Belajar Membangun Komunitas Game dengan Menjadi Guru Sekolah
Ini artikel pertama yang saya tulis dalam Bahasa Indonesia. Semoga tidak terlalu kaku, namun tetap mudah dimengerti dan nikmat untuk dibaca, ya!
Topik ini sudah sangat lama ingin saya bahas, dan adalah salah satu alasan saya kembali menulis.
Saat ini, saya bekerja sebagai Head of Marketing di salah satu perusahaan game di Indonesia. Saya mengawali karir di industri game sebagai seorang Community Manager, yang dimana tugas saya kala itu semacam campuran antara Customer Service, Social Media Manager, PR, dan mungkin sedikit Digital Marketing. Memang, saat itu lingkup kerja Community Manager masih rancu dan berbeda-beda antar perusahaan, disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan itu sendiri.
Pada tahun 2016, karena satu dan lain hal, saya harus meninggalkan pekerjaan saya sebagai Community Manager dan menjadi seorang guru seni.
Kenapa guru? Karena saat itu ada keadaan mendesak dan saya harus mencari pekerjaan yang dekat dengan rumah. Saat itu, sekolah ini kebetulan membutuhkan guru pengganti dengan cepat. Akhirnya, saya diterima meski saya tidak memiliki latar belakang pendidik ataupun gelar yang berhubungan. Kelebihan saya adalah kemampuan berbahasa Inggris dan bisa menggambar… sedikit.
Perjalanan saya sebagai seorang guru seni untuk kindergarten hingga senior school cukup singkat, namun sungguh banyak sekali hal yang saya lalui dan saya pelajari selama 11 bulan… hingga akhirnya saya tersadar bahwa meski saya suka mengajar anak-anak, saya rindu kembali bekerja di industri game. Sepertinya memang sudah jalannya, saya langsung mendapatkan pekerjaan sebagai Community Manager di sebuah perusahaan game yang ternyata sudah tahu kerja dan reputasi saya dari perusahaan sebelumnya.
Apakah sulit beradaptasi kembali setelah hampir satu tahun bekerja sebagai guru?
Tentu. Tidak hanya itu, sebelumnya saya bekerja sebagai Community Manager untuk mobile game, dan perusahaan berikutnya tempat saya bekerja mengembangkan premium game untuk PC dan konsol yang merupakan hal baru untuk saya. Saya harus mulai lagi dari awal, namun untungnya tidak dari nol.
Tanpa saya sadari, setelah beberapa tahun menjalani, banyak hal yang saya pelajari saat jadi guru amat sangat berguna di karir saya sekarang. Saya bahkan menemukan banyak kemiripan cara antara mengatur komunitas game dan mengatur murid-murid di kelas.
Pentingnya aturan main
Sebagai Community Manager atau CM, salah satu tanggung jawab saya adalah mengurus komunitas di Discord. Sebuah komunitas tentunya berisikan banyak orang dari berbeda-beda latar belakang dan memiliki minatan atau tujuan berbeda-beda jua. Tidak dapat dipungkiri, pasti ada saja konflik dan drama baik kecil atau besar yang terjadi dalam komunitas.
Saat pertama kali menjadi guru, ini kesulitan terbesar saya: Mengatur ketertiban kelas. Anak-anak akan mencoba berbagai hal untuk “mencobai” guru mereka, mencari celah dimana mereka bisa mengecohi atau melakukan apapun yang mereka inginkan di kelas tanpa terkena hukuman atau diomeli oleh guru. Ternyata tidak hanya anak-anak, manusia usia berapapun akan melakukan hal yang sama ketika berada di sebuah lingkungan.
Jika kita ingin komunitas kita tertib dan bisa mandiri, alangkah baiknya kita sudah menyiapkan aturan main sejak awal mereka bergabung dengan komunitas kita. Bagaimana kalian ingin mereka bersikap? Apa saja yang tidak boleh dilakukan? Apa konsekuensinya? Mengapa mereka harus menaati aturan main yang dibuat?
Saya belajar dari guru lain yang selalu mengonfirmasi ulang kepada murid-muridnya bahwa mereka sudah mendengarkan atau membaca aturan dengan seksama dan berjanji untuk mengikutinya. “Can we all agree on this rule? If you promise me you can follow the rule, we can all finish the class 2 minutes early so you have more time for toilet break!” Pastikan bahwa mereka juga turut setuju untuk mengikuti peraturan. Apabila bisa menyediakan reward, akan menjadi motivasi lebih untuk mereka menaati aturan yang ada dan turut menjaga ketertiban komunitas.
Memiliki satu tujuan
Saat berada di kelas, jika kita tidak memiliki tujuan jelas yang ingin kita sama-sama capai di hari tersebut atau di akhir semester, murid-murid tidak akan memiliki motivasi yang kuat untuk datang ke kelas. Untuk apa mereka bangun pagi dan datang ke kelas setiap hari? Apa yang akan mereka dapatkan di kelas dan apa yang akan mereka lakukan setelahnya?
Komunitas game pun sama. Mereka membutuhkan tujuan: untuk apa saya bergabung dengan komunitas ini? Apa yang saya dapatkan dengan datang ke sini? Apa yang bisa saya gunakan dengan apapun yang saya dapat di sini?
Sebagai CM, kita harus bisa menciptakan tujuan tersebut dan membukakan jalan menuju tujuan yang ingin dicapai. Misalnya, tujuan bergabung dengan komunitas adalah untuk mendapatkan informasi lebih awal daripada yang lain, bahkan sebelum berita tentang game kita ada di media sosial. Maka, sebagai CM kita harus bisa menyediakan hal tersebut. Sebelum kita update di media sosial, kita bagikan berita tersebut dengan komunitas terlebih dahulu. Bahkan, kita bisa melakukan aktivitas yang hanya bisa diikuti apabila mereka merupakan bagian dari komunitas kita.
Berinteraksi dengan karakteristik berbeda-beda
Selama hampir satu tahun, saya menghabiskan sebagian besar hari saya dengan para murid, mulai dari balita usia 3 tahun yang harus saya temani ke kamar mandi hingga remaja usia 15 tahun yang sering curhat tentang kehidupan mereka. Saya belajar untuk menyesuaikan diri tergantung dengan siapa saya berkomunikasi dan berinteraksi.
Ketika berinteraksi dengan satu individu, menyesuaikan diri tidaklah sulit. Yang sulit adalah ketika mereka berada di dalam satu grup atau kelas yang sama dan masing-masing memiliki cara komunikasi yang berbeda-beda.
Jujur, saya tidak bisa membagikan lesson learned apapun untuk hal ini. Saya belajar bahwa memang harus menjalani dan benar-benar bersosialisasi untuk bisa menemukan cara bagaimana kita bisa berkomuninasi dengan orang yang berbeda-beda. Kalau kalian ingin mengejar karir sebagai Community Manager, cara terbaik adalah dengan bergabung dengan komunitas. Tidak perlu sebagai pencetus atau koordinator. Sering-seringlah berinteraksi dengan orang-orang dalam grup, pelajari cara untuk bisa menyatu serta menyatukan kelompok, dan terus evaluasi cara kita berkomunitas.
Sama halnya dengan orang-orangnya, tiap komunitas juga berbeda-beda. Tidak ada cara baku bagaimana mengurus komunitas atau berinteraksi dengan komunitas.
Membuat lesson plan untuk 6 tahun kedepan
Mengerjakan lesson plan mungkin salah satu kenangan terburuk saya. Tanpa diajari, tanpa panduan apapun, tanpa latar belakang guru formal, saya yang mendadak harus menggantikan guru yang baru keluar harus mengerjakan lesson plan untuk kelas 1 SD hingga 6 SD. Saya diberikan contoh lesson plan jangka pendek yang sangat simpel, namun saya diminta juga untuk merancang lesson plan jangka panjang untuk satu tahun dan memikirkan apa yang harus saya ajarkan secara berurutan dan terstruktur.
Saya masih ingat sakit kepala yang saya rasakan saat mengerjakan yearly lesson plan dengan panduan yang sangat minim dikarenakan sekolah sedang sangat sibuk dan kekurangan tenaga. Saya juga selalu cemas apakah lesson plan yang saya buat sudah benar atau belum, apalagi yang saya kerjakan menyangkut masa depan anak-anak didik saya.
Saat mengerjakan lesson plan, guru dituntut untuk paham betul apa yang ingin diajarkan, apa tujuan dan alasannya, apa yang dibutuhkan untuk mendukung keberhasilan kegiatan, bagaimana tahapan mengajarkannya, dan apa yang akan dinilai di akhir pelajaran. Kemampuan berpikir kritis sangat dibutuhkan di sini.
Saat saya menjadi Head of Marketing, salah satu tanggung jawab saja adalah menyiapkan strategi pemasaran untuk game, mulai dari kapan promosi dimulai hingga game rilis dan bahkan pasca rilis. Pengerjaan game premium dapat memakan waktu tahunan dan harus sangat teliti, cekatan, serta kreatif dalam merancang strategi. Jika kita kehilangan momentum, akan sulit mendapatkan atau menciptakan momentum itu lagi.
Dalam merancang strategi pemasaran inilah saya merasa bersyukur pernah menjadi guru. Ternyata masa-masa saya dipaksa berpikir kritis dan kreatif dalam waktu singkat ini menjadi acuan saya mengerjakan marketing plan untuk perusahaan saya. Saya harus paham betul tujuannya apa, siapa dan dimana target pasarnya, bagaimana menjalankannya, dan apa yang ingin kita capai di akhir. Hal ini juga sangat membantu apalagi saya tidak hanya mengerjakan game project, namun juga mengurus tim marketing. Saya harus memastikan tim saya paham tujuannya apa dan bagaimana mengerjakannya.
Saat saya mengerjakan lesson plan, lesson plan sangat berguna ketika saya berhalangan mengajar dan guru lain harus menggantikan. Maka dari itu, lesson plan harus jelas dan detail untuk menghindari guru pengganti kebingungan dan menyebabkan murid ragu untuk mengerjakan tugas atau mengikuti kelas si guru pengganti. Sejujurnya, saya tidak merasa saya membuat lesson plan yang baik dan benar saat menjadi guru, namun hal itu membuat saya belajar untuk membuat marketing plan yang baik dan benar di pekerjaan saya sekarang.
Lesson learned
Ada banyak hal kecil lain yang saya pelajari dan membantu karir saya di industri game. Saya juga belajar bahwa apapun pekerjaan kita, selama yang kita kerjakan baik, pasti ada hal baru yang kita pelajari dan bisa kita bawa di perjalanan karir kita berikutnya.
Yang saya bagikan di sini adalah apa yang saya lalui dan alami. Tiap kita adalah individu berbeda-beda, jadi belum tentu apa yang saya lakukan dan berhasil juga akan sama hasilnya jika kalian lakukan, apalagi tiap-tiap komunitas serta anggota didalamnya adalah unik. Tidak ada satupun yang sama.
Temukan caramu mengurus atau membangun komunitas dan jangan berhenti belajar.
Untuk menutup tulisan saya ini, saya ingin mengutip satu bagian kecil dari buku “This is Marketing” oleh Seth Godin yang juga menunjukkan bahwa ada irisan kecil antara menjadi guru dan marketing yang bisa membuka perspektif baru dalam memasarkan game atau produk.
Perhaps instead of talking about prospects and customers, we could call them your “students” instead.
Where are your students?
What will they benefit from learning?
Are they open to being taught?
What will they tell others?This isn’t the student-teacher relationship of testing and compliance. It’s the student-mentor relationship of enrollment and choice and care.
If you had the chance to teach us, what would we learn?
If you had a chance to learn, what would you like to be taught?
Semoga waktu yang kalian habiskan untuk membaca tulisan saya tidak terbuang sia-sia!
If you are interested in reading this article in English, let me know so I can consider writing the English version of it. In the meantime, you can use translators like Google Translate. I tried my best to write it so that it could be translated easily.
Last but not least, I want to thank my ex-students for teaching me a lot of things in a very short time. Some of you may forget about me already, but I had a wonderful time being a teacher thanks to you.