Pengantar

Yang Berserakan dan Kami Kumpulkan

Mukadimah Perkara Agustus 2018: #DibuangSayang

Alvaryan Maulana
Kolektif Agora

--

Selamat datang bulan Agustus! Menyambut bulan kedelapan dalam penanggalan masehi ini, saya mewakili kawan-kawan di Kolektif Agora ingin berbagi sebuah kabar. Bisa jadi ini kabar baik yang membuat kolega sekalian antusias, bisa pula menjadi kabar yang mengecewakan karena khawatir akan membosankan.

Kami belajar untuk membaca dan menulis secara tematik.

Foto oleh Sangkara Nararya (Bandung, 2018)

Pengantar

Ada sebuah pertanyaan yang tidak kunjung terjawab meski kami telah berkali-kali rapat untuk mendiskusikannya: apa goals dari Kolektif Agora? Berbekal semangat kolektif, tidak mudah untuk merumuskan suatu tujuan yang terdefinisi dengan baik dan disepakati secara menyeluruh. Lagi pula, apa perlunya Kolektif Agora merumuskan sebuah manifesto yang justru dikhawatirkan akan membuat gerak-gerik menjadi kaku. Namun, di tengah perdebatan yang urung usai mengenai tujuan kami, setidaknya kami semua sepakat tentang satu hal, Kolektif Agora adalah wadah literasi pengetahuan perkotaan.

Tapi jika merefleksikan perjalanan yang seumur jagung ini, saya pribadi bertanya-tanya: apa saja pengetahuan tentang kota yang sudah berhasil dikumpulkan? Sudah sejauh mana dan sedalam apa akumulasi pengetahuan yang diarsipkan melalui kegiatan literasi dan diskusi serta berkolega ini?

Sejauh ini, isu dan pokok-pokok bahasan yang diangkat oleh Kolektif Agora masih terpenggal-penggal, berceceran. Sepakat untuk menulis dan berdiskusi secara tematik adalah upaya yang kami rasa cukup relevan untuk mendapatkan sebuah pemahaman dan pengetahuan yang kohesif mengenai sesuatu. Pengetahuan dan pemahaman yang selama ini masih berserakan dikumpulkan menjadi satu bundel tulisan dan Diskusir yang diikat oleh sebuah tema pembahasan. Tentu saja, keberadaan tema ini tidak berarti Kolektif Agora hanya akan membahas mengenai satu isu saja selama satu bulan penuh. Keberadaan satu paket tulisan editorial tematik ini semacam obligasi kami, yang sudah berani melakukan klaim sepihak sebagai sebuah wadah literasi, untuk mengakumulasikan pengetahuan perkotaan dengan lebih komprehensif.

Maka, penggalan-penggalan yang pertama coba kami kumpulkan adalah hal-hal yang berserakan di perkotaan karena banyak yang tidak mau ambil pusing dengan keberadaannya.

Bulan ini, kami membahas soal limbah perkotaan.

Bicara Tentang yang Hilang

Sejauh ini, kami menemukan fenomena bahwa limbah adalah variabel paling terakhir yang dipikirkan saat sedang memikirkan aktivitas perkotaan. Keberadaan sampah sudah seperti sebuah keniscayaan yang tak terpisahkan dalam aktivitas-aktivitas yang berlangsung. Yang mengherankan, tidak banyak yang tahu sebenarnya ke mana sisa atau eksternalitas aktivitas tersebut pergi. Yang paling sederhana, apakah kita tahu ke mana limbah domestik di kamar kos dan di rumah-rumah mengalir? Apakah kita tahu ke mana air sisa sikat gigi kita dialirkan? Ke mana sisa tulang ayam yang tidak termakan akan disimpan, dan apa jadinya ampas biji kopi yang tidak ikut kita hirup dalam secangkir americano?

Jika hal-hal sederhana seperti itu tidak terjawab, bagaimana dengan hal-hal yang lebih kompleks lagi, misalnya botol sampo yang sudah kosong, kendaraan yang sudah tidak terpakai, atau barang elektronik yang sudah tidak lagi kekinian?

Kita semua mungkin punya jawaban yang sama: dibuang. Tapi, ke mana dibuangnya? Siapa yang membuang? Apakah dengan meletakkan sampah di keranjang sampah, tanggung jawab atas luaran aktivitas kita telah selesai? Apakah dengan melego barang bekas ke pasar loak mengizinkan kita untuk peduli setan dengan keberadaan mereka?

Dibuang Sayang

Sadar dan peduli terhadap limbah yang dihasilkan oleh aktivitas kita adalah sebuah konsep yang “gampang-gampang susah”. Mudah untuk dipahami, namun sulit sekali untuk diterapkan. Setelah mendapatkan pemahaman mengenai apa itu limbah dan ke mana limbah tersebut pergi, maka jalan terjal selanjutnya yang harus dilewati adalah soal kemauan dan kesadaran. Memahami apa limbah sebagai sebuah bagian tak terpisahkan dari sistem aktivitas yang harus dipertanggungjawabkan tidak serta merta membuat seseorang sadar dan mau untuk bertanggung jawab terhadap limbah yang dihasilkan.

Mungkin pada awalnya, tidak semua orang mengetahui bahwa kantong kresek, sedotan plastik, atau botol air minum kemasan sulit untuk terurai. Namun, mengetahui fakta tersebut tidak serta-merta menyebabkan kesadaran dan kemauan seseorang untuk menghilangkan, atau setidaknya mengurangi, penggunaan plastik yang limbahnya itu tidak bisa terurai. Pada mulanya, tidak semua orang paham bahwa barang-barang bekas yang sudah tidak terpakai tidak akan hilang begitu saja begitu mereka melepaskan kepemilikan dengan membuangnya di ujung kompleks perumahan atau memberikannya ke tukang loak keliling. Namun, setelah sadar, apakah orang-orang akan berhenti membeli dan menimbun barang-barang secara berlebihan? Apakah orang-orang akan rela untuk membuang jauh-jauh prinsip “sayang” terhadap barang?

Perjuangan untuk mengurangi limbah adalah perjuangan yang berat dan tricky, karena yang diperjuangkan adalah kesadaran dan kemauan ratusan juta orang yang kehidupannya tidak dapat dipisahkan dengan produksi limbah. Upaya untuk me-manage limbah aktivitas bukanlah sekadar membuat tempat sampah yang berwarna-warni untuk memilah sampah berdasarkan jenis sampah atau mengenakan biaya kantong plastik di minimarket. Upaya untuk mengelola limbah hasil aktivitas lebih dari sekadar mengganti sedotan plastik dengan sedotan logam yang bisa digunakan berulang kali. Bukan berarti upaya tersebut tidak bermanfaat, hanya saja butuh upaya yang lebih menyeluruh untuk mengelola limbah aktivitas agar tidak membawa eksternalitas negatif.

Tentu saja upaya untuk menyelesaikan persoalan limbah, terutama di wilayah perkotaan, tidak cukup dengan akumulasi pengetahuan. Namun, usaha kami mengumpulkan kepingan-kepingan pengetahuan dan kebijaksanaan mengenai pengelolaan limbah ini merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya kami untuk membereskan sampah kota yang berserakan.

Sebagai pembuka, Nefertari akan menuliskan pengamatannya mengenai limbah elektronik yang selama ini luput dari perhatian, entah memang sudah ada yang mengurus sehingga kita bisa lepas tangan, atau justru ketidakpedulian kita terhadap limbah elektronik kita bisa menjadi kesempatan juga buat orang lain. Selanjutnya, Nayaka Angger akan mengajak kita untuk memikirkan hal yang paling dekat namun sekaligus paling tidak kita pahami; limbah rumah tangga. Dinda Primazeira akan memberikan pandangannya mengenai limbah dari kosmetik, sementara itu Jaladri akan mengantarkan kita pada gerakan gaya hidup yang sedikit banyak timbul karena keinginan untuk tidak banyak-banyak menghasilkan limbah: frugalisme. Sebagai penutup edisi bulan Agustus 2018, Naufal Rofi akan membahas wacana yang beredar mengenai isu limbah perkotaan ini sekaligus mengkritisinya.

Tak lupa, untuk menggenapi pengetahuan dan pandangan mengenai isu limbah perkotaan ini kami juga turut menghadirkan pandangan dan kepedulian dari kolega-kolega Kolektif Agora yang melakukan pergerakan untuk mengurai permasalahan limbah perkotaan ini, seperti Brotherfood.org yang menanamkan kebiasaan mendaur sisa layak makan menjadi bantuan pangan bagi kaum marjinal, dan Sadari Sedari, sebuah inisiatif untuk memberikan nilai tambah yang baru bagi pakaian yang sudah tidak digunakan dan menyalurkan keuntungannya kepada yayasan-yayasan pendidikan. Kolektif Agora juga berkesempatan untuk sowan dan menyambangi kantor Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB) yang sudah malang-melintang bergerak di bidang ini.

Selamat menikmati sekaligus mengkritisi gagasan yang kami kemukakan. Dibutuhkan dialektika yang berkelanjutan untuk terus memperluas cakrawala dan memperdalam pemahaman mengenai persoalan limbah di perkotaan, dan tentunya persoalan-persoalan kota yang lain. Tentu saja kami berharap upaya untuk mengentaskan persoalan limbah perkotaan ini tidak berhenti di kegiatan baca tulis saja, namun juga dengan tindakan-tindakan nyata, baik di tataran personal, maupun secara kolektif.

Rabu, 1 Agustus 2018
Pengantar editorial #DibuangSayang

Alvaryan Maulana
Direktur Riset
Kolektif Agora

--

--