Bagian yang belum ada dari gamedev Indie Pemula di Indonesia

Kita masih fokus membikin game yang fun aja, tapi kita kurang memperhatikan bungkusnya.

Fadhil Noer Afif
Kolektif Gamedev
5 min readFeb 28, 2024

--

Saya sedang belajar membuat dan memasarkan game Indie di Steam. Sebagai studio pemula, saya cobain belajar tentang gamedev dari banyak sumber, seperti video, artikel, bertanya sama expert, termasuk melakukan eksperimen sendiri dengan merilis game dan mencari tahu salahnya dimana.

Sepanjang saya berkarir di gamedev dan kembali jadi pemula, saya menemukan beberapa pola yang sama nih. Data dari How to Market a Game nunjukkin kalau mayoritas developer Indie di Steam itu cuma rilis game 1 kali aja, dan ga jarang juga yang udah membuat berbagai macam game tapi gagal terus.

Mayoritas indie studio hanya rilis 1 game. Sumber

Ketika saya cari tau (dan dari pengalaman sendiri), pelajaran yang paling sering di ambil saat gagal itu adalah “next game harus lebih fun”. Basically harus bikin game yang lebih bagus dan keren. Atau jika studio nya udah sedikit lebih mature, mulai punya pelajaran lain ke arah marketing (”next game harus mulai marketing guys!”).

Tapi cukup sering yang kejadian itu, marketing yang dilakukan itu yang levelnya “ritual” aja, kaya sharing di socmed, kontak streamer, coba — coba pasang iklan, dsb.

(sumber)

Saya berpikir, marketing itu rasanya lebih dari itu deh. Soalnya kan semua orang pasti ngelakuin ritual itu, tapi kok ga semua game itu marketing nya berhasil?

Kenapa sebagian game bisa lebih mudah disebarkan, dibanding yang lain?

Saat saya menonton Video nya Jonas Tyroller yang tentang mencari ide sebuah game, dia memaparkan sebuah rumus untuk menghasilkan revenue game yang baik itu ada 3 faktor: Fun, Appeal, dan Scope.

Fun, Appeal, Scope. sumber.

Fun itu kita semua rasa sudah paham, pada dasarnya bikin game yang bagus, dan seru buat dimainkan. Sumber ilmu buat ini juga ada dimana mana.

Begitu pula dengan Scope, yang intinya adalah mengelola project game dengan baik, menjaga visi dan pengerjaan agar tepat budget dan sesuai target. Intinya managerial stuff.

Appeal itu adalah konsep / bungkus dari game nya yang akan bikin player itu pas pertama kali lihat langsung jatuh cinta. Game dengan Appeal nya tinggi, akan bikin player langsung “wah ini keren banget! aku mau maenin ini!”

Contoh paling baru itu ya Palworld, langsung clear dengan 3 kata “Pokemon with Guns”. Contoh lain seperti Dave the Diver (nyelam terus bikin sushi).

Pas nyari Pokemon with Guns aja langsung keluar Palworld.

Tentang Appeal…

Dari 3 elemen itu menurut saya yang paling missing di gamedev pemula itu adalah APPEAL-nya.

Kita masih fokus membikin game yang fun aja (dan gak salah juga), tapi kita kurang memperhatikan bungkus / konsep dari game kita seperti apa.

Coba kita latihan sederhana ya, silahkan pikirkan tentang hal ini. Here’s a good exercise yang bisa langsung dicoba.

Bisa jelasin game kamu dalam 1 tweet aja?

Dalam 1 kalimat, apa sih strong poin dari game kamu yang akan bikin orang pengen beli?

Saat player melihat screenshot, apakah dia bisa paham game nya tentang apa dalam 3–5 detik aja?

Jika kita belum bisa menjawab itu dengan baik, maka bisa jadi kita belum memikirkan Appeal dari game kita secara baik.

Appeal ini strong banget efeknya karena sebagai user itu jadi bikin kebayang “wah aku bakal ngapain di dalem gamenya”.

  • bisa bentuknya Fantasy → jadi pendekar yang kuat (DMC), dsb
  • bisa bentuknya Presentation → menikmati game yang gambarnya bagus, efeknya juicy, contoh : Cuphead
  • dan harus bisa dipresentasiin dengan Readability → bisa clear di dapet dengan 1 screenshot / beberapa detik video doang

Game yang punya Appeal kuat, bakalan jauh lebih mudah di marketingin dibanding dengan yang tidak. Ini pernah dibahas oleh Chris Zukowski di artikel dia tentang bedanya marketingin game “bola bowling” vs. “feather”

Sebuah contoh…

Contoh menurut saya game Indonesia yang punya Appeal strong itu adalah game Coffee Talk dari Toge Productions. Saat pertama kali saya melihat gamenya, saya ngerasa jelas banget kalau game ini adalah game tentang jadi barista di coffee shop yang cozy, dimana kamu akan dengerin cerita — cerita orang yang dateng kesitu. Keyword nya langsung dapet di kepala saya :

  • Main jadi POV Barista (kita roleplaying jadi punya coffee shop)
  • Vibe nya Cozy (enak buat main santai, rileks)
  • Dengerin cerita (gamenya naratif)

Jika kamu adalah penyuka game naratif yang chill + kamu suka ngopi, sangat besar kemungkinan kamu pasti akan setidaknya masukin Coffee Talk jadi wishlist.

Dari screenshot ini aja, saya langsung kebayang ini game kaya gimana. (sumber)

Segitu besarnya efek Appeal di project kita.

Nah, karena segitu penting nya memaksimalkan Appeal dari game kita, rasanya perlu banget buat kita sebagai studio indie buat menjadikan pencarian Appeal ini sebagai sesuatu yang sama penting nya, disamping membuat game yang fun. Dan ini menurut saya perlu banget dilakukan dari awal ngide, bahkan sebelum kita ketok palu buat gas produksi.

Chris Zukowski (How to Market A Game) pernah bilang, bahwa sekali kita udah tentuin genre & art style dari game kita, maka kita udah memilih “multiverse” kita. Sebagian pintu revenue akan tertutup dan kita cuma bisa lewat pintu yang masih terbuka.

Maksudnya adalah milih genre & art style itu menentukan basis dari Appeal, dan juga menentukan audience siapa yang kita targetin, yang ga semuanya punya potensi revenue yang sama.

Jadi, mencari Appeal (istilah kerennya Marketability) itu sepenting itu guys!.

So, apakah kamu sudah memikirkan Appeal dari game kamu?

(note: ini pertanyaan juga ke diri saya sendiri, yang harus saya tanyakan setiap hari).

Good luck!

note : link ke video Jonas Tyroller.

--

--

Fadhil Noer Afif
Kolektif Gamedev

Half-nerd, half-geek. Director at Reima Project, a game development studio.