IDE / HALUAN

Upaya Mengarsipkan Kota

Di zaman serba digital di mana semua hal tersimpan, apakah kota-kota kita juga ikut terekam? Perlukah kita menulis catatan khusus untuk mengarsipkan kota?

Alvaryan Maulana
Kolektif Agora

--

Ilustrasi oleh Errizqi Dwi C.

Suatu hari saya mendapatkan pesan elektronik dari rekan kerja saya yang berisi pertanyaan mengenai referensi sejarah perkembangan kota di Indonesia. Terdapat dua cara untuk memahami pertanyaan tersebut:

  1. Bagaimana urbanisasi Indonesia secara keseluruhan dalam perspektif sebuah negara dari waktu ke waktu.
  2. Bagaimana proses perkembangan kota-kota di Indonesia secara spesifik di tiap-tiap lokasi dari waktu ke waktu.

Untuk interpertasi yang pertama jawabannya lebih mudah. Dokumen Bank Dunia, “Augment, Connect, Target: Realizing Indonesia’s Urban Potential” sudah berusaha menjawab pertanyaan tersebut. Tapi, saya pribadi merasa interpertasi pertama tersebut tidak semenarik itu. Pada akhirnya, yang bisa dilakukan untuk menjelaskan urbanisasi di Indonesia sebagai sebuah kesatuan, ya, angka-angka statistik saja, seperti proporsi jumlah penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan dan kontribusi wilayah perkotaan terhadap perekonomian.

Interpretasi yang kedua lebih menarik dan lebih seru bagi saya. Meski terdengar sederhana, sebenarnya tidak banyak yang membicarakan kota di Indonesia secara spesifik dan diakronis. Setidaknya, dari 98 kota administratif di Indonesia per tahun 2022, hanya sebagian kecil yang dokumentasi dan catatannya lengkap.

Lantas, apa saja dokumentasi dan catatan yang membahas perkotaan, atau sebuah kota, secara diakronis? Pertama, buku yang langsung muncul di pikiran saya adalah “Kota-Kota di Indonesia: Bunga Rampai” yang ditulis oleh Peter J.M. Nas. Sebenarnya, buku ini adalah kumpulan artikel yang pernah ditulis Nas mengenai kota-kota di Indonesia dengan berbagai tema dan sudut pandang. Isi bukunya kira-kira begini:

Daftar isi Kota-Kota di Indonesia: Bunga Rampai. Sumber: Dokumentasi Penulis, 2022.

Sayangnya, buku ini tidak sepenuhnya menjelaskan perkembangan kota-kota di Indonesia secara lengkap. Alih-alih, kita dapat menemukan gambaran yang terpenggal-penggal dalam buku ini. Saya pun tidak menemukan versinya yang lebih terbaru.

Abidin Koesno juga menulis beberapa buku yang mencoba merekam perkembangan kota-kota Indonesia sebagai akibat dari perubahan paradigma politik dan kekuasaan. Salah satunya adalah After the New Order: Space, Politics, and Jakarta” yang memberikan gambaran mengenai pergeseran kekuasaan di Indonesia dan implikasinya terhadap arsitektur kota, terutama di Jakarta.

Sampul buku “After the New Order: Space, Politics and Jakarta” oleh Abidin Kusno. Sumber: Routledge, 2023.

Opsi yang lebih baru adalah “Routledge Handbook of Urban Indonesia. Buku yang berisi beberapa artikel mengenai isu perkotaan di Indonesia ini berfokus pada praktik, inisiatif, dan inovasi perencanaan kota dalam menanggapi pesatnya urbanisasi di Indonesia. Para penulisnya memberikan bukti kuat tentang perkembangan perencanaan kota-kota di Indonesia dengan berbagai ukuran. Terdapat beberapa pembahasan mengenai kebijakan dan proyek khusus di beberapa kota di Indonesia, mulai dari metropolitan, kota besar, kota menengah, dan kota kecil di Indonesia.

Meski belum bisa mengakses semua artikelnya, dari daftar isi dan penjelasan di bab pengantar yang bisa diakses secara gratis, buku ini berusaha memberikan pandangan yang beragam tentang kondisi perkotaan di Indonesia. Berbagai topik yang disusun dalam lima tema utama: konteks perencanaan Indonesia; informalitas dan inklusi sosial; aspek desain, spasial, dan ekonomi; sisi kreaktif dan inovatif dalam perkotaan; serta isu lingkungan, keberlanjutan, dan ketahanan perkotaan.

Buku favorit saya tentu saja adalah “Paco-Paco Kota Padang” yang ditulis Freek Colombijn. Alasan paling sederhana tentu karena Kota Padang adalah tempat kelahiran saya — membaca penjelasan dan dokumentasi yang dikumpulkan Colombijn terasa seperti tamasya bagi saya pribadi. Alasan lain karena buku ini terasa seperti bagian tidak terpisahkan dari disertasi doktoral almarhum bapak saya, “Morfologi Kota Padang”, di mana beliau menggunakan perspektif arsitektur kota yang banyak membicarakan bentuk dan ruang.

Karena bias terhadap buku ini, saya kemudian kepikiran, apakah tidak ada buku-buku sejenis? Tentu saja sebenarnya ada di luar sana, baik yang sudah ditulis tapi belum saya temukan dan baca, maupun yang belum selesai dituliskan. Namun, dengan semangat untuk menuliskan buku, atau setidaknya dokumentasi seperti yang dilakukan Colombijn terhadap kota kelahiran saya, maka saya kira ada yang bisa dilakukan untuk membangun arsip yang lebih baik mengenai kota-kota dan perjalanan urbanisasi di Indonesia.

Pengarsipan dan Dokumentasi Kota

Pengarsipan sejarah dan perkembangan kota selama bertahun-tahun merupakan tugas penting yang membantu melestarikan memori kolektif dan identitas budaya kota tersebut. Pengarsipan memungkinkan kita untuk lebih memahami masa lalu dan bagaimana hal itu membentuk masa kini, dan juga dapat berfungsi sebagai sumber inspirasi dan kebanggaan bagi penduduk dan penghuni kotanya.

Ada banyak cara berbeda untuk mendekati pengarsipan sejarah kota. Salah satu cara yang umum adalah melalui penggunaan dokumen sejarah, seperti surat kabar, surat resmi, dan catatan pemerintah. Ini dapat memberikan wawasan berharga tentang peristiwa dan kepribadian yang telah membentuk kota selama bertahun-tahun. Saya membaca penjelasan Colombijn yang menguraikan pentingnya dokumen-dokumen tersebut dalam proses penyusunan buku Paco-Paco Kota Padang.

Dalam menulis buku tersebut Colmbijn memiliki beberapa kelompok sumber. Pertama, catatan dari para petugas pemerintah kolonial yang memiliki kewajiban untuk merekam dan melaporkan wilayah tugasnya kepada pemerintah pusat. Adanya pencatatan ini ternyata berguna pada kemudian hari untuk memahami perkembangan kota yang mengalami fase kolonial.

Sumber kedua berasal dari catatan perjalanan, penelitian, bahkan publikasi dari para peneliti yang memang punya ketertarikan untuk meneliti sebuah wilayah atau kota. Contohnya, ya, seperti saya memanfaatkan tulisan Colombijn ini untuk mengetahui sejarah perkembangan Kota Padang. Catatan jenis kedua ini biasanya fokus pada tema tertentu, misalnya ekonomi, politik, atau kondisi fisik saja. Tidak jarang juga, jenis catatan ini punya bias yang kuat. Ya, tidak masalah juga, asalkan tidak terjebak di dalamnya. Yang jelas, catatan seperti itu tetap dapat dimanfaatkan.

Selanjutnya, sumber ketiga adalah berita resmi statistik. Sebenarnya, sumber ini hampir mirip dengan catatan jenis pertama di era kolonial. Namun, menurut pemahaman saya, berita resmi statistik yang diterbitkan pasca-kemerdekaan ini tidak punya semangat pengarsipan. Meminjam kata-kata Colombijn, cita-citanya hanya sebatas kehumasan. Tapi, tidak masalah, toh angka-angka yang tersaji di sana masih bisa dianggap sebuah data yang resmi (meski tidak ada juga cara untuk mengkonfirmasinya).

Saya menemukan seri artikel “Riwayat Jalan di Kota Bandung” yang ditulis oleh Atep Kurnia mengenai penamaan ruas jalan yang ada di Kota Bandung dengan menggunakan catatan dan pemberitaan kehumasan di masa lalu. Apa yang dilakukan oleh Kang Atep Kurnia ini terlihat sepele, tapi merupakan sebuah pekerjaan yang punya makna mendalam.

Setidaknya, bagi saya yang pertama kali membaca seri artikel ini, muncul tiga pikiran. Pertama, saya jadi tahu alasan atau sejarah penamaan sebuah wilayah atau sebuah jalan. Kedua, saya jadi mengapresiasi sumber-sumber sejarah yang tercatat rapi. Lalu, ketiga, saya jadi sadar bahwa generasi sekarang juga punya hutang mengarsipkan dan mendokumentasikan kotanya untuk generasi yang akan datang.

Alternatif lain yang bisa menjadi inspirasi untuk mengarsipkan kota adalah Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada era Orde Baru. Saya berhasil menemukan Buku Sejarah Kota Padang dan Buku Kondisi Sosial Bandar Lampung yang mencatatkan beberapa informasi mengenai kota-kota tersebut. Jika ditelusuri lebih lanjut, ada beberapa judul buku lagi yang membahas sejarah kota-kota lain di Indonesia.

Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. Sumber: Dokumentasi Penulis, 2022.

Arsip Visual

Cara lain untuk mengarsipkan sejarah sebuah kota adalah dengan menggunakan foto-foto, baik lama maupun baru. Untuk metode ini, saya teringat foto-foto kampung halaman saya, Kota Padang, di tahun 90an yang diambil oleh almarhum bapak saya yang dicetak kemudian disambung-sambung menggunakan selotip bening (sayangnya, saya tidak sempat mengabadikan arsip foto-foto tersebut). Pendekatan semacam ini dapat membantu menggambarkan perubahan yang telah terjadi dari waktu ke waktu, serta dapat memberikan gambaran sekilas tentang kehidupan sehari-hari penduduk masa lalu.

Sebenarnya, perkembangan teknologi juga sudah memudahkan kerja-kerja seperti ini. Beberapa fotografer terkenal sering membagikan arsip pribadinya mengenai kota-kota dan lokasi-lokasi yang dulu pernah mereka kunjungi. Beberapa akun media sosial yang menggiati isu sejarah juga sering membagikan foto-foto jadul, meski tentu sebatas kota-kota kolonial yang arsipnya sengaja disusun oleh pemerintah kolonial Belanda.

Teknologi pemetaan seperti Google Maps juga sudah memberikan opsi untuk melihat perubahan citra satelit dan street view untuk beberapa tahun ke belakang. Arsip di tahun-tahun sebelum internet memang sangat terbatas, tapi pengarsipan untuk masa depan akan jauh lebih mudah. Mudah-mudahan, perusahaan besar seperti Google Maps masih menyediakan layanannya hingga tahun-tahun ke depan (mengingat semakin banyak layanan gratis beralih ke sistem berbayar).

Cara yang berikutnya adalah perekaman sejarah lisan, misalnya sejarah sebuah kota atau pemukiman. Dengan mengumpulkan dan melestarikan cerita dan kenangan dari penduduk lama, kita bisa mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang masa lalu kota dan pengalaman orang-orang yang pernah melewatinya.

Meski tidak berhubungan langsung dengan pengarsipan kota, penuturan lisan ini menjadi penyelamat masyarakat Pulau Simeuleu saat tsunami melanda pada tahun 2004 lalu. Pengetahuan tradisional mengenai gelombang air laut, yang dikenal sebagi smong secara lokal, telah menyelamatkan penduduk Pulau Simeuleu. Kisah yang diturunkan secara lisan ini dikenal sebagai Nafi-Nafi, salah satu budaya lokal masyarakat Simeulue berupa cerita yang berkisah tentang kejadian pada masa lalu.

Museum, Perpustakaan, dan Pengarsipan

Semua metode yang telah dijelaskan di atas saya kira masih ada dan masih banyak yang melakukan, meski secara terpisah-pisah, tercecer, dan sulit diakses. Salah satu cara untuk memastikan sejarah suatu kota terarsip dan terpelihara dengan baik adalah keberadaan sebuah ruang, bisa berbentuk museum, perpustakaan, atau gedung arsip sejarah lokal.

Singapore City Gallery sebagai contoh bangunan yang menampung arsip kota. Sumber: roots.gov.sg, diakses 2023.

Langkah berikutnya adalah menetapkan lembaga-lembaga yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan, melestarikan, dan menafsirkan bahan-bahan sejarah yang berkaitan dengan kota. Dengan begitu pula, lembaga ini dapat berfungsi sebagai sumber daya bagi para peneliti dan masyarakat umum untuk mengakses data-data penting yang dapat menunjang proses belajar dan penelitian.

Saya kira teknologi informasi dan era digital membuat pekerjaan mengarsipkan ini menjadi ambigu, seakan-akan pengarsipan adalah sekadar mengunggah data ke internet dan berharap akan tersimpan selamanya di sana. Internet hanya membantu satu hal: media penyimpanan, di mana belum tentu juga akan sepenuhnya aman.

Pekerjaan mengarsipkan kota secara lengkap dan diakronis perlu konsep yang matang dan jelas. Misalnya, dimulai dari menginventarisasi catatan atau dokumentasi yang tersedia mengenai sebuah kota secara spesifik. Saya kira penting untuk mengumpulkan yang sudah ada terlebih dahulu, karena proses ini saja sudah luar biasa sulit. Kalau sudah terkumpul, secara perlahan informasi dapat dijahit dan dikonfirmasi untuk mendapatkan cerita yang lebih utuh dan sahih.

Pekerjaan selanjutnya tentu memulai dokumentasi hari ini yang beberapa tahun kemudian akan menjadi sejarah. Jika catatan masa lalu sudah suram dan tidak mungkin didapatkan, maka setidaknya kita bisa mulai mencatat kondisi hari ini yang siapa tahu akan bermanfaat di masa depan.

Tidak usah muluk-muluk mau mengumpulkan dan membuat catatan tentang semua kota. Prioritaskan saja kota tempat tinggal masing-masing, atau minimal kampung halaman kita. Lebih baik lagi adalah jika kita bisa mendedikasikan diri untuk sebuah kota yang tidak ada hubungan personal apa-apa, tapi merasa perlu melakukannya karena tidak ada orang lain yang melakukan.

Buat saya pribadi, mengarsipkan sejarah sebuah kota lebih dari sekadar melestarikan masa lalu untuk kepentingannya sendiri. Proses ini adalah bagian dari upaya memahami identitas dan keunikan sebuah kota kota, peristiwa yang pernah terjadi, serta orang-orang yang telah membentuknya selama bertahun-tahun.

Dengan aktif melestarikan dan menafsirkan sejarah ini, kita dapat lebih memahami dan menghargai tempat yang kita sebut rumah. Setelah menyadari urgensinya dan kesulitannya, mungkin kita bisa bisa lebih tergerak untuk meninggalkan catatan atau dokumentasi yang baik untuk waktu dan generasi yang akan datang.

--

--