleh batagor, cilok, kopi saset, mainan, es doger, nasi kuning, dan lainnya.

Setidaknya, saya sendiri tidak ingin kerinduan itu dibalas dengan kehampaan nantinya.

--

--

Naufal R. Indriansyah
Kolektif Agora

Managing Editor at Kolektif Agora | Writing about (Indonesian) cities, urbanization, informality, politics, and everything in between