ESAI / HALUAN

Yang Belum Disepakati dalam Transportasi Bandung Raya

Alvaryan Maulana
Kolektif Agora
Published in
4 min readJun 3, 2022

--

Foto oleh Fiqry choerudin di Unsplash, 2021.

Ancaman ala preman yang dialami oleh Trans Metro Pasundan Koridor 3, Baleendah — BEC baru-baru ini merupakan contoh kasus di mana pengelolaan dan kehidupan perkotaan tidak akan pernah lepas dari dinamika politik perkotaan.

Sekilas, memang praktik premanisme yang merugikan dan meresahkan publik ini seperti masalah us and them yang hitam dan putih. Dalam logika umum, wajar saja ada sentimen buruk terhadap pihak yang menolak moda baru dengan pendekatan premanisme.

Dalam mengelola urusan publik di ruang yang tidak kosong, keberadaan preman atau pihak-pihak yang menggunakan pendekatan premanisme ini adalah realitas sehari-hari yang tidak dapat dihindarkan. Relasi dan transaksi antaraktor adalah kenyataan dalam mengelola yurisdiksi, atau dalam kasus ini, mengelola kota.

Benar bahwa transportasi yang baik, dapat diandalkan, dan juga ekonomis adalah faktor yang diidamkan dalam sebuah kota. Tidak mungkinlah ada pihak yang tidak ingin punya transportasi yang andal dan ekonomis. Tapi, mengelola kota dan urusan publik adalah urusan transaksi kepentingan yang tidak hitam putih. Jangan karena kita menilai tujuannya baik untuk kepentingan bersama, sebuah kebijakan akan bisa diimplementasikan begitu saja tanpa implikasi dan hambatan. Apalagi sampai memandang semua pihak-pihak yang menolak sebagai “penjahat”.

Bagi yang mempelajari (dan memahami) ilmu politik, penolakan tersebut adalah sebuah hal yang dapat dimengerti. Lumrah. Pisau bedah yang disediakan ilmu politik memberikan penggunanya alat untuk memahami relasi antaraktor dan kepentingan-kepentingan yang ada di dalamnya.

Sederhananya, ini adalah urusan kepentingan dan periuk yang tidak terakomodasi dalam pengelolaan yurisdiksi oleh negara atau pemerintah daerah. Siapa pun dan apa pun kasusnya, penolakan dan resistensi terhadap kebijakan yang mengancam periuk nasi itu adalah sebuah hal yang harusnya dimengerti, meski tidak untuk dibenarkan.

Pengancam yang telah berhasil diamankan memang punya kepentingan yang bergesekan dengan Trans Metro Pasundan. Pelaku sehari-hari bekerja sebagai pengelola trayek angkutan umum yang rutenya tumpang-tindih dengan rute Trans Metro Pasundan di Koridor 3.

Namun, kritik terbesar sebenarnya patut dilayangkan kepada otoritas. Pertama, masyarakat berhak bertanya kenapa seperti tidak ada kendali atau penggunaan power, sebagai pihak yang punya legitimasi dan kuasa, untuk menegakkan (enforcing) kebijakan transportasi yang baru tersebut.

Penolakan bukanlah sebuah hal yang mengejutkan dan seharusnya dapat dimitigasi jauh sebelum moda baru ini beroperasi. Terkesan memang kehadiran negara dan pemerintah seperti kalah dengan kehadiran pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan menggunakan pendekatan premanisme.

Justru, kesan yang muncul adalah kebijakan transportasi baru ini dilaksanakan tanpa memetakan dulu realitas di lapangan. Bagi otoritas kota, sebetulnya analisis pemangku kepentingan soal relasi dan interest bukanlah hal yang sulit. Tapi, dalam kasus ini, ada kesan bahwa mereka tutup mata dengan berbagai kemungkinan yang terjadi.

Pendekatan ini memunculkan pertanyaan yang lebih mendasar: bagaimana bentuk pertanggungjawaban pemerintah untuk menjamin kesejahteraan pihak-pihak yang penghidupannya terdisrupsi? Di satu sisi, memang ada porsi di mana reformasi transportasi publik harus dilaksanakan. Namun, di saat yang bersamaan, kebijakan tersebut punya implikasi terhadap lapangan pekerjaan dan harus dikelola dengan baik.

Kasus penolakan ini tidak lain adalah implikasi dari kegagalan dalam mencari solusi untuk sopir dan pengusaha angkot, supaya transisi transportasi ini berjalan dengan mulus.

Kenapa saya lebih memilih untuk memandang persoalan transportasi perkotaan ini dari kacamata politik? Ya, karena memang mengelola kota adalah urusan politik dan bukan semata-mata urusan proyek pembangunan atau menghadirkan fasilitas yang menarik saja.

Ada transaksi dan tarik-menarik kepentingan di belakangnya, dan pemerintah daerah sebagai representasi negara patut dipertanyakan orientasi dan motifnya dalam relasi tersebut. Bahkan, perlu diselidiki pula, sebenarnya adakah daya tawar dan kekuatan politiknya untuk mengelola dan mengawal kebijakan yang menguntungkan publik?

Kalau dibilang pemerintah tidak berdaya, ya, tidak juga. Toh, banyak kebijakan-kebijakan yang tidak populer di mata masyarakat yang justru berhasil dilaksanakan dengan mulus meski dikecam di mana-mana. Dalam kasus seperti itu, dapat dikatakan bahwa transaksi alias deal-deal-an antar aktornya sudah selesai dan mencapai titik kesepakatan. Sudah sama-sama untung, lah. Nah, kenapa untuk urusan transportasi ini tidak kunjung putus?

Ada banyak alasan yang mungkin jadi faktor. Bisa jadi, mereka memang enggan mengakui relasi kuasa yang terjadi secara informal tersebut. Sayangnya, imbas dari hal ini malah harus ditanggung publik.

Alasan lain: karena tersandera secara politik. Ongkos yang harus dibayarkan untuk mengubah status quo tidak sepadan dengan kestabilan politik pemerintah daerahnya.

Langkah pertama untuk sembuh adalah mengetahui dulu penyakitnya. Kalau selamanya denial bahwa pemerintah daerah tidak punya daya tawar politik atas pihak-pihak yang bersengketa, ya, ndak akan putus itu barang.

Tugas pemerintah bukan hanya perkara mengeluarkan kebijakan saja. Ada peran lain sebagai operator dalam jejaring distribution of wealth dan distribution of power, entah lewat pengadaan atau juga dalam bentuk menemukan solusi dan kesepakatan. Sudah punya legitimasi dan perangkat sebanyak itu untuk mengelola kekayaan dan kuasa, masa tidak putus-putus perkara transportasi ini?

Angkot juga bisa dibilang sudah mulai mati suri. Jadi, sebenarnya, kue yang diperebutkan antara angkot dan bus ini juga tinggal sisa-sisa. Nah, siapa yang dapat kue paling besar dan tidak bisa diotak-atik? Mungkin, itu bisa jadi alternatif jalan keluar distribusi.

Bottom line: perkara transportasi memang hal yang tidak terpisahkan dari masalah penggunaan lahan. Tapi, isu lahan punya kerumitan yang jauh lebih kompleks lagi untuk diurai. Jadi, ya, silakan saja kalau mau memakai jalan memutar seperti itu, yang mana entah kapan sampainya.

Poin saya sederhana saja: rencana teknokratis butuh sentuhan sosio-politik dalam mengimplementasikannya, dan aktor yang punya kekuatan dan legitimasi untuk melaksanakannya adalah pemerintah. Ketika solusi teknokratis tidak terlaksana karena ketiadaan sentuhan tersebut, sudah sewajarnya, dong, kita bertanya kepada mereka yang punya mandat dan kuasa?

--

--