Marsinah: Hegemoni Militer Orde Baru dan Refleksi 28 Tahun Perjuangan

Kemenpolstrat BEM FISIP UNAIR 2024
KOMA
Published in
5 min readMay 23, 2021

Oleh Christin Chatrin Nebore dan Pedro Hardi Kusuma

Marsinah adalah seorang buruh pabrik dari PT Catur Putera Surya (CPS), perusahaan arloji yang berlokasi di Porong, Jawa Timur. Dalam sehari, seorang buruh di PT CPS menerima gaji sebesar Rp 1.700. Karena angka tersebut dinilai terlalu kecil, maka Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan surat edaran No.50/1992 yang isinya adalah mengintruksikan perusahan-perusahan terkait agar menaikkan gaji buruhnya sebesar 20%. Tuntutan menaikkan gaji inilah yang digaungkan oleh buruh PT CPS. Namun, PT CPS tidak mengindahkan permintaan kenaikan gaji parah buruh, dan hanya bersedia menaikkan besaran tunjangan, bukan gaji pokok. Hal ini dinilai para buruh merupakan akal-akalan PT CPS, sebab, apabila buruh tersebut tidak masuk kerja karena melahirkan atau sakit, tunjangan tersebut akan dipotong (Qurniasari dan Krinadi, 2014). Karena tidak ada titik temu antara kedua pihak, yakni pihak PT CPS dan buruh, maka pada 3–4 Mei 1993, buruh pabrik PT CPS melakukan aksi mogok kerja selama dua hari.

Marsinah menjadi salah satu konseptor dan penggerak dalam aksi mogok kerja yang dilakukan buruh PT CPS (Solihah, 2018). Dalam aksi mogok kerja hari pertama, koordinator aksi, Yudo Prakoso, ditangkap dan dibawa untuk diinterogasi oleh militer. Akhirnya, Marsinah-lah yang menggantikan Yudo sebagai pemimpin aksi para buruh. Dalam aksi tersebut, para buruh menuntut beberapa tuntutan, antara lain:

  1. Kenaikan upah sesuai surat edaran Gubernur KDH TK I Jawa Timur No.50/1992.
  2. Tunjangan cuti haid.
  3. Asuransi kesehatan untuk buruh yang ditanggung perusahaan.
  4. THR sebesar satu bulan gaji.
  5. Kenaikan uang makan.
  6. Kenaikan uang transportasi.
  7. Pembubaran Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).
  8. Tunjangan cuti hamil yang tepat waktu.
  9. Upah buruh baru disamakan dengan buruh yang telah satu tahun bekerja.
  10. Perusahaan dilarang melakukan mutasi, intimidasi, dan PHK terhadap karyawan yang menuntut haknya.

Keesokannya, tanggal 4 Mei 1993, aksi mogok kerja kembali digelar dan pihak PT CPS menerima 15 orang dari perwakilan buruh untuk mengadakan forum negosiasi. Perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan, yakni seluruh tuntutan buruh diterima, dan hanya satu yang tidak dikabulkan, yakni pembubaran SPSI. Namun, sehari setelah perundingan tersebut selesai, sejumlah tiga belas buruh dipaksa untuk menandatangani surat pengunduran diri dari PT CPS. Artinya, PT CPS melakukan pemecatan terhadap tiga belas buruh yang dianggap sebagai dalang pemogokan. Padahal, dalam perundingan disepakati bahwa buruh yang menyuarakan aspirasinya tidak akan diberhentikan dari PT CPS. Tindakan PHK sepihak dari PT CPS inilah yang memicu kemarahan Marsinah. Selepas pemecatan rekannya tersebut, Marsinah langsung menulis surat ancaman terhadap PT CPS, yang isinya adalah salinan surat pengunduran diri rekan-rekannya, dan salinan surat kesepakatan antara buruh dan PT CPS, utamanya poin tentang perusahaan dilarang melakukan intimidasi dan pemecatan kepada buruh yang menyuarakan aspirasinya. Selain itu, ia mengancam akan membongkar aib perusahaan tentang produksi ilegal PT CPS Porong, Sidoarjo (Qurniasari dan Krinadi, 2014).

Tak ada yang menyangka, bahwa tanggal 5 Mei 1993 adalah hari terakhir Marsinah bertemu dengan rekan-rekannya. Esoknya, pada tanggal 6 Mei, adalah hari libur nasional, Hari Raya Waisak. Tanggal 7 Mei, para buruh kembali bekerja, namun Marsinah tidak kelihatan batang hidungnya. Rekan-rekannya mengira bahwa ia memanfaatkan kesempatan libur satu hari tersebut untuk pulang ke kampung halamannya di Nganjuk.

Setelah tiga hari menghilang, tepatnya pada tanggal 8 Mei 1993 malam, mayat Marsinah ditemukan dengan keadaan yang mengenaskan di sebuah gubuk pematang sawah di Nganjuk. Mayatnya ditemukan dengan kondisi yang tragis. Hasil visum dari Rumah Sakit Umum Daerah Nganjuk menyebutkan adanya luka robek tak teratur sepanjang 3 cm di dalam tubuh Marsinah. Luka itu menjalar mulai dari dinding kiri lubang kemaluan (labium minora) sampai ke dalam rongga perut dan tulang panggul bagian depan hancur. Selain itu, selaput dara Marsinah robek. Usus bagian bawah memar dan rongga perutnya mengalami pendarahan kurang lebih satu liter (Tirto, 2018).

Berita kematian Marsinah dengan cepat menyebar hingga ke lingkup internasional. Pemerintahan Orde Baru didesak agar segera mengungkap kasus ini. Oleh karenanya, pada 30 September 1993, pemerintah segera membentuk Tim Terpadu untuk mengungkap kasus Marsinah di bawah pimpinan Kolonel Pol Drs. Engkesman R. Hillep. Esoknya, Yudi Susanto (pemilik PT CPS) ditangkap bersama delapan karyawannya. Perlu diketahui, bahwa penangkapan tersebut tidak disertai surat perintah penangkapan dan penahanan. Selain itu, kesembilan orang tersebut menghilang selama 18 hari dan keluarga mereka tidak mengetahui di mana keberadaan Yudi Susanto beserta delapan karyawannya.

Kasus Marsinah disidangkan di Pengadilan Negeri Sidoarjo dan Pengadilan Negeri Surabaya (dua orang disidang di Sidoarjo dan sisanya di Surabaya). Setelah melalui proses persidangan yang penuh dengan kejanggalan, para terdakwa diputus bersalah dengan vonis terberat kepada Yudi Santoso, yakni 17 tahun penjara. Merasa bahwa vonis tersebut tidak adil, para tersangka mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Surabaya. Di tingkat ini, hanya Yudi Santoso yang dibebaskan, sedangkan vonis bersalah terdakwa lainnya dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Surabaya. Tak puas dengan putusan banding, para terdakwa mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Akhirnya, hampir dua tahun semenjak pembunuhan Marsinah, tepatnya pada tanggal 3 Mei 1995, majelis hakim MA membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan alias bebas murni.

Namun, nyatanya aktor di balik kejanggalan persidangan dan penetapan tersangka pembunuhan tak lain dibumbui oleh intervensi militer. Rekayasa pembunuhan Marsinah diracik oleh aparat militer yakni Kodam V Brawijaya, yang memaksa para pemilik dan karyawan PT CPS dengan cara menyiksa secara fisik dan verbal agar mengakui merekalah yang membunuh Marsinah. Kejanggalan barang bukti, hasil visum, serta saksi dipaparkan oleh dr. Abdul Mun’im Idries (saksi ahli dari Instalasi Kedokteran Kehakiman FK UI) yang mengungkapkan bahwa penyebab utama kematian Marsinah adalah karena tembakan senjata api, bukan penganiayaan biasa. Hal ini ditandai dengan luka kecil yang menyebabkan kerusakan masif, yang artinya berasal dari luka tembak. Artinya, Marsinah disiksa dan dibunuh oleh aparat negara yang memiliki akses terhadap senjata api. Berdasarkan fakta persidangan tersebut, pada tanggal 3 Mei 1995 kesembilan terdakwa dinyatakan tidak terbukti bersalah berdasarkan vonis MA dan akhirnya dibebaskan (Tirto, 2018).

Kasus pembunuhan Marsinah, buruh perempuan penantang perusahaan elit kapitalis telah memasuki tahun ke-28. Akan tetapi, akhir dari penyelesaian peristiwa ini belum nampak jelas sepenuhnya. Hal ini kembali mengingatkan bahwa tugas menjunjung tinggi keadilan hukum dan perlindungan HAM di Indonesia yang belum tuntas. Pembunuhan Marsinah menjadi bukti bagaimana tertindasnya perempuan dan kaum buruh dalam memperjuangkan hidup di era industrialisasi. Disparitas antara kelas borjuis dan proletar, tercermin dari penindasan para pemilik modal dan kekuasaan kepada buruh. Kasus Marsinah menggambarkan perjuangan buruh perempuan Indonesia yang bersuara dengan resiko nyawa, dan menghadapi teror pemangku kekuasaan (Koran Perdjoeangan, 2020).

Pembahasan di atas sampai pada kesimpulan bahwa hingga kini, perjuangan Marsinah masih belum, dan tidak akan pernah usai. Tidak terkhusus pada buruh, Marsinah telah menjadi simbol perlawanan dalam melawan ketidakadilan. Marsinah jelas menjadi salah satu batu loncatan besar dalam perjuangan buruh di Indonesia. Nama Marsinah selalu, dan akan selalu dikenang sebagai salah satu simbol pergerakan buruh di Indonesia. Buruh wanita yang mati mengenaskan itu kini bersemayam dalam hati setiap orang yang memperjuangkan keadilan. Kisahnya menjadi pelecut semangat dan perjuangan yang tak lekang oleh zaman. Pada akhirnya, semoga hadir Marsinah-marsinah lain yang lantang berjuang demi kebenaran di tanah Ibu Pertiwi.

Referensi:

Koran Perdjoeangan (2020) Refleksi 27 Tahun Kematian Marsinah, koranperdjoeangan.com. Available at: https://www.koranperdjoeangan.com/refleksi-27-tahun-kematian-marsinah/ (Accessed: 5 August 2021).

Tirto (2018) 8 Mei 1993: Pembunuhan Buruh Marsinah dan Riwayat Kekejian Aparat Orde Baru, tirto.id. Available at: https://tirto.id/pembunuhan-buruh-marsinah-dan-riwayat-kekejian-aparat-orde-baru-cJSB (Accessed: 5 August 2021).

VOA Indonesia (2018) Aktivis Perempuan Tuntut Pemerintah Ungkap Tuntas Kasus Marsinah, voaindonesia.com. Available at: https://www.voaindonesia.com/a/aktivis-perempuan-tuntut-pemerintah-ungkap-tuntas-kasus-marsinah/4376352.html (Accessed: 5 August 2021).

Qurniasari, Iyut dan Krisnadi. 2014. “Konspirasi Politik dalam Kematian Marsinah di Porong Sidoarjo Tahun 1993–1995”. Publika Budaya. 3(2).

Solihah, Sofi. 2017. “Pembunuhan Marsinah 1993–1995”. Tesis. Program Studi Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjajaran, Sumedang.

--

--