Editorial

Yang Tertinggal Oleh Jejaring Kota Global

Catatan untuk glorifikasi terhadap globalisasi yang tak sepenuhnya baik, meski memang penuh keuntungan di sisi yang lainnya.

Alvaryan Maulana
Kolektif Agora

--

Saskia Sassen mengeluarkan postulatnya mengenai kota-kota dunia beserta hierarki dan jejaringnya. Teorinya sederhana: bahwa di era yang serba terhubung dan tanpa batasan ini, kota-kota di dunia akan terhubung satu sama lain. Hubungan tersebut dibentuk oleh berbagai macam skema, baik dari pergerakan manusia dan barang, hingga skema ketergantungan ekonomi dan kekuasaan. Kota-kota yang disebut sebagai global cities ini tidak dapat dipisahkan dari fenomena globalisasi, di mana aktivitas sosial-ekonomi terhubung satu sama lain.

Di saat yang bersamaan, entah mendapatkan ilham dari siapa, kota-kota di Indonesia berlomba-lomba menaburi wajahnya untuk menarik perhatian masyarakat dunia. Mulai dari kemudahan-kemudahan investasi (yang di satu sisi sering mengorbankan hak-hak masyarakat lokal), menggencarkan promosi wisatawan (yang di sisi lain tidak disukai masyarakat lokal karena eksternalitasnya), hingga membangun infrastruktur secara besar-besaran dan seringkali mencabut masyarakat asli dari akarnya. Semuanya dilakukan dalam rangka mengupayakan diri untuk menjadi bagian dari kota-kota dunia.

Pasar Tradisional, Merk Internasional

Pemusatan perhatian, kucuran modal, serta pengistimewaan kota-kota besar dan wilayah-wilayah tertentu dengan dalih fungsi strategis kemudian menjadi narasi utama untuk melegitimasi mengapa begitu banyak proyek-proyek pembangunan dengan modal besar dilakukan di Kota-Kota Besar. Tujuannya, agar kota-kota besar tersebut menjadi mesin pembangunan yang mampu memantik pertumbuhan ekonomi di wilayah lain. Asumsi ini disusun berdasakan teori klasik pembangunan mengenai kutub pertumbuhan atau Growth Pole Theory. Teori ini mengasumsikan bahwa pertumbuhan yang terkonsentrasi di satu titik kemudian dapat memberikan dampak pada wilayah-wilayah lain, atau yang dikenal dengan trickling down effect.

Revisi Teori Kutub Pertumbuhan

Baru-baru ini majalah ekonomi ternama Amerika Serikat menuliskan temuan yang berbeda dengan apa yang diharapkan dalam implementasi teori Growth Pole. Jika dalam asumsi terdahulu laju pertumbuhan ekonomi di wilayah miskin lebih tinggi dibandingkan daerah kaya sehingga pada kurun waktu tertentu gap atau ketimpangan tersebut akan tertutup dengan sendirinya, data yang diolah The Economist menunjukan hal yang sebaliknya. Gap tersebut justru makin membesar. Asumsinya, kota-kota yang relatif lebih miskin tidak memiliki kemampuan untuk bersaing dengan kota lain dalam jejaring kota dunia. Tenaga kerja yang memiliki kemampuan yang lebih baik akan meninggalkan kotanya, sehingga kota tersebut dihuni oleh tenaga kerja kelas dua yang tidak cukup untuk menggerakan perekonomian dan mendorong inovasi.

Urusan tenaga kerja dan ketersediaan lapangan pekerjaan yang mumpuni ini sudah layaknya telur dan ayam. Tenaga kerja tidak akan hadir tanpa adanya lapangan pekerjaan yang mencukupi. Sebaliknya, pemiliki modal tidak akan repot-repot membuka lapangan pekerjaan di suatu wilayah jika wilayah tersebut tidak memiliki sumber daya manusia yang memadai. Dalam kasus Indonesia, tanda tanya mengenai tenaga kerja dan lapangan pekerjaan ini kemudian ditinggalkan begitu saja. Tidak ada jawaban atau upaya pasti mengenai tenaga kerja dan lapangan pekerjaan. Baik pemilik modal yang membuka lapangan pekerjaan, maupun para tenaga kerja, sama-sama bertumpuk di titik-titik tertentu (biasanya berupa kota-kota besar), kemudian bersaing dengan keras sehingga wilayah tersebut enclave dibandingkan dengan yang lain.

Wajar jika kemudian jurang pemisah antara kota-kota yang maju karena menjadi titik pertumbuhan dengan wilayah-wilayah lain — yang dalam kacamata pusat pertumbuhan dianggap sebagai wilayah pinggiran — semakin lebar. Selain isu lapangan pekerjaan dan tenaga kerja, hasil produksi dan akumulasi kapital yang dimiliki wilayah-wilayah pinggiran tersebut tersedot sedemikian rupa oleh pusat-pusat pertumbuhan. Hasil bumi, hasil tani, hasil hutan, hampir seluruh komoditas tersebut hanya menumpang tumbuh saja sebelum kemudian dijual murah ke pusat-pusat pertumbuhan. Dalihnya, wilayah hulu tersebut tidak cukup kapasitas untuk mengelola hasil sehingga komoditas tersebut perlu dipindahkan ke tempat yang lebih maju supaya nilai tambahnya meningkat, sehingga nilai ekonominya berlipat ganda. Tentu saja nilai ekonomi yang berlipat ganda itu tidak dinikmati sama sekali oleh wilayah hulu atau wilayah pinggir tadi. Ironinya, kutub-kutub pertumbuhan tadi ternyata bukanlah titik akhir dari perjalanan komoditas dan akumulasi kapitalnya. Kota-kota yang merupakan kutub pertumbuhan tadi tidak lain hanyalah penggalan kecil dari jejaring kota yang lebih besar. Akumulasi kapital tersebut kemudian tidak berhenti di kota-kota kutub pertumbuhan, melainkan diteruskan ke kota-kota yang lebih tinggi derajatnya dalam jejaring kota dunia. Sederhananya, kota-kota kutub pertumbuhan ini tak lebih dari sekedar pencari rente.

Konteks Kota-kota Indonesia

Berdasarkan survey WorldCityForum, Indonesia menyumbang sebesar 2,5% pertumbuhan ekonomi dunia. Angka ini hanya kalah dari China, Amerika Serikat, India, dan Uni Eropa. Sumbangsih Indonesia bahkan lebih tinggi dibandingkan Korea Selatan dan Jepang, dua negara dengan penguasaan teknologi yang tinggi. Kontribusi tersebut tidak lain adalah kontribusi titik-titik pertumbuhan di mana lapangan pekerjaan dan tenaga kerja berkualitas sama-sama menumpuk dan mendorong pertumbuhan yang lajunya tidak bisa diikuti oleh wilayah (atau kota-kota) lain.

Sumbangsih tersebut tentu saja bisa lebih besar angkanya jika kota-kota pusat pertumbuhan ini tidak hanya berfungsi sebagai ­middle man. Sayangnya, narasi mengenai kebebasan dari rantai kapitalisme global ini hanya utopia belaka. Menjadi sulit untuk menggugat narasi yang sudah mendarah daging dalam sistem perekonomian negeri ini karena tidak ada opsi alternatif yang cukup masuk akal dan menarik untuk menggantikan belenggu rantai ini. Dalam bahasa yang lebih bersahabat, rantai kapitalisme global ini tidak sepenuhnya parasit. Anggap saja rantai sebagai sebuah kesempatan yang “seharusnya” bisa dimanfaatkan. Pertanyaanya, kapan dan bagaimana?

Mengintip Mereka yang Tidak Ambil Bagian.

Jika nasib kota-kota kutub pertumbuhan ini ditentukan oleh kontestasi dan manuver mereka dalam jejaring kota dunia, lantas bagaimana dengan nasib kota-kota atau wilayah-wilayah yang tidak ambil bagian dalam jejaring kota dunia? Perlu digarisbawahi bahwa tidak terlibatnya mereka dalam jejaring kota dunia bukan berarti kebebasan dari belenggu rantai kapitalis global. Sebuah ironi pernah disampaikan mengenai kondisi ini:

Seorang peternak sapi memerah susu segar untuk kemudian diserahkan kepada pengumpul dan mendapatkan uang yang tak seberapa. Sebagian dari uang tersebut diberikan pada anaknya yang berusia delapan tahun. Oleh anaknya, uang tersebut kemudian dibawa menuju jejaring minimarket untuk membeli susu kemasan. Hanya, baik si bapak maupun sang anak tidak ada yang tahu bahwa ada bagian dari susu sapi yang mereka perah ada di dalam botol kemasan tersebut; bahwa kemudian susu yang mereka hasilkan mereka beli lagi dengan harga yang lebih mahal. Mereka sedang dirampok di kampung halaman sendiri. Kita semua sedang dirampok.

Ironi tersebut kemudian menjadi hal yang jamak di mana-mana. Wilayah-wilayah yang tidak diakui kontribusinya dalam jejaring kota dunia. Padahal, wilayah tersebut punya peranan penting dalam mengakumulasikan aliran kapital yang dinikmati Primate City dan Second Tier Cities di seluruh dunia; sebagai penghasil utama. Menjadi ironi yang lebih menyedihkan lagi jika kemudian wilayah-wilayah yang relatif lebih miskin ini terpaksa menjadi wilayah yang konsumtif. Jika kita mengintip sedikit, maka akan terlihat bahwa wilayah-wilayah tersebut sedang menggeliat, yang sayangnya bukan untuk menggenjot produktivitas, melainkan menggeliat untuk belajar melihat hiper-realitas, melihat hal-hal yang fana.

“Wah, sekarang di ZZZ sudah ada bioskop, sudah ada toko XXX, sudah ada warung makan YYY. ya”

Mereka kemudian dipaksa bahagia untuk menjadi manusia yang konsumtif.

Bahan Baca

  • Mankiw, N. G., Romer, D., & Weil, D. N. (1992). A contribution to the empirics of economic growth. The quarterly journal of economics, 107(2), 407–437.
  • Migone, A. (2007). Hedonistic consumerism: patterns of consumption in contemporary capitalism. Review of Radical Political Economics, 39(2), 173–200.
  • Perroux, F. (1970). Note on the concept of growth poles. Regional economics: theory and practice, 93(103).
  • Sassen, S. (2001). The global city: New york, london, tokyo. Princeton University Press
  • The Economist, 21st November 2017 ed, “Left Behind”

--

--