1 Mei: Momen Krusial Bagi Keadilan dan Kesejahteraan Kaum Buruh

Kemenpolstrat BEM FISIP UNAIR 2024
KOMA
Published in
5 min readMay 15, 2021

Oleh Muhammad Farrel Endrizal dan I Ketut Gede Laksamana Gunarsa

Pergerakan buruh menjadi momen krusial dalam perkembangan sosial pada akhir abad ke-19. Di era itulah, kaum buruh bergerak bersama demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Peristiwa pergerakan ini, yang kemudian diperingati setiap tanggal 1 Mei, mulai masif terjadi di Amerika Serikat (Chase, 1993). Pergerakan tersebut dilatarbelakangi oleh fakta bahwa kondisi dan situasi yang dihadapi pekerja merupakan hal yang sulit. Mereka bekerja selama 10 hingga 16 jam sehari dalam kondisi yang tidak aman dan nyaman. Kematian dan cedera adalah sebuah ketidakwajaran yang diwajarkan di banyak tempat kerja saat itu (Chase, 1993). Alhasil, muncul rasa ketidaknyamanan dan kegelisahan di benak para pekerja. Kondisi itu mendorong kelas pekerja berjuang untuk mendapatkan jam kerja yang wajar, yakni 8 jam sehari. Sejatinya, gerakan upaya mempersingkat hari kerja tanpa pemotongan gaji telah dimulai sejak awal tahun 1860-an. Barulah pada akhir tahun 1880-an, kekuatan para pekerja yang terorganisir hadir untuk mendeklarasikan hari kerja 8 jam. Deklarasi tersebut memang terjadi sepihak (pekerja) dan tanpa melalui persetujuan pihak industri. Akan tetapi, hal tersebut dituntut oleh banyak kelas pekerja yang menguatkan tuntutan tersebut (Chase, 1993).

Deklarasi hari kerja 8 jam mulai digaungkan pada tahun 1884. Pada konvensi nasionalnya di Chicago, Federation of Organized Trades and Labor Unions atau FOTLU (yang kemudian menjadi Federasi Buruh Amerika) menyatakan bahwa delapan jam merupakan satu hari kerja yang sah dan akan berlaku setelah 1 Mei 1886 (Chase, 1993). Sebagai gerakan lanjutan, pada tahun berikutnya, FOTLU dan para Ksatria Buruh setempat kembali mengulang proklamasi mereka terkait jam kerja. Mereka menyatakan bahwa proklamasi akan diikuti oleh pemogokan dan demonstrasi. Gerakan tersebut mendapat pertentangan dari salah satu koran anarkis, The Alarm, yang menyatakan bahwa seseorang yang bekerja 8 atau 10 jam, ia tetaplah seorang budak (Chase, 1993). Pemogokan dan demonstrasi besar-besaran pun terjadi pada tanggal 1 Mei 1886, yang menjadi perayaan Hari Buruh pertama kalinya. Kekacauan pun tak terhindarkan antara massa demonstrasi dan polisi.

Dengan terjadinya berbagai kekacauan tersebut, sebuah pertemuan di Haymarket Square pun dilakukan untuk membahas kebrutalan polisi dalam menangani massa demonstrasi. Namun, pertemuan tersebut malah menjadi sebuah tragedi tersendiri. Polisi menembaki kerumunan sebagai respons terhadap pelemparan bom yang diduga dilakukan oleh salah satu anggota kerumunan. Jumlah pasti korban tidak pernah ditentukan tetapi diperkirakan tujuh hingga delapan warga tewas dan kurang lebih empat puluh lainnya mengalami luka-luka. Delapan anarkis, Albert Parsons, August Spies, Samuel Fielden, Oscar Neebe, Michael Schwab, George Engel, Adolph Fischer, dan Louis Lingg, ditangkap dan dihukum karena insiden Haymarket Square. Kejanggalan terjadi karena hanya tiga dari mereka yang hadir di Haymarket Square. Mereka pun dihukum bukan karena tindakan mereka yang salah, tetapi karena keyakinan politik dan sosial mereka (Chase, 1993). Pada tahun 1889, sebuah konferensi sosialis internasional menetapkan 1 Mei sebagai Hari Buruh dalam rangka berkabung terhadap insiden Haymarket Square dan menghormati jasa para pekerja.

Sementara itu, di Indonesia, sejarah hari buruh dimulai pada era kolonial. Gagasan hari buruh dibawa oleh Serikat Buruh Kung Tang Hwee Koan. Aksi tersebut didasarkan kepada tulisan tokoh sosialis Belanda, Adolf Baars yang mengkritik tentang harga sewa tanah dan upah buruh yang tak layak untuk dijadikan perkebunan. Peringatan hari buruh tersebut bukan hanya pertama kali di Hindia-Belanda, namun juga pertama kali di Asia. Pada peringatan pertama itu muncul berbagai kekecewaan yang dirasakan oleh Henk Sneevliet, seorang tokoh Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda. Kekecewaan Sneevliet dituliskan dalam artikel Het Vrije Woord dengan judul “Onze Eerste 1 Mei-Viering” karena peringatan hari buruh pertama kali tersebut hanya dihadiri oleh mayoritas orang Belanda dan orang bumiputera tidak ada yang tertarik dengan ajakan yang sudah dipublikasikan oleh Sneevliet sebelumnya (Riadi, 2013). Namun, pasca pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1926, peringatan hari buruh mulai dipersulit akibat tekanan yang diberikan oleh pemerintah kolonial kepada serikat buruh.

Masuk pada era pasca kemerdekaan, tepatnya pada tanggal 15 September 1945 yang tidak berjauhan pasca proklamasi kemerdekaan terbentuk organisasi buruh pertama di Indonesia yaitu Barisan Buruh Indonesia (BBI) yang kemudian menjadi titik penting dalam diperingatinya kembali hari buruh setelah tekanan yang diberikan oleh pemerintah kolonial sejak pemberontakan PKI pada tahun 1926. BBI lantas menjadi titik awal terhadap akar-akar serikat buruh di berbagai penjuru Indonesia, seperti Laskar Buruh Indonesia (LBI), Barisan Buruh Wanita (BBW), Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), dan disusul dengan berbagai serikat buruh lainya baik secara regional maupun secara nasional (Soegiri & Cahyono, t.t.). Kembali aktifnya serikat buruh di Indonesia menjadi awal dalam digelarnya kembali peringatan hari buruh di Indonesia, dan bahkan ditetapkan sebagai hari libur nasional. Pada periode ini pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh serikat maupun organisasi buruh jarang sekali diabaikan oleh pemerintah, bahkan serikat buruh juga tak jarang diundang dalam pengambilan keputusan pemerintah. Perayaan Hari Buruh pun sempat dilarang pada masa Orde Baru. Hal tersebut dikarenakan pergerakan buruh yang diidentikkan dengan pergerakan kaum kiri dan komunis, yang sangat dilarang perkembangannya pada masa Orde Baru. Barulah pada masa reformasi, tepatnya pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, 1 Mei kembali diperingati sebagai Hari Buruh

Dalam memperingati hari buruh, sejak zaman kolonial hingga era kontemporer, di Indonesia selalu diwarnai dengan aksi yang diselenggarakan oleh serikat buruh. Aksi tersebut bukan hanya mengkritisi regulasi mikro milik perusahaan, tetapi juga regulasi ketenagakerjaan nasional. Hari buruh merupakan momentum yang tepat dalam reformasi sikap untuk mengkritisi kebijakan publik –politik dan ekonomi — yang memarjinalkan buruh (Hernawan, 2003). Meningkatnya intensitas aksi yang dilakukan oleh buruh terutama ketika hari buruh merefleksikan bahwa masih ada rasa kekecewaan yang besar atau rasa ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah yang mengatur ketenagakerjaan. Omnibus Law Cipta Kerja merupakan bentuk kebijakan pemerintah yang memunculkan rasa kekecewaan yang besar oleh para buruh. Pada peringatan Hari Buruh tahun 2021 kemarin yang secara bersamaan pandemi COVID-19 masih berkecamuk di Indonesia, para buruh pun tetap melakukan aksi yang menuntut untuk mencabut UU Cipta Kerja.

Semakin intensifnya pergerakan aksi buruh menggambarkan bahwa negara telah gagal dalam menciptakan iklim politik yang kondusif serta dalam menciptakan agen perubahan sosial. Pada dasarnya sumber permasalahan antara hubungan buruh, perusahaan dan pemerintah adalah perbedaan persepsi dalam menentukan tingkat ekonomi yang ideal. Lantas kemudian sampai kapan hari buruh akan selalu diwarnai dengan tuntutan serta aksi dari kaum buruh, jika negara tidak mampu menyelaraskan kepentingan maupun hak dan menghentikan hubungan sepihak maupun eksploitatif antara perusahaan dan buruh. Jika pemerintah gagal dalam menciptakan hal tersebut, maka tak heran jika hari buruh dari tahun ke tahun akan terus diwarnai dengan aksi yang sektornya semakin meluas. Dengan banyaknya tuntutan pada hari buruh tentu tidak terlepas dari fakta bahwa buruh merupakan aktor yang memiliki kontribusi yang besar bagi perkembangan ekonomi di Indonesia namun justru tidak mendapat apresiasi dari pemerintah sehingga menimbulkan ketidakpuasan dari pihak buruh.

Referensi

Chase, Eric., 1993. “The Brief Origins of May Day. Industrial Workers of The World: IWW Historical Achives.

Hernawan, Ari., 2003. “Dinamika Perburuhan di Indonesia”. Mimbar Hukum 2003, II (43).

Riadi, Fajar., 2013. “Jejak Buruh di Awal Mei” [Online]. Diakses pada 7 Mei 2021 Melalui https://historia.id/politik/articles/jejak-buruh-di-awal-mei-von2D/page/1

Soegiri, DS., Cahyono, Edi., t.t. Gerakan Serikat Buruh: Jaman Kolonial Belanda Hingga Orde Baru. Hasta Mitra.

--

--