Editorial
Unjuk Rasa dalam Kepala
Membahasakan Lapisan Realita: Dari Bayi Sampai Kota
Kalau boleh dinominasikan, makhluk yang mengandung kontradiksi terbesar dalam dirinya, selain politisi, adalah bayi.
Mereka betul-betul absurd: satu waktu mereka buang air di lantai, lain waktu mereka kunyah tangan sendiri. Bayi begitu menjengkelkan dan terang-terangan mengganggu ketertiban umum, tapi menyenangkan dan konyol.
Kebanyakan manusia nonbayi akan sepakat bahwa ketika melihat bayi — entah ketika buang air atau ngempeng — mereka akan merasakan perasaan yang sama: gemas.
Jengkel-jengkel Cinta
gemas /ge·mas/ (2) sangat suka (cinta) bercampur jengkel; jengkel-jengkel (cinta)
Yang menarik dari pemaknaan ini adalah bagaimana kata “gemas” mampu merepresentasikan perasaan yang sama absurdnya dengan bayi itu sendiri.
Jengkel dan cinta memiliki muatan makna yang juga kontradiktif: sebuah sentimen negatif terhadap sesuatu, diiringi dengan afeksi terhadap sesuatu itu sendiri. Tapi, toh, itulah hebatnya bayi.
Jika Anda hendak membagikan “kegemasan” Anda akan bayi kepada seorang kawan, tipikal kawula Indonesia modern cukup berkata, “Gemes banget!”
Namun, jika kata “gemas” tidak ada di dunia ini, paling banter Anda hanya bisa mengatupkan gigi sambil mengepalkan tangan dan sedikit goyang-goyang. Anda juga bisa pilih beberapa sinonim katanya: “Ih, geregetan banget!” atau “Wah, dongkol betul!”
Tidak, cuma gemas yang bisa.
Bahasa Sebagai Alat Tukar
Ludwig Wittgenstein, seorang filsuf Austria yang berkutat dengan bahasa, menjelaskan bahwa bahasa bekerja dengan memicu gambaran dalam kepala kita akan dunia nyata.
Ketika ada yang mengatakan “kopi tumpah”, bahasa memungkinkan kepala kita memunculkan gambaran cairan hitam yang menggenang di atas meja dengan gelas terguling di dekatnya.
Tidak hanya terhadap objek dan fenomena fisik, bahasa memungkinkan kita menyampaikan suatu konsep yang kompleks kepada orang lain dengan mudah — seperti “gemas”, atau “demagogi”, atau “emanasi”.
Namun, bagaimana jika gambaran yang muncul dalam kepala penerima pesan berbeda dengan yang kita maksud? Bagaimana jika “gambar” yang hendak dimunculkan di kepala penerima pesan berbeda versi gambar, atau malah belum ada sebelumnya di kepalanya?
Gambaran apa yang akan muncul dari “kopi tumpah” jika orang yang mendengar sebelumnya tidak pernah melihat kopi, meja, gelas, atau memahami konsep tumpah itu sendiri?
Karena subjektivitas dari masing-masing alam pikiran, bahasa hanya jadi sebatas alat bantu yang sama sekali tidak dapat dipercaya untuk menyampaikan kebenaran dalam kepala manusia.
Tinta Merah dan Kuasa Bahasa
Dalam Mati Ketawa Cara Slavoj Zizek, Zizek melontarkan sebuah guyonan dari Republik Demokratik Jerman Timur:
… seorang buruh Jerman mendapat kerja di Siberia. Sadar bahwa semua surat bakal diperiksa sensor, ia memberi tahu kawan-kawannya: “… kalau surat dariku ditulis dengan tinta biru biasa, itu artinya benar; kalau ditulis dengan tinta merah, itu artinya bohong.” Lewat sebulan, kawan-kawannya menerima surat pertama dengan tinta biru: “Segalanya menakjubkan di sini: toko-toko penuh makanan berlimpah, … cewek cantik siap diajak kencan — satu-satunya yang tidak ada cuma tinta merah.”
Sebuah guyonan apik. Zizek menginterpretasikan lelucon tersebut sebagai ilustrasi akurat tentang masyarakat modern yang tidak mampu memahami kebenaran akan kenyataan diri dan lingkungannya. Ujarnya,
“… kita “merasa bebas” karena kita kekurangan bahasa untuk mengartikulasikan ketidakbebasan kita itu sendiri.”
Bahasa, sebagai sebuah cara untuk saling bertukar pikiran, dibentuk dan dipengaruhi oleh konteks kenyataan yang coba direpresentasikannya — oleh apa yang coba digambarkannya. Namun, itu juga berarti bahwa bahasa dapat memengaruhi kenyataan itu sendiri.
Sebuah “gambar” (objek/konsep/fenomena/perasaan) yang tidak dapat dibahasakan akan lebih sulit untuk dapat dikomunikasikan dari alam pikiran satu orang ke orang lain — sebagaimana Anda kesulitan menyampaikan kegemasan Anda jika kata “gemas” itu sendiri tidak ada.
Pikiran akan kehilangan pijakan pada alam kenyataan jika bahasa yang merepresentasikannya tidak ada.
George Orwell, dalam mahakarya distopianya 1984, menuturkan sebuah gambaran ekstrem pemerintahan totaliter yang menuntut kepatuhan absolut rakyatnya, tindakan sampai pikiran. Salah satu divisi di Kementerian Kebenaran, tempat bekerja sang protagonis, bertugas untuk mereduksi kosa kata bahasa yang ada dan terus mencetak ulang kamus yang kian menipis.
Alasannya? Supaya, pada suatu generasi kelak, tidak akan ada cukup kata yang dapat memungkinkan munculnya konsep perlawanan, bahkan di dalam kepala mereka.
Dalam konteks yang diperluas, ulasan ini tak hendak merujuk pada bahasa itu sendiri, melainkan pada ilmu pengetahuan yang dibawa oleh bahasa — seperti melalui teks, diktat, dongeng, buku, orasi, diskusi, media, internet, dll.
Premisnya sederhana: kapasitas wawasan dan daya pikir seseorang memengaruhi bagaimana ia memersepsikan kenyataan.
Dari Bahasa ke Pengetahuan Kota
Kota, sebagai personifikasi kompleksitas modern paling runyam, menjadi ruang terjadinya aktivitas dari 54% populasi dunia: dari pijat keseleo sampai logistik pangan, dari teknik tenaga nuklir sampai seni pahat keramik, dari jual-beli saham properti sampai bahasa pemrogaman.
Namun, tim dokter terbaik di dunia pun akan nihil mukjizat jika tak seorang pun paham mengelola rumah sakit. Begitu pula pengetahuan tentang kota itu sendiri menjadi penting demi menopang keberlangsungan seluruh fenomena di dalamnya.
Pengetahuan tentang kota memuat bukan hanya tetek-bengek ilmu perencanaan kota, melainkan setiap disiplin ilmu yang beririsan dengan ihwal yang terjadi di dan kepada kota. Lebih jauh dari itu, pengetahuan tentang kota mengandung pula kesadaran dan pemahaman akan hal yang ada di kota, seperti keadaan politik, kejadian atau konflik sosial, atau sekadar tahu tongkrongan baru.
Jika seseorang tak paham bahwa AC membuang panas ke luar ruang, ia akan dengan santai mengeluh bagaimana kota tambah panas dan justru ikut-ikutan memakai AC.
Jika seseorang tak paham tentang hirarki dan kapasitas jalan, ia akan tenang saja membangun kafe besar di jalan lingkungan dengan parkir yang meluber sampai ke tetangga.
Jika seseorang tak paham bahwa ada ratusan orang tercerabut paksa dari tempat tinggal dan lingkungannya, ia akan senang betul ketika dibuatkan taman baru di tepi sungai.
Berbagai ketidakpahaman tersebut menjadi mula dari pengerusakkan kecil yang terus dibiarkan terjadi secara kolektif dan menerus. Sehingga, menjadi sebuah kebutuhan tersendiri bagi kaum urban untuk memiliki ilmu pengetahuan kota yang cukup dalam menavigasi diri demi kehidupan perkotaan yang lebih baik. Atau setidaknya demi diri sendiri.
Literasi/Obliterasi
Penjelasan mengenai bahasa menjadi dasar argumentasi bahwa tanpa adanya ilmu pengetahuan tentang kota — sebagai perwujudan lanjut dari bahasa — persepsi seseorang terhadap kenyataan kota juga menjadi terbatas. Tanpa adanya pemahaman kolektif akan bagaimana menjalankan kota, kota itu sendiri tentu tidak mampu berjalan.
Artikel ini juga menjadi sebuah argumentasi serta pengingat bahwa usaha untuk melakukan literasi pengetahuan kota menjadi sama penting dengan kegiatan perkotaan itu sendiri.
Literasi bukan untuk sekadar baca dan tulis aksara, tetapi membaca lapisan kenyataan kota dan menuliskan kembali aksi berdasarkan pembacaan tersebut.
Literasi menjadi pertahanan diri dari pelenyapan pemahaman akan cara kerja kota — oleh sekelompok elite maupun sebab tak terlihat — untuk membatasi dan mempertahankan suatu tatanan kota tertentu. Literasi memunculkan baik bahasa maupun gambaran pengetahuan kota yang diperlukan untuk mengindera kenyataan kota yang sebenar-benarnya.
Literasi atas pengetahuan kota seharusnya mampu menerjemahkan wujud kegelisahan akan kota, sejelas dan semudah berujar “gemas”.
Tanpa cukup literasi, unjuk rasa dalam kepala pun bahkan tak mungkin.
Referensi
- Orwell, George. 1949. 1984. Yogyakarta: Penerbit Bentang.
- Wittgenstein, Ludwig. 1922. Tractatus Logico-Philosophicus. London & New York: Routledge.
- Zizek, Slavoj. 2014. Mati Ketawa Cara Slavoj Zizek. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.
Nayaka Angger,
17 Januari 2018
nayaka.angger@gmail.com