Mengenal Ekosida dan Pemusnahan Lingkungan Skala Massal

Serikat Mahasiswa Progresif UI
Kolumnar
Published in
13 min readJun 4, 2021

Oleh: Ruben*

Ilustrasi Design

Setiap tanggal 5 Juni orang-orang dari mancanegara turut memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Berbagai jenis perayaan, mulai dari propaganda, koreografi, poster hingga ajakan-ajakan menjadi momentum untuk meninjau ulang usaha membatasi penggunaan energi dan mengevaluasi upaya konservasi lingkungan hidup. Namun, meningkatnya suhu bumi yang berpotensi melebihi batas 1.5 derajat celcius yang telah disetujui setiap tahunnya menurut WMO (BBC Indonesia, 2020), kenaikan permukaan air laut yang diprediksi mencapai angka 9–88 cm tiap tahunnya pada abad ke-21 menurut peneliti Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), dan menurunnya kualitas faktor-faktor penunjang kehidupan seperti udara dan air menjadi pengingat bagi masyarakat bahwa kondisi bumi tidak baik-baik saja. Ditambah lagi kasus-kasus kerusakan lingkungan seperti kebakaran dan penebangan hutan untuk pembukaan lahan serta pengesahan kebijakan-kebijakan yang dinilai destruktif dan eksploitatif kerap menambah catatan hitam perlindungan lingkungan hidup di Indonesia. Bila kita lihat lebih dekat, banyak dari kerusakan sistemik terhadap lingkungan hidup seperti yang disebutkan di atas telah memenuhi kriteria kejahatan terhadap lingkungan, yakni ekosida.

Sampai saat ini, kata ekosida belum diserap ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Lantas kata ekosida atau ecocide masih terdengar asing di telinga orang Indonesia. Namun, ecocide dalam Bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai ekosida. Ekosida sendiri merupakan penggabungan dari eco dan cide. Kata eco berakar dari kata dalam Bahasa Yunani Kuno, yaitu oikos yang dapat diartikan sebagai rumah tangga yang sudah berlangsung lama, dalam hal ini dapat mengacu ke habitat atau lingkungan hidup. Kata Cide berasal dari kata kerja Bahasa Latin cidere yang berarti menebang, membunuh dan memusnahkan. Ekosida merupakan pemusnahan habitat atau ekosistem. Maka, dapat diartikan kejahatan Ekosida adalah kejahatan pemusnahan atau pembinasaan terhadap lingkungan hidup (Saleh, 2020). Selain itu, lingkungan hidup sendiri didefinisikan dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

Bahasan mengenai ekosida bermula dari pecahnya Perang Vietnam pada sekitar tahun 1960. Bumi Vietnam pada masa itu menjadi saksi bisu kehancuran ekosistem akibat penggunaan bom napalm secara ekstensif untuk membakar persembunyian Vietcong dan agent orange, sebuah herbisida untuk mematikan vegetasi dan sawah yang menjadi corak utama bentang alam Vietnam (Falk, 1973). Sebesar 5 juta hektar hutan dan 500,000 hektar sawah porak poranda akibat kurang lebih 20,000 ton herbicide yang dijatuhkan pesawat-pesawat Amerika ke hutan persembunyian Vietcong (Amadeo, 2020). Dampak yang disebabkan oleh total war di atas tidak berhenti di deforestasi dan defoliasi, tetapi juga ke warga sipil. Riset dari Palang Merah mendukung hal tersebut, dengan menyatakan bahwa sekitar 3 Juta warga Vietnam terkena dampak kesehatannya termasuk juga kurang lebih 150,000 bayi lahir dengan cacat selama dan sesudah perang ini berlangsung.

Melihat kekejaman selama Perang Vietnam, Arthur Galston, seorang ahli biologi dari Amerika, mengusulkan sebuah perjanjian internasional baru untuk mencegah kejahatan ekosida pada Konferensi Perang dan Tanggung Jawab Nasional di Washington tahun 1970. Dalam pidatonya, beliau menggagas kata ekosida yang biasa kita temukan dalam literatur lingkungan (Brady, 2014). Pada tahun 1973, Richard A. Falk beserta peneliti dan ahli hukum darimancanegara mengajukan draft Konvensi Ekosida kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Draft tersebut bertujuan untuk melindungi bumi dan semua spesies dari kejahatan ekosida. Walaupun draft Falk tidak pernah teradopsi, PBB tetap mempertimbangkannya karena berkaitan erat dengan keefektifan Konvensi Genosida. Draft tersebut terus menjadi acuan dalam perumusan undang-undang dan peraturan mengenai kejahatan terhadap budaya, kaum minoritas dan kerusakan terhadap ekosistem (Saleh, 2020).

Pada tahun 1998, PBB menyelenggarakan konferensi di Roma untuk membahas tentang rancangan pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court — ICC). Konferensi ini melahirkan sebuah mekanisme baru dalam memproses kejahatan internasional yang dikenal sebagai Statuta Roma. Di dalamnya tertulis 4 jenis kejahatan yang menyangkut masyarakat internasional, antara lain: kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi (Elsam, 2014). Kejahatan ekosida dihapus dari Statuta Roma karena dipertimbangkan untuk dikaitkan sebagai kejahatan perang. Menurut Environmental Modification Convention (ENMOD) yang ditetapkan 21 tahun silam, suatu kejahatan lingkungan dapat diklasifikasi sebagai kejahatan ekosida apabila mengakibatkan kerusakan yang parah, meluas, atau berkepanjangan terhadap lingkungan hidup (ENMOD, 1977). Sedangkan di Pasal 8 ayat 2 huruf b Statuta Roma, definisi ekosida diubah dalam ENMOD menjadi kerusakan yang parah, meluas dan berkepanjangan. Perubahan diksi ‘atau‘ menjadi ‘dan’ mengubah makna yang dulunya hanya membutuhkan salah satu kriteria kini memerlukan ketiga kriteria di atas untuk diklasifikasi sebagai ekosida. Pada tahun 2011, Polly Higgins, seorang pengacara dari Inggris, berusaha menginisiasi amandemen terhadap Statuta Roma untuk memasukan ekosida menjadi kejahatan lingkungan yang bisa diadili di ICC. Namun, upaya itu belum berhasil sampai saat ini, hingga beliau wafat di tahun 2019.

Indonesia sebenarnya sudah memiliki legal framework yang berorientasi lingkungan. Dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (UUD NRI 1945), menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk lingkungan hidup yang layak. Lalu, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH mengharuskan pembuatan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan pertimbangan-pertimbangan lainnya dalam melakukan sebuah proyek. Sayangnya, instrumen hukum yang berlaku saat ini berlaku masih berfokus kepada negara sebagai aktor utamanya. Padahal, ketika membahas tentang kerusakan lingkungan, non state actor terutama korporasi yang tidak bertanggung jawab menjadi aktor utama terhadap pemusnahan lingkungan hidup dan ekosistem. Direktorat Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Sustyo Iriyono, menyatakan bahwa kementerian telah menyegel 90 perusahaan perusak hutan sepanjang tahun 2019. Lebih lanjut, pihaknya juga menyebut bahwa dalam 5 tahun terakhir (2014–2019) terdapat 4.103 pengaduan terkait kerusakan lingkungan dengan kenaikan setiap tahunnya (Hidayat, 2020). Hal ini menunjukan bahwa birokrasi terkait penanganan kerusakan lingkungan di Indonesia belum mumpuni. Adapun instrumen hukum yang berlaku saat ini dinilai masih memungkinkan negara dan perusahaan merampas lingkungan hidup dan Sumber Daya Alam (SDA) dengan impunitas (WALHI, 2019). Kerusakan ekosistem masif secara global seperti penebangan hutan Amazon, bencana nuklir Fukushima, eksploitasi pasir Athabasca dan ekstraksi tambang oleh Freeport McMoran di Papua dalam waktu panjang dapat digolongkan sebagai kejahatan internasional. Dampak dari kerusakan ekosistem ini tentunya mempengaruhi warga yang tinggal di wilayah yang bersangkutan seperti yang terjadi ketika bencana nuklir Fukushima, dimana 18.000 orang meninggal dan 150.000 orang dipaksa mengungsi (BBC, 2021)

Apabila ditelisik lebih jauh, kerusakan lingkungan akibat ulah manusia tidak bisa lepas dari pengaruh kapitalisme (Saleh, 2020). Kapitalisme sendiri adalah sebuah sistem sosial-ekonomi dimana pemilik modal atau kapital mengambil nilai lebih (surplus) dari produsen, dalam hal ini buruh yang membuahkan akumulasi kapital, baik dalam bentuk investasi atau harta kekayaan bagi si pemilik modal tersebut (Magdoff, 2011). Kepemilikan mode of production berperan penting dalam suatu masyarakat. Kepemilikan ini lah yang membentuk sebuah relasi produksi di masyarakat dan kesadaran sosial (seperti kapitalisme dimana ada hubungan kelas borjuis dan proletar) serta bagaimana sebuah komunitas memproduksi dan mempertahankan eksistensinya yang berujung pada penentuan bentuk politik, sosial dan intelektual secara umum (Eatwell, 1990). Dalam konteks kerusakan lingkungan, terkadang persepsi materialistis masyarakat dan pemangku kebijakan yang menganggap lingkungan hidup sebagai suatu komoditas menjadi salah satu alasan mengapa eksploitasi dan ekstraksi secara terstruktur, sistematis dan masif masih terjadi sampai sekarang.

Ilustrasi Kerusakan Lingkungan (Sumber: OpinioJuris)

Pemain besar kapitalisme di era modern ini tidak lain adalah perusahaan multinasional atau TNC (Transnational Corporation). Dari 100 kekuatan ekonomi terkuat pada masanya, 57 merupakan negara-negara, tetapi 43 berbentuk TNC. Dimudahkannya investasi oleh TNC untuk menanam modal di Indonesia berpotensi memperbesar resiko eksploitasi yang berujung pada kerusakan lingkungan hidup. Bahkan di beberapa kasus mereka dilindungi oleh aparatur negara seperti politisi (Lekachman, 1981). Misalnya, beberapa peraturan terkait AMDAL seperti Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31 UU PPLH ikut diubah dalam Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja (UU CK), termasuk juga partisipasi dan peran publik dalam pembuatannya. Yang dulunya di Pasal 29 UU PPLH disebutkan bahwa dokumen amdal dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang terdiri dari Pemerintah Pusat, Daerah atau Bupati/walikota, kini diganti di Pasal 24 UU CK menjadi Lembaga Uji Kelayakan Pemerintah Pusat yang bertugas menguji kelayakan lingkungan hidup. Lembaga ini terdiri dari orang Pemerintah Pusat, Daerah dan Ahli dengan sertifikat. Hal ini dilakukan lantaran izin amdal yang perlu dianalisis mencapai 1.500, sehingga memperlambat proses perizinan. Hal ini tentunya mendapat respon yang beragam dari berbagai pihak. Direktur Eksekutif WALHI, Nur Hidayati, mengatakan bahwa hal ini dapat menimbulkan implikasi baru, yakni menjauhkan akses informasi bagi rakyat lokal dan pelaku usaha dalam melakukan pengkajian AMDAL.

Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace, Hindun Mulaika, kerap vokal dalam permasalahan proses perizinan yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat (Alika, 2020). Selain itu, ketentuan tentang 30% hutan yang harus dipertahankan ikut dihapus dalam UU CK. Sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan diubah dalam Pasal 35 UU CK, yang mana tertulis bahwa penghapusan dan perubahan untuk memberikan kemudahan dan keleluasaan bagi pelaku usaha serta kemudahan persyaratan investasi dari sektor kehutanan (Maharani, 2020). Proses perancangan UU ini bisa dikatakan tidak jauh dari kepentingan para pebisnis. Sebuah riset dari Yayasan Auriga Nusantara bersama Tempo bahwa ada 262 orang atau 45,5% dari 575 Anggota DPR yang terafiliasi dengan 1.016 korporasi (Tempo, 2019). Omnibus Law UU CK ini telah mengundang diskursus dan polemik di masyarakat. Salah satunya adalah relevansinya dengan instrumen analisis sosial Marx yang masih sering digunakan oleh para sosiolog dalam menganalisis dan menjelaskan secara kritis fenomena yang terjadi di dalam sebuah masyarakat serta hubungannya terhadap ekologi.

Berkaca pada parahnya kerusakan lingkungan yang telah dijabarkan di atas, sangat disayangkan ekosida belum dimasukan kedalam pelanggaran HAM berat di Indonesia. Menurut UU Nomor 26 Tahun 2000 Pengadilan Hak Asasi Manusia (Pengadilan HAM), ekosida belum termasuk pelanggaran HAM berat. Dijelaskan dalam pasal tersebut bahwa pelanggaran HAM berat mencakup dua hal, yakni genosida dan kejahatan kemanusiaan, dan ekosida tidak termasuk ke dua spektrum tersebut. Padahal, dampak akibat ekosida tidak berhenti pada eksistensi lingkungan hidup itu sendiri, namun juga kepada manusia dan entitas lainnya di sekitar wilayah yang terdampak.
Contoh kasus pemusnahan lingkungan hidup yang merupakan pelanggaran HAM adalah Lumpur Lapindo atau Lumpur Sidoarjo. Letusan yang terjadi sejak tahun 2006 ini menghasilkan luberan lumpur panas, uap, dan gas bumi yang menjadi semburan lumpur terbesar di Dunia. Tragedi ini bermula ketika PT Lapindo Brantas melakukan eksplorasi gas di sebuah sumur pada Area Brantas PSC. Adanya human error dan kelalaian dalam proses pengeboran menyebabkan air, uap dan gas meletus keluar dan menggenangi sampai dengan 1.143,1 Hektar lahan. Pihak PT Lapindo Brantas menggunakan dalih bahwa terjadi gempa berkekuatan 6,3 SR di area pengeboran, meski dibantah oleh ilmuwan dari Amerika, Inggris, Indonesia Australia, dan intervensi Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengumumkan bahwa PT Lapindo Brantas dan pemiliknya, Grup Bakrie, harus mengganti rugi ribuan korban yang terkena dampak lumpur. Menurut keterangan tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Peristiwa Lumpur Panas Lapindo menyimpulkan ada bukti kejahatan terhadap kemanusiaan yang cukup untuk menduga pelanggaran HAM yang berat misalnya korban jiwa sebanyak 200 orang dan pemindahan sebanyak 40.000–60.000 orang akibat semburan lumpur panas (WALHI, 2019). Belum lagi dari aspek ekonomi, sosial dan budaya seperti kerusakan lingkungan hidup, penyakit dan degradasi lingkungan yang ditimbulkan akibat logam berat, dan permasalahan ekonomi yang bersifat materi. Pada akhirnya, Komnas HAM menyatakan bahwa insiden ini bukan tergolong sebagai pelanggaran HAM berat pada tahun 2012 karena UU Pengadilan HAM hanya mengatur dua kategori yang termasuk pelanggaran HAM berat, yaitu kejahatan kemanusiaan dan genosida, sehingga lumpur Lapindo tidak bisa diperlakukan sebagai pelanggaran HAM berat melalui mekanisme undang-undang tersebut. Oleh sebab itu, kejahatan yang dilakukan PT Lapindo Brantas di Sidoarjo hanya masuk kategori pelanggaran HAM biasa walau terdapat 15 poin HAM yang dilanggar akibat semburan lumpur panas tersebut (Desyanti, 2012).

Kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) juga merupakan salah satu headline yang kerap mengisi berita tentang bobroknya perlindungan lingkungan hidup di Indonesia. Meski frekuensinya menurun belakangan ini, tidak dapat dipungkiri bahwa karhutla adalah musuh kita bersama. Dalam kurun waktu 2015 hingga 2019, sebesar 4,4 juta hektar lahan atau setara dengan 8 kali luas Pulau Bali terbakar. Dari keseluruhan lahan yang terbakar, 30% kasus terjadi di wilayah konsesi perusahaan-perusahaan sawit. Ajaibnya, 8 dari 10 perusahaan yang bertanggung jawab atas lahan konsesinya belum menerima sanksi (Greenpeace, 2020).

Dampak bombastis akibat karhutla sangatlah multi-dimensional dan tentunya merugikan, baik untuk lingkungan hidup dan manusia yang hidup berdampingan dengannya. Bank Dunia (World Bank) mengungkapkan bahwa total kerugian Indonesia akibat karhutla di tahun 2019 sendiri mencapai US$ 52,5 miliar atau setara 72,95 miliar Rupiah sebagaimana yang tercatat di publikasi World Bank yang berjudul Indonesia Economic Quarterly Reports (Kompas, 2019). Tidak hanya materi, timbulnya asap akibat kebakaran hutan juga mengancam nyawa manusia. Berbagai penyakit seperti Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), asma bronkial, pneumonia, iritasi, hingga kanker (Rasyid, 2014). Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan bahwa sampai tanggal 23 September 2019, korban ISPA kumulatif akibat asap kebakaran hutan di beberapa provinsi di atas mencapai angka 919.516 jiwa.

Melihat besarnya pengaruh non-state actors dalam hal ini korporasi pada sistem hukum dan politik dan sulitnya mengontrol korporasi, komunitas internasional di PBB sudah mengupayakan hal ini sejak sekitar tahun 1970 melalui United Nations Centre on Transnational Corporations (UNCTC) dan Intergovernmental Commission on Transnational Corporations (ICTC). Upaya untuk mengontrol korporasi kembali dilanjutkan di tahun 1998 melalui UN Sub-Commission on the Promotion and protection of Human Rights dan dibentuklah sebuah Kelompok Kerja (Working Group) untuk menyusun sebuah standar norma untuk TNCs (Draft Norms). Namun, pada tahun 2004, UN Commission on Human Rights menolak dan menyatakan draft tersebut tidak memiliki kedudukan hukum. Akibat ditolaknya draft tersebut, pada tahun 2005 dibentuklah United Nations Guiding Principles on Business and Human Right (UNGP BHR). UNGP sendiri bersifat voluntary sehingga semuanya kembali lagi pada itikad baik perusahaan untuk mengikuti atau tidak. Hal ini membuat banyak pihak menganggap bahwa UNGP belum bisa menjamin akuntabilitas korporat dan lemahnya mekanisme pemulihan dalam meminta pertanggungjawaban korporasi pada akhirnya kembali mendesak UNHCR agar membuat sebuah instrumen hukum yang mengikat. Instrumen yang dimaksud adalah legally binding treaty untuk menutup celah regulasi dan kesenjangan hukum di negara-negara berbeda (WALHI, 2019).

Mengingat urgensi dari ekosida dan perlindungan lingkungan yang penting untuk dilakukan, maka diperlukan langkah strategis untuk ikut andil dalam upaya konservasi. Hal paling mudah adalah membawa diskursus ekosida ke dalam pembicaraan baik akademis maupun non-akademis untuk meningkatkan awareness serta mendorong kepedulian masyarakat terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi di sekitar. Setelah melakukan eskalasi, hal berikutnya adalah meminta Komnas HAM agar melakukan kajian terhadap ekosida sebagai salah satu pelanggaran HAM berat ke dalam perubahan UU Pengadilan HAM sebagai upaya mengurangi kerusakan lingkungan akibat ulah korporat atau pihak manapun yang tidak bertanggung jawab. Mengingat lamanya proses membangun norma hukum terhadap kejahatan ekosida, maka untuk wilayah di mana terjadi kejahatan ekosida diperlukan upaya politis untuk mendesak dipenuhinya hak pemulihan dan sinergitas antara jaringan organisasi masyarakat sipil dalam melakukan advokasi untuk mendorong perubahan kebijakan. Terakhir, juga perlu dipastikan bahwa pemerintah Indonesia untuk mendukung penuh dan aktif terhadap proses dan pembahasan aturan yang bersifat mengikat bagi bisnis (TNC/MNC/OBE’s) untuk memenuhi ketentuan HAM yang berlaku dalam prosedur bisnis.

Dalam menanggapi kerusakan lingkungan akibat ulah korporasi yang tidak bertanggung jawab, penting diperhatikan proses adopsi regulasinya. Dalam hal ini, Indonesia bisa mencontoh Swiss dalam upaya pengambilan kebijakan yang menyangkut Business and Human Right. Pada bulan November 2016, koalisi masyarakat sipil Swiss meluncurkan Responsible Business Initiative kepada perusahaan Swiss yang melakukan pelanggaran HAM baik secara domestik maupun internasional. Koalisi tersebut juga menuntut agar Business Human Rights dapat masuk ke konstitusi mereka dan di dalamnya juga terdapat human rights due diligence bagi perusahaan asal Swiss. Setelah proses hukum yang berbelit, maka pada bulan November 2020 diadakan referendum (Plüss, 2020). Meskipun pada akhirnya inisiatif masyarakat tersebut kalah dengan margin 1% di referendum, hal ini menjadi sebuah pelajaran politik yang menarik untuk dibahas terutama dalam hal partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan.

Pemusnahan massal lingkungan secara terstruktur, sistematis dan masif terhadap lingkungan hidup dalam bentuk ekosida telah merusak flora dan fauna bumi Indonesia yang kaya raya. Tidak berhenti di sana, ekosida juga telah merenggut penghidupan dan nyawa masyarakat. Meski begitu, perkembangan zaman dan teknologi juga harus tetap berjalan mengingat dinamika pengetahuan yang terus berubah. Menjaga kelestarian lingkungan hidup di tengah arus perkembangan industrialisasi dan digitalisasi yang pesat merupakan tantangan bagi generasi kita. Jangan sampai bumi Indonesia yang indah nan asri dikebiri atas dalih pembangunan ekonomi dan semuanya harus berjalan seimbang. Mengingat besarnya tanggung jawab tersebut, diperlukan sinergitas serta kesadaran antara pemerintah dan masyarakat, dan yang terpenting, kemauan untuk sama-sama membenahi perlindungan lingkungan dan ekosistem bumi ibu pertiwi.

Mahasiswa Geofisika UI dan Anggota SEMAR UI

Referensi

Sumber Literasi

Saleh, Ridha M. (2020). Ecocide: Melawan Pelanggaran Berat HAM di Indonesia. Jakarta: Rayyana Komunikasindo.

Statuta Roma — Referensi HAM. (n.d.). ELSAM. Retrieved April 25, 2021, from https://referensi.elsam.or.id/2014/10/statuta-roma/

Saleh, R., Setiawan, W. E., Indriani, D., Rahman, F., M., Khalid, K., Cahyono, E., Hadinugroho, A., Iswinarto, A., & Indonesia, W. L. H. (2019). Ecocide : Memutus Impunitas Korporasi — Walhi Riau. Cahaya Indonesia Publisher.

Eatwell, J., Milgate, M., & Newman, P. (1990). Marxian Economics (The New Palgrave) (1990th ed.). Palgrave Macmillan.

Rasyid, Fachmi. (2014). Permasalahan dan Dampak Kebakaran Hutan. Jurnal Lingkar Widyaiswara. www.juliwi.com.

Brady, L.M. (January 2014). The Invention of Ecocide: Agent Orange, Vietnam, and the Scientists Who Changed the Way We Think about the Environment by David Zierler (review). Journal of Cold War Studies, 16(1), 224–226.

Magdoff, Fred & Foster, J. Bellamy. (2011). What Every Environmentalist Needs to Know About Capitalism: A Citizen’s Guide to Capitalism and Environment. New York: Monthly Review Press.

Lekachman, R. (1981b). Capitalism for Beginners. Pantheon.

Falk, R. A. (1973). Environmental Warfare and Ecocide — Facts, Appraisal, and Proposals. Bulletin of Peace Proposals, 4(1). https://doi.org/10.1177/096701067300400105.

ENMOD (1997). Convention on the Prohibition of Military or Any Other Hostile Use of Environmental Modification Techniques (ENMOD Convention).

Sumber Non-Literasi

BBC News Indonesia. (2021, March 10). Tsunami di Jepang 10 tahun lalu, bagaimana kelanjutan proyek nuklir Fukushima? https://www.bbc.com/indonesia/dunia-56335029

Alika, R. (2020, October 9). Dampak Lingkungan dari Hilangnya Komisi Amdal di UU Cipta Kerja. Katadata. https://katadata.co.id/pingitaria/berita/5f7fdbc3d4737/dampak-lingkungan-dari-hilangnya-komisi-amdal-di-uu-cipta-kerja#:%7E:text=Salah%20satu%20perubahan%20aturan%20yang,Perlindungan%20dan%20Pengelolaan%20Lingkungan%20Hidup.

BBC News Indonesia. (2020, July 9). Pemanasan global: Suhu bumi “kemungkinan naik” lebih dari 1,5 derajat Celcius, apa dampaknya bagi kita? https://www.bbc.com/indonesia/majalah-53333134

Amadeo, K. (2020, February 19). How the Vietnam War Affects You Today. The Balance. https://www.thebalance.com/vietnam-war-facts-definition-costs-and-timeline-4154921

Chin, S. (2020, September 24). Symposium Exploring the Crime of Ecocide: Can Deforestation Amount to Ecocide? Opinio Juris. https://opiniojuris.org/2020/09/24/symposium-exploring-the-crime-of-ecocide-can-deforestation-amount-to-ecocide/

Clearwater County Veterans Memorial. (n.d). The Vietnam War. Retrieved from https://ccvetmemorial.org/the-vietnam-war/.

Maharani, T. (2020, November 3). UU Cipta Kerja Hapus Ketentuan soal 30 Persen Kawasan Hutan yang Harus Dipertahankan. KOMPAS.Com. https://nasional.kompas.com/read/2020/11/03/18565731/uu-cipta-kerja-hapus-ketentuan-soal-30-persen-kawasan-hutan-yang-harus.

Hidayat, A. (2020, January 6). Pemerintah Tangani 1.426 Aduan Kerusakan Lingkungan. Tempo. https://koran.tempo.co/read/nasional/449054/pemerintah-tangani-1-426-aduan-kerusakan-lingkungan

Plüss, J. D. (2020, November 30). Switzerland: Responsible Business Initiative rejected at ballot box despite gaining 50.7% of popular vote. Business & Human Rights Resource Centre. https://www.business-humanrights.org/en/latest-news/switzerland-responsible-business-initiative-rejected-at-ballot-box/

Fogarty, D. (2019, September 25). Forest fires producing country-sized emissions, fuelling climate change. The Straits Times. https://www.straitstimes.com/world/forest-fires-producing-country-sized-emissions-fuelling-climate-change.

--

--

Kolumnar
Kolumnar

Published in Kolumnar

Kolumnar (Kolum untuk Nalar) adalah kanal media Serikat Mahasiswa Progresif Universitas Indonesia (Semar UI) bertujuan untuk membangun gagasan, pemikiran dan mewujudkannya dalam gerakan progresif sebagai langkah menuju pembebasan kaum tertindas.

Serikat Mahasiswa Progresif UI
Serikat Mahasiswa Progresif UI

Written by Serikat Mahasiswa Progresif UI

Memulai langkah pembebasan kaum tertindas dengan membangun gagasan dan gerakan progresif!