Fitur

Yang Jelek dari Bersolek

Cerita Ramuan Perusak Lingkungan

Dinda Primazeira
Kolektif Agora

--

Sudah menjadi lumrah bagi manusia untuk mempersempit jarak antara diri dan kesempurnaan. Sejatinya, definisi atas kesempurnaan telah tertanam dalam diri masing-masing. Tapi, mungkin secara tidak sadar, persepsi kita soal kesempurnaan pelan-pelan bergeser seiring dengan perjalanan kita menapaki kehidupan. Pada akhirnya, kita berlomba-lomba menuju kesempurnaan yang hakikatnya bukan milik kita — lalu sengsara dan terluka, atau justru mencipta sengsara dan luka.

Foto oleh Shafiera Syumais (Bandung, 2018)

Sejarah Kosmetik dan Kontestasi Kecantikan

Industri kosmetik pertama kali muncul di Perancis, tidak lama setelah révolution française. Pada masa tersebut, peruntukan kosmetik adalah untuk mengekspresikan kecantikan fisik dan jiwa dalam upacara-upacara keagamaan dan kebudayaan. Karena masing-masing daerah memiliki definisi kecantikan dan bahan baku yang berbeda, jenis dan peruntukan kosmetik di setiap daerah pun berbeda. Misalnya, di Mesir dan Yunani Kuno, kosmetik digunakan dalam ritual pembersihan sebagai perwujudan rasa hormat kepada alam dan Tuhan.

Seiring dengan perkembangan teknologi pada era revolusi industri, para ilmuwan mulai menemukan bahan-bahan artifisial. Karena biaya yang lebih murah, industri-industri kosmetik mulai meninggalkan penggunaan bahan-bahan alami. Pada masa tersebut, kosmetik yang sebelumnya hanya digunakan oleh perempuan kalangan bangsawan dan elit mulai merambah pasar yang lebih luas. Walaupun begitu, hal ini justru menjadi awal mula adanya kategorisasi pada industri kosmetik, bagi si kaya dan si miskin, bagi yang feminin dan yang maskulin. Perlu dicatat, kosmetik atau produk-produk kecantikan bukan hanya digunakan oleh perempuan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kosmetik adalah produk yang digunakan untuk mempercantik wajah, kulit, rambut, dan sebagainya. Karenanya, kosmetik meliputi setiap produk yang bersifat menyempurnakan seperti pembersih muka, tabir surya, dan wewangian.

Pada awal abad kedua puluh, industri kosmetik berkembang pesat seiring berkembangnya industri periklanan, yang menjadi awal mula penciptaan standar kecantikan yang universal. Melalui iklan, industri-industri ini membentuk definisi kecantikan yang berkiblat pada kecantikan kaukasia, menanamkan gambaran fisik yang ideal terutama bagi perempuan.

Pembentukan citra yang sepihak ini ternyata mengubah pola konsumsi masyarakat. Melalui konsep conspicious consumption pada karyanya yang bertajuk The Theory of Leisure Class, Thorstein Veblen (1899) mengritik hubungan yang menyedihkan antara citra diri dan pola konsumsi. Ketika seseorang mempersempit jarak antara diri dan citra ideal yang dikonstruksi oleh para pelaku industri kecantikan, saat itulah terjadi pergeseran pola konsumsi demi memenuhi perubahan citra tersebut.

Berkaitan dengan konsep ini, kecantikan menjadi komoditas yang dapat dibeli.

Kecantikan sebagai Komoditas

Eksistensi produk-produk kecantikan yang kini kita jumpai di berbagai pusat perbelanjaan, online shop, dan dipromosikan di berbagai akun media sosial para beauty influencer telah menjalani sebuah perjalanan panjang. Tidak hanya jumlah yang melimpah, jenis dan merk yang dulu hanya itu-itu saja kini semakin bertambah dan beragam. Ada yang berdiri sejak lama dan terus bertahan, ada pula yang hadir sekelebat saja. Ada yang penuh inovasi, ada pula yang sekadar ikut-ikut saja. Di pasar global, industri kosmetik juga tak kalah menjanjikan. Pada tahun 2017, hasil penjualan kosmetik global mencapai US$500 miliar dan diproyeksi akan mencapai US$675 miliar pada tahun 2020.

Di Indonesia, industri kosmetik tumbuh subur. Industri ini ditetapkan sebagai sektor andalan pada Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015–2035. Pada tahun 2013, penjualan kosmetik mengalami peningkatan baik di perkotaan maupun di perdesaan, dengan peningkatan masing-masing sebesar 9,4% dan 27,5%.

Pada tahun 2015, hasil ekspor produk kosmetik mencapai US$818 juta atau Rp11 triliun. Pada tahun yang sama, penjualan produk asing di Indonesia mencapai 30% dan meningkat hingga sekitar 60%-70% pada tahun 2015. Kondisi industri kecantikan di Indonesia yang didominasi oleh produk-produk impor sangat kontras dibandingkan dengan Jepang dan Korea Selatan, di mana industri kosmetik lokal justru mendominasi 60% pasar. Kementerian Perindustrian pun melansir penjualan kosmetik impor di Indonesia mencapai US$441 juta pada tahun 2015.

Tidak hanya disasar sebagai pasar, peningkatan populasi kelas pekerja akibat urbanisasi pun secara tidak langsung menjadikan Indonesia sebagai sasaran empuk perusahaan-perusahaan multinasional, seperti L’Oreal yang resmi mendirikan pabrik di Indonesia pada tahun 2012. Karenanya, tidak mengherankan jika Indonesia dikenal sebagai “kilang” produk-produk kosmetik yang berkualitas di skala internasional.

Pada tahun 2017, permintaan terhadap produk-produk kecantikan masih mengalami peningkatan dengan permintaan tertinggi berasal dari perempuan kelas menengah dengan jumlah 126,8 juta orang. Sebagai respon terhadap permintaan, produsen kosmetik juga terus bertambah. Pada tahun 2017, pertambahan industri kosmetik mencapai 153 perusahaan, menggenapkan jumlah perusahaan terdaftar menjadi 760 perusahaan.

Pada rentang tahun 2017–2018, peningkatan penjualan kosmetik jauh lebih signifikan dengan pertumbuhan sekitar empat kali lipat atau 20% dibandingkan penjualan pada tahun 2017. Perawatan tubuh mulai bergeser menjadi kebutuhan primer bagi kebanyakan perempuan. Selain itu, produk-produk kecantikan ini cenderung memiliki konsumen yang loyal dibandingkan dengan industri lain — industri makanan, misalnya — yang produknya dapat dengan mudah disubstitusi. Karenanya, permintaan pun cenderung tetap — bahkan meningkat.

Cantik Itu Luka

Peningkatan permintaan terhadap produk kosmetik pada awalnya tidak menjadi soal. Namun, seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, tabir kesempurnaan yang menyelimuti produk-produk kecantikan pun perlahan-lahan runtuh. Limbah kosmetik, yang sebagian besar dialirkan melalui saluran limbah domestik, dianggap berbahaya bagi ekosistem laut dan rantai makanan.

Kebanyakan kosmetik mengandung bahan-bahan kimia yang ternyata bersifat merusak bagi makhluk hidup, terutama penghuni laut. Zat-zat kimia yang terkandung pada kosmetik, seperti paraben pada sabun, sampo, dan pasta gigi, merupakan salah satu penyebab kerusakan karang dan ketidakstabilan hormon pada beberapa hewan laut seperti lumba-lumba. Beberapa riset bahkan menemukan akumulasi paraben pada jaringan hewan-hewan lain seperti beruang dan burung. Selain paraben, ada pula titanium dioksida (TiO2) yang pada umumnya terkandung di riasan kulit seperti alas bedak dan tabir surya. TiO2 dapat menyebabkan kerusakan DNA pada siput air tawar dan menghentikan pertumbuhan phytoplankton. Hal ini amat disayangkan karena phytoplankton merupakan penghasil dua pertiga oksigen di atmosfer.

Dampak penggunaan zat-zat kimia di atas memang cukup menggambarkan sisi gelap dari kosmetik, namun masih ada yang jauh lebih bermasalah yaitu plastik. Limbah plastik tidak pernah hilang. Apabila mengalami proses fragmentasi fisik, kimia, dan biologis, plastik hanya akan mengalami degradasi menjadi berukuran mikroskopis — dan semakin sulit dikendalikan.

Tidak hanya kemasannya, kebanyakan kosmetik pun menggunakan plastik sebagai bahan baku, tepatnya mikroplastik. Mikroplastik adalah plastik yang berukuran kurang dari 5 milimeter. Selain pada produk kecantikan, mikroplastik juga terdapat pada produk pembersih (seperti pasta gigi dan sabun cici tangan) dan kain dalam bentuk butiran kecil atau microbeads.

Mikroplastik juga bersifat merusak. Pada rentang tahun 1960-an sampai 1990-an, terdapat peningkatan kerusakan fisik hewan-hewan di lautan yang tercemar mikroplastik dari 267 spesies menjadi 693 spesies (Cordova, 2016). Selain itu, aves (burung-burungan) yang mengonsumsi ikan yang tercemar mikroplastik juga mengalami hal yang sama. Dilansir terdapat 395 spesies burung laut yang dalam sistem pencernaannya mengandung plastik.

Meskipun begitu, sudah ada industri-industri kosmetik yang sudah menyadari pentingnya bertanggung jawab terhadap dampak atas penciptaan produk-produknya — industri kosmetik organik. Industri kosmetik organik merupakan bagian dari gerakan besar yang mengupayakan internalisasi konsep berkelanjutan pada setiap detailnya. Dalam praktiknya, konsep ini cenderung diadopsi oleh industri-industri kecil dan menengah yang resah. Pemilihan bahan baku organik dan sistem pengolahan limbah menjadi beberapa ciri dari industri kosmetik organik.

Berakhir Pada dan Dari Kita Sendiri

Bukan hanya lingkungan yang terkena mudarat atas konsumsi kita yang asal-asalan dan berlebihan, melainkan juga diri kita sendiri. Akan sangat mungkin bahwa hewan yang kita konsumsi adalah satu dari hewan-hewan tersebut, mengakibatkan perpindahan zat-zat berbahaya yang mengendap di tubuh hewan-hewan tersebut ke tubuh kita. Apabila xenobiotik — zat asing yang masuk ke dalam tubuh manusia — tersebut adalah mikroplastik, sebaiknya kita bersiap karena mikroplastik dapat mengubah kromosom. Alternasi pada kromosom ini dapat mengakibatkan infertilitas, kegemukan, dan kanker.

Pada saat tersebut, mungkin kita baru menyadari bahwa yang kita tuai bukan hanya yang indah-indah.

Untuk dapat berkontribusi terhadap pelestarian lingkungan memang tidak mudah. Ada harga yang harus dibayar, entah itu waktu, tenaga, atau pun uang. Mendaur ulang rasanya melelahkan ketika kita terbiasa hanya membuang. Mengeluarkan lebih banyak untuk hal-hal organik rasanya begitu mahal karena lebih ingin bersenang-senang di akhir pekan.

Sebagai pengguna, mungkin kita terlalu skeptis. Apalah kita yang terlalu kecil untuk menyebabkan pencemaran di lautan dan rantai makanan. Pola konsumsi kita sebagai manusia urban seolah tidak bermasalah karena kita hanya satu satu dari jutaan, bahkan milyaran jiwa lainnya. Dengan bersantai-santai kita terus menyampah tanpa menyadari bahwa perilaku masing-masing dari kita saling terkoneksi. Pada akhirnya, setiap perilaku kita menghasilkan dampak yang terakumulasi dan menciptakan konstelasi yang rumit. Sebagai penghuni kota yang sering kali turut serta dalam pesta produksi dan konsumsi besar-besaran, kita tentu perlu sadar diri.

Dalam konteks penggunaan kosmetik dan pelestarian lingkungan, tidak hanya perilaku yang perlu kita refleksikan, tetapi juga cara memosisikan dan memandang diri. Ketika kita terlanjur menjadi konsumen kosmetik yang serampangan, mungkin pandangan kita terhadap kesempurnaanlah yang perlu didekonstruksi. Apakah selama ini kita menggunakan kosmetik (tentu termasuk kosmetik yang diperuntukkan bagi laki-laki juga) untuk merepresentasikan diri kita yang sebenar-benarnya atau hanya untuk menciptakan imaji palsu atas diri?

Toh, indra kita seringkali menipu dan persepsi kita seringkali tidak dapat dipercaya. Karena, yang terlihat indah belum tentu indah.

Selasa, 14 Agustus 2018
Ada Sampah di Balik Yang Indah #DibuangSayang

Dinda Primazeira
Penulis
Kolektif Agora

Referensi:

--

--