Dibalik Belenggu Pernikahan Dini

Serikat Mahasiswa Progresif UI
Kolumnar
Published in
5 min readMar 12, 2022

Oleh: Luthfiyyah Damayanti, Anggota Aktif Semar UI dan Mahasiswa UI

“Bagi wanita muda, Mas Nganten, sebenarnya tak ada kesulitan hidup di dunia, apalagi kalau ia cantik, dan rodi sudah tak ada lagi.”

Sebuah kutipan dalam Novel “Gadis Pantai” karya Pramudya Ananta Toer ini layak dalam membuka pembahasan mengenai pernikahan dini. Novel ini mengangkat kisah tentang pernikahan dini seorang gadis pantai bersuku Jawa, tepatnya di Rembang, Jawa Tengah.

Sekilas mengenai cerita dalam novel tersebut, terdapat seorang gadis yang hidup di kampung nelayan sehingga dalam cerita ini disebut sebagai Gadis Pantai. Ketika usianya masih 14 tahun, orang tua Gadis Pantai didatangi oleh utusan dari seorang pembesar di Jepara. Tak lama berselang, Gadis Pantai dinikahkan dengan seorang penguasa wilayah Jepara yang disebut sebagai Bendoro. Ketika menikah, ia hanya disandingkan dengan sebilah keris tanpa melihat wajah suaminya. Lalu, Gadis Pantai dibawa ke kota untuk tinggal di kediaman Bendoro. Ia pun harus berpisah dengan orang tuanya. Di sana, ia tak juga bertemu dengan suaminya, melainkan seorang wanita paruh baya yang mengajarkan ia bagaimana bersikap di kediaman itu, bagaimana melayani bendoro, dan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

Pada masa itu, seorang bendoro biasa memiliki istri gadis pantai, yang derajatnya lebih rendah daripadanya, dan hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Nantinya, gadis-gadis pantai ini disebut dengan Mas Nganten. Ketika Mas Nganten hamil dan melahirkan seorang bayi, ia akan diiusir dari kediaman Bendoro tetapi anaknya akan tetap berada di sana untuk dididik dan belajar mengaji.

Kehidupan Gadis Pantai di kediaman Bendoro sangat terbatas, ia hanya dilatih untuk siap melayani dan “dipakai” Bendoro. Namun, sikap Bendoro yang lembut membuat Gadis Pantai menerima saja. Meskipun begitu, keberadaan Bendoro yang jarang karena berada di kamar Mas Nganten lainnya atau sedang mencari Gadis Pantai baru, membuat cemburu Gadis Pantai. Hingga, di tahun ketiga pernikahannya, Gadis Pantai hamil dan melahirkan seorang bayi. Tak lama setelah itu, Gadis Pantai diusir dan dipisahkan dengan anaknya yang tetap berada di kediaman Bendoro. Ia pun memohon untuk tetap membawa anaknya, namun hanya pukulan dan kekerasan yang didapatkannya dari Bendoro. Ia pun menyesal dan malu jika harus pulang kembali ke desanya.

Itu adalah kisah yang menggambarkan kondisi di awal abad keduapuluh. Bagaimana dengan sekarang?

Sebuah data yang dirilis oleh BPS dan didukung oleh UNICEF menyatakan pada tahun 2008–2015, 1 dari 4 perempuan di Indonesia menikah dini. Definisi menikah dini dalam rilis ini adalah pernikahan yang dilakukan perempuan di bawah usia 18 tahun. Kondisi itu semakin parah di area rural atau pedesaan. Di mana dalam data tersebut, provinsi dengan angka pernikahan dini tertinggi bertutut-turut yakni Sulawesi Barat (34,22%), Kalimantan Selatan (33,65%), lalu Kalimantan Tengah (33,58%).

Pada tahun 2019, peraturan baru mengenai batas minimal usia layak menikah dinaikkan. Peraturan dalam Undang-undang Nomor 16 Nomor Tahun 2019 menuliskan bahwa batas usia minimal perempuan menikah yakni berusia 19 tahun. Naik satu tahun jika dibandingkan peraturan yang berlaku sebelumnya.

Apakah peraturan ini efektif?

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 jumlah pernikahan dini atau pernikahan anak pada tahun 2019 sebanyak 10,82 persen. Kemudian pada tahun 2020 menurun walaupun tidak signifikan yaitu 10,18 persen. Penurunan yang tidak signifikan ini ditengarai karena adanya Pasal 7 ayat (2) UU 16/2019 yang memberi ruang adanya dispensasi dari aturan yang berlaku. Orang tua dari pihak perempuan dan/atau laki-laki dapat mendatangi pengadilan agama untuk meminta dispensasi agar dapat melakukan pernikahan dini. Syartanya yaitu alasan yang sangat mendesak dan ketidakadanya pilihan lain disertai dengan bukti-bukti yang mendukung.

Bersamaan dengan hadirnya Pandemi Covid-19, permohonan dispensasi perkawinan juga mengalami peningkatan secara tajam. Menurut data yang dihimpun oleh Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (Badilag), dalam kurun waktu Januari hingga Juni 2020 permohonan dispensasi kawin yang masuk sebanyak 34.413 perkara, di mana sebanyak 33.664 (97,8%) diantaranya dikabulkan oleh pengadilan.

Apa alasan dibalik pernikahan dini?

Beberapa sumber mainstream, baik dari berita maupun jurnal penelitian, umumnya mengatakan bahwa pernikahan dini ditengarai oleh kondisi ekonomi, tingkat pendidikan yang rendah, tidak memiliki cita-cita, dogma yang didapatkan budaya maupun keyakinan, serta perjodohan.

Namun, sebenarnya yang menjadi akar utama yakni hilangnya kebebasan. “Kebebasan adalah hakikat paling dasar dari eksistensi manusia, karena dengan kebebasan manusia dapat menentukan pilihan atas tindakannya.” Itulah ungkapan dari Karl Jaspers, seorang filsuf Jerman pada abad ke-20.

Pernikahan dini terjadi karena tidak adanya ruang bagi perempuan dalam “memilih” untuk menikah. Kebebasan ada dalam setiap diri manusia, tidak dibatasi kondisi ekonomi, pendidikan, dan budaya yang ada.

Menyetarakan kebebasan di antara perempuan

Namun, kebebasan ini tak selamanya diartikan sama oleh setiap perempuan. Dengan latar belakang yang berbeda, kebebasan yang dimaknai setiap perempuan mungkin juga berbeda. Ada yang memaknai kebebasan tanpa batas, namun ada juga yang merasa kebebasan tetaplah berbatas. Langkah awal dalam menyetarakan kebebasan perempuan bisa diupayakan dengan penyetaraan pengetahuan.

Buku dan keleluasaan akses terhadap sumber pengetahuan bagi perempuan menjadi suatu celah pendobrak ruang-ruang batas dalam kebebasan. Pengetahuan mengarahkan perempuan untuk mampu berpikir mandiri dan melakukan sesuatu atas kehendaknya. Dari hal tersebut, perempuan akan memiliki kebebasan berpikir, kebebasan beropini, dan kebebasan memilih; yang dilanjutkan dengan implementasi berupa keberanian dalam menyampaikan pikiran, gagasan, dan pilihan mereka dalam segala situasi.

Daftar Pustaka

Goodcommerce. (2022). Retrieved March 4, 2022, from Greatmind.id website: https://greatmind.id/article/kebebasan-dan-perempuan

HARYO, R. (2017). KONSEP KEBEBASAN MANUSIA DALAM PANDANGAN KARL JASPERS — Institutional Repository. Uin-Suka.ac.id. https://doi.org/https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/28736/1/13510007_BAB-I_IV-atau-V_DAFTAR-PUSTAKA.pdf

Dewi, B. K.. (2021, May 20). Peringkat ke-2 di ASEAN, Begini Situasi Perkawinan Anak di Indonesia Halaman all — Kompas.com. Retrieved March 4, 2022, from KOMPAS.com website: https://www.kompas.com/sains/read/2021/05/20/190300123/peringkat-ke-2-di-asean-begini-situasi-perkawinan-anak-di-indonesia?page=all

Permatasari, Erizka. (2021, March). Hukumnya Menikah di Usia Dini — Klinik Hukumonline. Retrieved March 4, 2022, from hukumonline.com website: https://www.hukumonline.com/klinik/a/hukumnya-menikah-di-usia-dini-lt5b8f402eed78d

Putera, A. D. (2019, March 12). KPAI: Angka Pernikahan Dini Lebih Tinggi di Desa Halaman all — Kompas.com. Retrieved March 4, 2022, from KOMPAS.com website: https://megapolitan.kompas.com/read/2019/03/12/15270731/kpai-angka-pernikahan-dini-lebih-tinggi-di-desa?page=all

Child marriages in Indonesia. (2022). ABC News. Retrieved from https://www.abc.net.au/news/2018-05-17/child-marriages-in-indonesia/9771076?nw=0

Unknown. (2014). Donload Gratis Novel Gadis Pantai Pramoedya Ananta Toer. Retrieved March 4, 2022, from Blogspot.com website: http://kiridarikanang.blogspot.com/2014/08/donload-gratis-novel-gadis-pantai.html

Wismayanti, Y. F. (2018, December 21). Apakah DPR akan revisi UU Perkawinan untuk menghentikan pernikahan anak? Retrieved March 4, 2022, from The Conversation website: https://theconversation.com/apakah-dpr-akan-revisi-uu-perkawinan-untuk-menghentikan-pernikahan-anak-109146

--

--

Serikat Mahasiswa Progresif UI
Kolumnar

Memulai langkah pembebasan kaum tertindas dengan membangun gagasan dan gerakan progresif!