Feminis Eksistensialis : Perempuan dalam Demonstrasi, Kebebasan Berekspresi atau Eksploitasi Diri?

Serikat Mahasiswa Progresif UI
Kolumnar
Published in
6 min readMay 1, 2022

Oleh : Kinanthi Redha, Anggota Aktif Semar UI

Perayaan Hari Kartini dari tahun ke tahun diperingati sebagai hari perjuangan pergerakan perempuan. Namun, hari besar ini kemudian menguap menjadi hari yang identik dengan ajang perempuan berdandan dan mengenakan pakaian adat tiap tahunnya, entah sejak kapan dan dari mana kebiasaan ini bermula. Makna peringatan hari Kartini bergeser, seakan-akan kemampuan perempuan hanya terletak pada penampilan saja. Upaya-upaya pergerakan yang dilakukan Kartini sehingga layak mendapatkan hari khusus sebagai sebuah peringatan, pada akhirnya dilemahkan menjadi momentum peragaan busana. Tidak mengatakan bahwa kegiatan ini berkonotasi negatif, akan tetapi agaknya masyarakat lupa, apa yang sebenarnya diperjuangkan. Hari Kartini dirayakan, diperingati, untuk mengenang dan menjaga api pergerakan dari Kartini, menjadi memoar bagi seluruh perempuan bahwa langkah awal Kartini adalah penyebab dari apa yang kita rasakan saat ini, proses menuju kesetaraan.

Tujuan utama dari pergerakan Kartini adalah menjamin perempuan memiliki hak yang sama sebagaimana yang didapatkan oleh laki-laki. Suara perempuan juga berhak untuk didengar, dan pada dasarnya, kebebasan berekspresi tanpa melihat gender adalah tujuan utama dalam setiap pergerakan. Selama ini perempuan dikonstruksi sedemikian rupa untuk menjadi perempuan yang ‘diinginkan’ masyarakat. Perempuan hanya menjadi objek dalam berbagai aspek, dalam berbagai bentuknya. Pada praktiknya, seseorang tidak lahir sebagai perempuan, tapi dibentuk menjadi perempuan. Masyarakat menuntut segalanya pada perempuan, seakan-akan hal itu belum memuaskan mereka dalam menilai perempuan secara objektif. Perempuan perlu menunjukkan eksistensialis mereka, menuntut masyarakat untuk melihat perempuan sebagai subjek, sebagai manusia yang juga berhak untuk beropini, hidup, dan memiliki kebebasan untuk memilih keputusan dalam hidupnya.

Untuk mengubah persepsi gambaran kecantikan di hari Kartini dan tetap menjaga api semangat pergerakan yang pada awalnya diperjuangkan oleh Kartini, masyarakat perlu untuk mengingat, melestarikan, dan mengembangkan apa yang telah Kartini mulai. Siapapun wajib turut serta, tak hanya perempuan saja, terutama kontribusi mahasiswa sebagai lembaga yang paling fleksibel dan wadah yang mudah menyampaikan suatu isu. Bukan menjadi lembaga yang utama, namun sebagai salah satu promotor pergerakan yang memiliki pengaruh yang besar pada setiap pergerakan yang ada di suatu negara. Perempuan harus bergerak, perempuan harus berubah, mengusahakan adanya perubahan baik dalam diri sendiri yang pada perkembangannya akan berdampak pada lingkungannya, perempuan harus mengisi peran-peran aktif dalam masyarakat.

Pergerakan pun memiliki banyak bentuk, baik secara langsung, maupun tidak langsung. Mahasiswa adalah wadah yang dinilai memiliki cukup fleksibilitas dalam mengolah pergerakan tersebut. Demo adalah salah satu alat ekspresif untuk menyatakan pendapat dalam melanggengkan demokrasi di suatu negara, meskipun memang dalam penyampaian pendapat tidak selalu harus turun ke jalan. Seperti yang dapat kita ketahui, dalam mengkomunikasikan aspirasi tersebut terdapat slogan-slogan yang memuat diksi provokatif, mudah diingat, dan fokus pada permasalahan atau apa yang akan disampaikan. Sebagai bentuk dari kebebasan berpendapat, menyampaikan aspirasi melalui slogan-slogan tersebut juga menunjukkan eksistensi sebagai manusia. Eksistensi diri bahwa kita semua adalah satu individu yang hidup sebagai subjek di dalam suatu negara.

Melihat fenomena sosial beberapa waktu lalu dimana pada demonstrasi mahasiswa menolak tiga periode Presiden, terlihat beberapa mahasiswa membawa beberapa tulisan berisi tuntutan yang menimbulkan kehebohan di masyarakat karena dinilai mengandung konotasi yang negatif dan sensual. Pada penilaian masyarakat kebanyakan perilaku ini cukup tabu untuk dilakukan di lingkungan umum, ditambah pelaku utama adalah para mahasiswa yang diharapkan memiliki sopan santun dan moralitas. Hal ini memunculkan pertanyaan yang menarik untuk diulik. Bagaimana dengan koherensi terkait slogan-slogan yang saat ini masih hangat diperbincangkan, dengan banyaknya reaksi masyarakat yang pro dan kontra, apakah hal tersebut termasuk ke dalam kebebasan berekspresi atau malah menjadi bentuk eksploitasi diri, sebagai proses dari pencarian dan memperlihatkan eksistensi dari suatu individu?

Cakupan dari hak kebebasan berekspresi terdiri dari dua argumen kuat. Argumen pertama adalah kebebasan merupakan prasyarat penting bagi keberlangsungan hidup demokrasi. Perlindungan perlu untuk diberikan terhadap kebebasan berekspresi terhadap masyarakat dan pemberlakuannya perlu dilindungi oleh negara yang representatif. Argumen kedua yakni bahwa kebebasan tersebut perlu untuk memberikan perlindungan terhadap individu sebagai sebuah entitas yang bebas dan merdeka serta tidak terbelenggu oleh tirani keotoriteran. Teori demokrasi mengenal bahwa kebebasan berekspresi dan pemerintahan yang representatif saling berkaitan, namun nampaknya terdapat kesalahpahaman berkaitan dengan hubungannya.

Keterkaitan keduanya adalah kebebasan berekspresi dan pemerintahan yang representatif memberikan kemajuan dalam kapasitas individual dan cara hidup tertentu dalam kerangka kebebasan manusia yang pada hakikatnya bebas dan merdeka. Di bawah Pemerintahan yang ‘representatif’, individual diperkenankan untuk menentukan sendiri kepentingan masing-masing dan untuk memberikan pandangan mereka sendiri. Seorang individu yang membuat pandangan sendiri dan yang berpartisipasi dalam pemerintahan akan berkembang sebagai individu yang cerdas dan peka terhadap nilai-nilai. Demikian pula individu yang melaksanakan hak nya dalam kebebasan berekspresi, dalam berbagai bentuk bahkan dalam berwarga negara akan berkembang menjadi manusia yang berpikir kritis.

Dalam eksistensialisme feminis, konsep Sartre yang paling dekat adalah ‘etre pour les autres’ atau yang berarti ada untuk orang lain. Ini adalah filsafat yang melihat relasi-relasi antar manusia. Sayangnya dalam hal relasi antara laki-laki dan perempuan, laki-laki mengobjekkan perempuan dan membuatnya sebagai “yang lain” (Other). Laki-laki adalah subyek dan perempuan adalah objek. Sebagai konteks penjelasan sebelumnya, menurut Sartre, terdapat tiga bentuk “eksistensi/keberadaan” pada suatu individu, yaitu Ada dalam dirinya (etre en soi), ada bagi dirinya (être pour soi), dan ada untuk orang lain (être pour les autres). Etre en soi adalah ada yang penuh, sempurna, dan digunakan untuk membahas obyek-obyek yang non manusia karena ia tidak berkesadaran. Sedangkan etre pour soi mengacu kepada kehadiran yang bergerak dan berkesadaran, yang merupakan ciri khas manusia yang mempunyai aktivitas menidak. Hal ini sama dengan kebebasan untuk memilih.

Eksistensialisme feminisme timbul tenggelam di masyarakat. Hidup dalam ketiadaan, sesuatu yang ‘ada’ namun semu. Peran perempuan dalam setiap pergerakan kadang luput dari urgensi, bahkan tak jarang hanya dianggap sebagai pelengkap dalam setiap kegiatan saja. Peran perempuan yang belum sepenuhnya aktif di masyarakat juga secara sadar atau pun tidak juga menjadi batu pemberat untuk label yang melekat pada perempuan sebagai objek. Perempuan harus bekerja lebih keras berkali lipat, ditambah PR yang tidak kunjung usai untuk memerangi patriarkisme, memperjuangkan isu yang sedang dituntut, dan melawan struktur sosial yang mengekang.

Lalu apa perbedaan kebebasan berekspresi dengan eksploitasi diri? Menurut KBBI, eksploitasi merupakan suatu pengusahaan, pendayagunaan, pemanfaatan untuk keuntungan sendiri, pengisapan, dan pemerasan. Dalam kasus diksi pada poster dan slogan mahasiswa tersebut, dapat pula diasumsikan sebagai pengungkapan jati diri yang sebenarnya tidak harus dilakukan. Hal ini berkaitan dengan esensi dari setiap perilaku-perilaku mahasiswa tersebut. Terutama pada kasus ini adalah demonstrasi yang membawa tuntutan-tuntutan rakyat. Kebebasan memang dijamin, namun perlu juga memperhatikan koherensi antara slogan yang ditulis dengan tuntutan yang dibawa.

Eksploitasi dengan menunjukkan diri ke publik demi mendapatkan ketenaran dan atensi dari masyarakat. Merujuk pada teori Jean Baudrillard tentang fenomena hiperrealitas, pada masa ini dunia sudah diselimuti oleh hiperrealitas yang kemudian menjadi sebuah realitas baru yang mengubah cara pandang manusia terhadap dunia, termasuk pandangan pada manusia itu sendiri. Pada akhirnya konsumerisme atensi ini menjadi target dari kapitalisme yang kemudian menjadikan kita objek dari sebuah simulasi.

Mahasiswa yang memilih untuk menggunakan diksi yang berbau sensual, seperti penggunaan kata ‘ronde’, mungkin sebenarnya juga tidak paham dengan gerakan-gerakan perempuan yang hidup sebelum mereka, bagaimana pada akhirnya Orde Baru berhasil melakukan genosida, tidak hanya pada nyawa manusia, tapi juga pada intelektualitas masyarakat. Ketakutan ini mengakar menjadi sebuah kebudayaan bodoh. Ketakutan untuk menjadi progresif, ketakutan untuk mencari tahu, ketakutan untuk menjadi berbeda. Jika sudut pandang kita dalam melihat suatu masalah diperluas pada kasus ini, kita mungkin bisa memahami bahwa slogan-slogan dalam poster mereka sebenarnya hanya mencerminkan minimnya pendidikan politik yang mereka dapatkan.

Referensi

Sumber Literasi

Nadia Urbinati, Condorcet’s Democratic Theory of Representative Government, January 1 2004, European Journal of Political Theory, Volume 3, Issue 1

Azwar, M. (2014). Teori Simulakrum Jean Baudrillard dan upaya pustakawan mengidentifikasi informasi realitas. Jurnal Ilmu Perpustakaan & Kearsipan Khizanah Al-Hikmah, Vol. 2 №1, hlm. 38–48

Hastiti Pawanti, M. 2013. MASYARAKAT KONSUMERISME MENURUT KONSEP PEMIKIRAN JEAN BAUDRILLIARD. Jurnal UI. Vol.01/№02.

Sumber Non-Literasi

Amnesty Indonesia. 2021. Kebebasan berekspresi. Diakses melalui https://www.amnesty.id/kebebasan-berekspresi/

Rahmawati, Wiwit Nabillah. 2020. Program Studi Sosiologi. Universitas Jember. https://www.sosiologi.info/2020/10/teori-jeand-baudrillard-dan-contoh-fenomena-sosial.html

--

--

Serikat Mahasiswa Progresif UI
Kolumnar

Memulai langkah pembebasan kaum tertindas dengan membangun gagasan dan gerakan progresif!