Reduksi Demokrasi dan Paradoksitas Kebebasan Berpendapat di Indonesia

Kemenpolstrat BEM FISIP UNAIR 2024
KOMA
Published in
4 min readMar 8, 2021

Oleh : Devi Eka Sari

Pernyataan Presiden Jokowi yang beberapa waktu lalu meminta agar rakyat aktif mengkritik pemerintah mendapatkan berbagai respons dari masyarakat. Pernyataan tersebut membawa angin segar sekaligus kebingungan bagi masyarakat. Bagaimana tidak? Pemerintah seolah bermuka dua dalam mengatakan pernyataan tersebut. Di mana di satu sisi pemerintah mengajak rakyat untuk aktif menyampaikan kritikan serta sarannya terhadap pemerintah dan pelayanan publik, tetapi di sisi lain pemerintahlah yang justru aktif mengopresi rakyat yang aktif bersuara dan berpendapat. Masyarakat enggan untuk menanggapi ajakan tersebut karena sudah terlanjur tenggelam dalam rasa trauma akibat banyaknya aksi penyampaian kritik yang berujung bui.

Sinisme masyarakat terhadap kontrasnya pernyataan pemerintah tersebut tentunya bukan tanpa dasar. Kasus kriminalisasi terhadap Veronica Koman [1], Ananda Badudu [2], Baiq Nuril [3], dan orang-orang lainnya telah menjadi alasan atas kesangsian masyarakat terhadap ajakan pemerintah untuk aktif menyampaikan kritik. Berbagai peristiwa yang terjadi selama periode pemerintahan Presiden Jokowi tersebut telah mengguratkan rekam jejak yang buruk perihal keterbukaan pemerintah terhadap kritik yang disampaikan oleh publik. Hal tersebut dibuktikan dengan survei Indikator Politik Indonesia [4] yang menunjukkan naiknya angka ketidakpuasan masyarakat yang awalnya sebesar 28 persen menjadi 35, 6 persen. Di mana angka tersebut merupakan titik tingkat kepuasan terendah terhadap pemerintahan Presiden Jokowi selama masa jabatannya.

Tak hanya itu, kondisi ini juga diperparah dengan turunnya skor demokrasi Indonesia yang dilaporkan oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) [5]. Laporan tersebut memaparkan fakta bahwa pada tahun 2020 skor demokrasi Indonesia telah mencapai titik terendahnya dalam kurun waktu 14 tahun terakhir. Dengan skor tersebut, Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara demokrasi cacat.

Fakta-fakta di atas tentunya tidak terlalu mengejutkan mengingat bagaimana selama ini pemerintah membungkam ekspresi kritis rakyat dengan dalih pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ancaman pidana dalam UU ITE membuat masyarakat memilih untuk tutup mulut daripada menyampaikan pendapat serta kritikannya. Selain itu, pasal-pasal dalam UU tersebut juga terkesan bias. Di mana batasan antara apa yang disebut kebebasan dan apa yang termasuk larangan seolah-olah terlihat kabur.

Salah satu yang menjadi kontroversi dalam UU tersebut adalah klausul yang menyangkut tentang pencemaran nama baik. Jika bicara tentang pencemaran, tentu yang langsung muncul dalam otak kita adalah pencemaran terhadap objek-objek kasat mata seperti air, udara, ataupun tanah. Pencemaran yang terjadi pada objek-objek tersebut mudah saja diukur dengan alat-alat khusus. Sedangkan pencemaran nama baik, dengan apa kita bisa mengukur atau mengetahui bahwa nama baik seseorang telah tercemar? Dari mana kita bisa tahu apakah nama seseorang tersebut telah berubah dari kondisi asalnya?

Tidak ada ukuran rigid yang dapat menjadi penanda bahwa nama seseorang telah tercemar. Selama ini yang dijadikan ukuran hanyalah tingkat ketersinggungan seseorang. Sedangkan seperti yang kita tahu, tingkat ketersinggungan manusia tentunya berbeda-beda. Ada yang mudah baper (bawa perasaan) dan ada yang santai-santai saja menghadapi apa yang mungkin oleh orang lain anggap sebagai suatu tindak pencemaran nama baik.

Permasalahan yang muncul ketika masyarakat membuat ukuran atau standar ketersinggungannya masing-masing pada akhirnya memperkeruh persoalan-persoalan yang sudah ada. Dalam hal ini masyarakat tak bisa sepenuhnya disalahkan. Problem ini timbul akibat lalainya pembuat aturan (pemerintah) dalam menetapkan dan menegaskan aturan-aturan yang diciptakannya secara konkret.

Selain UU ITE, peraturan lain yang menjadi isu kontroversial adalah Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 [6] tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat. Isu ini selanjutnya juga mencuri perhatian dunia internasional. Salah satu yang menyoroti isu ini adalah The Electronic Frontier Foundation (EFF) [7], sebuah organisasi internasional yang memperjuangkan kebebasan sipil berbasis elektronik. EFF menyatakan bahwa hukum regulasi internet yang termuat dalam peraturan tersebut merupakan suatu ancaman serius bagi kebebasan berpendapat atau berekspresi di Indonesia. EFF juga mendesak pemerintah Indonesia untuk mencabut peraturan tersebut karena dianggap tidak sesuai dengan hukum dan standar kebebasan berekspresi internasional.

Peraturan tersebut sejatinya dibuat sebagai bagian dari upaya untuk membuat kerangka regulasi terkait pengelolaan dan pengawasan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) yang mengoperasikan portal internet, situs web, dan aplikasi digital. Namun, pada realitanya peraturan tersebut justru dianggap merugikan banyak pihak, terutama PSE yang bergerak di bidang perdagangan, penyampaian konten, mesin pencarian, dan komputasi awan [8]. Selain itu, peraturan tersebut juga berpotensi untuk memperkuat cengkeraman pemerintah atas konten digital dan data pengguna.

Tak hanya itu, terdapat pula beberapa ketentuan yang dianggap berbahaya dalam peraturan tersebut. Pertama, pemaksaan terhadap PSE privat untuk mendaftar dan mendapatkan sertifikat ID yang dikeluarkan oleh Kominfo sebelum memberikan akses kepada masyarakat terhadap layanan atau kontennya. Kominfo akan melakukan pemblokiran jika perintah tersebut tidak dilakukan. Hal ini melanggar Pasal 19 (3) Kovenan Internasional PBB tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) [9]. Kedua, pemaksaan terhadap setiap orang yang konten digitalnya digunakan atau diakses di Indonesia untuk menunjuk kontak lokal yang nantinya akan bertanggung jawab untuk menanggapi perintah terkait penghapusan konten atau akses data pribadi. Ketiga, peghapusan konten dan dokumen yang “dianggap terlarang oleh pemerintah”. Hal tersebut tentunya sangat bersifat subjektif dan tidak memiliki standar yang jelas. Ketentuan ini tidak sesuai dengan peraturan Komite Hak Asasi Manusia (OHCHR) [10] yang mengharuskan pemerintah memformulasikan standar peraturan secara sistematis, jelas, dan dapat dengan mudah diakses oleh publik.

Dari berbagai permasalahan tersebut, peran pemerintah diperlukan untuk menjernihkan segala paradoksitas yang ada. Pemerintah perlu untuk mensosialisasikan etika berpendapat atau cara menyampaikan kritik yang benar agar masyarakat tak terjerumus ke dalam pasal-pasal yang masih kabur. Selain itu, pemerintah juga tak boleh lupa untuk menetapkan batasan atau ukuran yang jelas dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan. Dengan begitu, semoga Indonesia tidak lagi menyandang predikat sebagai negara demokrasi cacat dan semoga kebebasan berpendapat di Indonesia dapat tumbuh menjadi lebih baik lagi ke depannya.

Daftar Referensi :

[1] https://www.ohchr.org/en/NewsEvents/Pages/DisplayNews.aspx?NewsID=24990&LangID=E

[2] https://www.jpnn.com/news/polda-metro-jaya-ancam-jerat-ananda-badudu-dengan-uu-ite

[3] https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-48878086#:~:text=Baiq%20Nuril%20tetap%20dihukum%20dengan,sekolah%20tempat%20ia%20pernah%20bekerja.

[4] https://www.cnbcindonesia.com/news/20210208185756-4-221986/survei-indikator-politik-ketidakpuasan-ke-jokowi-meningkat

[5] https://www.eiu.com/n/campaigns/democracy-index-2020/

[6] https://jdih.kominfo.go.id/produk_hukum/view/id/759/t/peraturan+menteri+komunikasi+dan+informatika+nomor+5+tahun+2020

[7] https://www.eff.org/deeplinks/2021/02/indonesias-proposed-online-intermediary-regulation-may-be-most-repressive-yet

[8] https://www.hoganlovells.com/~/media/hogan-lovells/pdf/2021-pdfs/2021_01_26_corporate_and_finance_alert_indonesian_regulator_set_clearer_terms_for_internet_platforms.pdf

[9] https://www.ohchr.org/en/professionalinterest/pages/righttodevelopment.aspx

[10] https://www2.ohchr.org/english/bodies/hrc/docs/gc34.pdf

--

--