Serikat Mahasiswa Progresif UI
Kolumnar
Published in
7 min readSep 11, 2020

--

foto: Kumparan

Pakta Integritas UI: Tidak Berdasar dan Substansinya Tidak World Class

Oleh: Akang Riddler

Universitas Indonesia mengedarkan Pakta Integritas ke mahasiswa baru Unviersitas Indonesia angkatan 2020, yang salah satu poinnya adalah “menaati nilai-nilai dasar UI” yang salah satunya adalah “kepatuhan pada aturan”. Tapi kalau dibahas siapa yang layak untuk dituding melanggar nilai tersebut, menurut saya jawabannya adalah orang yang membuat dan mengedarkan pakta ini; mungkin rektorat atau entahlah siapa.

Taat pada peraturan sepatutnya tidak hanya dipahami sebagai, ada larangan ditaati bagi mahasiswa. Tetapi bagaimana otoritas kampus membuat peraturan atau perjanjian (jujur agak aneh kalau formatnya perjanjian, seperti jadi nasabah BRI rasanya). Jelasnya sebuah larangan itu harus dibuat dengan format yang sesuai peraturan, dan substansi yang sesuai pertutan juga tidak bisa sebebas-bebasnya rektorat untuk menjamin perlindungan hak-hak mahasiswa. Format dan prosedur yang benar, juga pada akhirnya menentukan validitas sebuah norma.

Lagipula memang Universitas Indonesia punya legitimasi untuk membuat pakta tersebut, dan apakah substansi dari Pakta Integritas tersebut sah secara hukum?

Pertama dari formatnya, Pakta?

Oke memang pakta integritas ada contohnya, yaitu Pakta Integritas yang ditandatangani Aparatur Sipil Negara. Namun, pakta tersebut merupakan pelaksanaan dari sebuah Peraturan yaitu Peraturan Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi №49 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Pakta Integritas di Lingkungan Kementerian/Lembaga dan Pemerintahan Daerah (https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5e1d72765547e/mengenal-pakta-integritas-dan-tujuannya). Jadi, sewajarnya suatu instansi pemerintah tidak mengedarkan pakta tanpa perintah suatu peraturan perundang-undangan.

Sementara “pakta” sendiri dipahami sebagai perjanjian internasional oleh KKBI dan Merriam Webster, sementara Cambridge dictionary punya definisi yang lebih luas sebagai “a formal agreement between two people or groups of people”. Pertanyaannya apakah Rektorat UI dapat mengatur mahasiswanya dengan pakta? Menurut saya tidak.

Peraturan internal UI yang valid berdasarkan Pasal 56 Statuta UI adalah peraturan perundang-undangan, Peraturan MWA, Peraturan Rektor, Peraturan Senat Akademis, Peraturan Dewan Guru Besar, dan Peraturan Dekan.

Peraturan Perundang-Undangan sendiri merujuk pada UUD 1945, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri.

Ada Pakta? Jawabannya tidak kan.

Jadi kalaupun kampus mau memberikan sanksi dalam bentuk apapun kepada mahasiswanya hanya bisa berdasarkan peraturan dengan format-format peraturan valid yang sudah disebutkan di atas.

Nah, bagaimana apabila Pakta tersebut dianggap sebagai perjanjian apakah dia jadi berlaku? Perjanjian memang berlaku selayaknya Undang-Undang berdasarkan asas Pacta Sunt Servanda.

Tapi Sebentar dulu.

Tidak semua perjanjian dapat memiliki kekuatan hukum, jadi tidak semua perjanjian. Meskipun ditandatangani dan mengikat para pihak. Secara umum perjanjian yang sah memiliki 4 syarat untuk dapat dinyatakan sebagai perjanjian yang sah: (1) Sepakat merdeka mereka yang mengikatkan dirinya; (2) Cakap untuk membuat suatu perjanjian; (3) mengenai suatu hal tertentu dan (4.) Suatu sebab yang halal.

Diatara ke empat syarat tersebut, setidaknya ada tiga yang dilanggar

Pertama, adalah syarat “sepakat”, yang dijelaskan Prof. Subekti S.H. sebagai, “Apa yang dikehendaki pihak yang satu dikehendaki juga oleh pihak yang lainnya.”, beliau menambahkan “Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan kesepakatan itu harus diberikan secara bebas”. Ketidakbebasan tersebut juga bisa dalam bentuk paksaan, rohani dan bukan paksaan badan saja. Dalam kasus ini, mahasiswa UI angkatan 2020, mungkin tidak sepenuhnya menghendaki pakta tersebut, namun terpaksa menandatangani untuk mencegah terhambatnya akses pendidikan, dengan demikian perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

Kedua dan ketiga adalah suatu sebab yang halal, dan mengenai suatu hal tertentu. Sederhananya syarat obyektif ini menghendaki suatu perjanjian harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kesusilaan, selain itu juga harus cukup jelas hak kewajiban para pihak. Permasalahannya klausa-klausa dalam Pakta yang diedarkan tidak memenuhi ketentuan tersebut.

Misalnya klausa, “Siap menjaga kesehatan fisik dan mental serta bertanggung jawab secara pribadi jika di kemudian hari mengalami gangguan kesehatan fisik dan/atau mental;” jelas-jelas klausa ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Kesehatan Jiwa mengamanatkan lembaga pendidikan memiliki kewajiban dalam mengupayakan kesehatan Jiwa. Sehingga, jelas bahwa Pakta yang diedarkan Universitas Indonesia merupakan upaya yang dilakukan kampus untuk menghindari kewajiban undang-undang. Tidak hanya itu, pertanggugnjawaban kampus atas kesehatan mental merupakan salah satu janji Rektor Universitas Indonesia yang dibuat pada proses pemilihannya. Lagi pula konsekuensinya juga aneh; apakah mahasiswa akan mendapatkan skorsing atau dikeluarkan apabila tidak dapat bertanggung jawab atas kesehatan mentalnya?

Lalu, klausa “Tidak terlibat dalam politik praktis yang mengganggu tatanan akademik dan bernegara;”. Tidak jelas apa yang dimaksud dengan politik praktis, apakah menggunakan kaos partai ke kampus adalah politik praktis? Lantas apa yang mengganggu tatanan akademik dan bernegara? Apakah mengundang pejabat seperti Luhut termasuk politik praktis atau tidak? kalau tidak bagaimana kalau yang diundang politisi PKS misalnya? Apakah Pemira politk praktis yang mengganggu kehidupan akademis; kan perebutan kekuasaan tuh, timsesnya pada begadang dan banyak negative campaign.

Lagipula, baik Undang-Undang HAM dan Undang-Undang Dasar juga telah menjamin hak untuk berpolitik, dan berperan dalam jalannya pemerintahan. Dengan demikian, klausa tersebut tentu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Hal sama juga berlaku untuk “larangan mencoreng nama baik pribadi dan institusi Universitas Indonesia di ruang luring dan daring,” batasannya tidak jelas. Misalnya; Apakah menerbitkan kebijakan mengenai biaya pendidikan tanpa prosedur yang sah, atau membuat Secure Parking tanpa Analsis Dampak Lalu-Lintas mencoreng nama baik kampus? tentu jawabannya tergantug siapa yang ditanya. Bagi mahasiswa memalukan melihat kampus sendiri melanggar peraturan, dan membuat kemacetan. Apakah memberikan kartu kuning ke presiden mencoreng nama baik kampus? Buat sebagian mahasiswa, iya, di lain pihak adapula yang bilang mati-matian hal tesebut patut diapresiasi. Dengan demikian, klausa tersebut tidak jelas hak dan kewajibannya, dan berpotensi melanggar hak untuk berekspesi di muka umum sehingga kembali bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Terakhir, klausa “Tidak melaksanakan dan/atau mengikuti kegiatan yang bersifat kaderisasi/orientasi studi/latihan/pertemuan yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa atau organisasi kemahasiswaan yang tidak mendapat izin resmi dari Pimpinan Fakultas dan/atau Pimpinan Universitas Indonesia;” adalah sebuah pelanggaran HAM.

“Kadirisasi/orientasi studi/latihan dan pertemuan merupakan pelaksanaan dari hak yang dijamin dalam Undang-Undang HAM dan Undang-Undang Dasark 1945. Bahkan larangan tersebut bertentangan dengan Pasal 28, 28C, dan 28F Undang-Undang Dasar 1945. Mengingat bahwa Pasal 56 Statuta UI “masih” mengakui keberlakukan peraturan perundang-undangan termasuk Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang HAM, maka Universitas Indonesia tidak punya alasan untuk melakukan pelanggaran hak terebut.

Permasalahan mengenai kaderisasi yang dipaksakan memang beberapa kali menjadi “concern” di berbagai kampus. Tetapi, yang seharusnya dilakukan adalah melarang para senior untuk memaksakan suatu kaderisasi dan sejenisnya, bukan melarang sepenuhnya kaderisasi yang tidak mendapat izin dari rektorat. Lagipula banyak lembaga yang tidak berada di bawah naungan rektorat bisa menawarkan lebih banyak hal dibandingkan organisasi di bawah rektorat, mulai dari jaringan, beasiswa, sampai kos-kosan gratis, kalau BEM mah boro-boro, nombok iye. Jadi kalau mau sama mau kenapa dipermasalahkan?

Berjanji untuk menerima sanksi akademis dan non-akademis selama menjadi mahasiswa juga merupakan hal yang sangat tidak masuk akal dan bertentangan dengan salah satu hak fundamental, yaitu hak untuk untuk membela diri dalam suatu sidang dalam Pasal 18 Undang-Undang HAM. Umumnya sanksi akademis berebentuk keputusan tata usaha negara yang dapat digugat ke PTUN, sementara seorang tersangka tentu berhak untuk membela dirinya dan membuktikan dirinya tidak bersalah di proses pengadilan yang sah.

Prof. Subekti, S.H sendiri menerangkan bahwa dengan tidak dipenuhinya syarat objektif yaitu “mengenai suatu hal tertentu” dan “suatu sebab yang halal” berakibat pada sebuah perjanjian batal demi hukum. Dengan tidak dipenuhinya syarat objektif berarti “dari semula tidak pernah dilakukan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan”.

Nah lebih lanjut, balik lagi ke peraturan UI yang valid untuk mengatur mahasiswanya tidak pernah melarang mahasiswanya untuk berorganisasi, berpolitik, maupun membatasi kaderisasi. Kalau tidak percaya cek saja Keputusan Rektor UI №0883/SK/R/UI/2011 tentang Kode Etik (http://eng.ui.ac.id/wp-content/uploads/SK-0883-2011.pdf), TAP MWA UI NO: 008/SK/MWA-UI/2004 tentang Tatib Kehidupan Kampus (http://sipma.ui.ac.id/files/dokumen/U_PENDIDIKAN_RISET_P2M/SK%20MWA%20TATIB%20KEHIDUPAN%20KAMPUS/2004-SK008%20PERUBAHAN%20TAP%20MWA%20UI%20TATIB%20KAMPUS.PDF), dan TAP MWA UI №005/SK/MWA-UI/2004 tentang Tatib Kampus UI (http://sipma.ui.ac.id/files/dokumen/U_PENDIDIKAN_RISET_P2M/SK%20MWA%20TATIB%20KEHIDUPAN%20KAMPUS/2004-SK005%20TATA%20TERTIB%20KEH%20KAMPUS-UI.PDF). Dengan demikian, kedua larangan tersebut adalah larangan yang mengada-ngada dan tidak berdasar dari Rektor.

Bahkan menurut Fahmi Ramadhan Firdaus, Pakta Integritas bersifat seremonial, dan formalitas (https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5e1d72765547e/mengenal-pakta-integritas-dan-tujuannya). Dalam pandangan penulis kalaupun ada, pakta integritas hanya menegaskan kembali berbagai peraturan-peraturan yang sudah ada, bukan justru “mengarang norma-norma baru”. Misalnya, adanya sanksi akademis karena penggunaan NAPZA adalah hal yang tidak salah karena diatur dalam TAP MWA, sementara larangan untuk kaderisasi, larangan politik praktis, dan kewajiban menerima sanksi akademis dan non akademis tidak memiliki landasan suber hukum yang valid.

Jadi apabila disimpulkan, pakta perjanjian yang diedarkan tersebut tidak dapat dianggap sebagai peraturan internal Universitas Indonesia yang valid. Kalaupun mau dianggap sebagai perjanjian, maka tidak dapat dianggap sebagai perjanjian yang sah karena dibuat dalam tekanan, berisi klausa-klausa yang tidak jelas, dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Beberapa norma seperti larangan NAPZA, kekerasan fisik, dan kekerasan seksual memang memiliki landasan yang valid karena diatur dalam TAP MWA tetang Tatib Kampus maupun peraturan perundang-undangan.

Beberapa norma seperti larangan konsumsi minuman berakohol sebenarnya tidak di larang berdasarkan peraturan perundang-undangan, namun diatur dalam TAP MWA tentang Tatib Kampus. Namun, yang perlu dikritisi adalah ketentuan dalam TAP MWA tentang Tatib Kampus karena “kehidupan kampus” hanya didefinisikan sebagai: “kegiatan yang berada di dalam atau di luar area Universitas Indonesia yang menggunaka nama atau atribut Universitas Indonesia”. Meskipun dalam tujuannya disebutkan: “Ketetapan Majelis Wati Amanat ini bertujuan mengatur perilaku setiap Warga Universitas lndonesia dalam setiap aktivitasnya agar tercipta ketertiban dan keamanan dalam lingkungan Universitas Indonesia”. Jadi, ya, memang agak kurang jelas cakupan dari peraturan tersebut, tetapi berdasarkan namanya peraturan tersebut hanya berisi larangan dan kewajiban dalam kehidupan kampus.

Namun, ada beberapa klausa-klausa “ghaib” yang tidak memiliki landasan hukum yang valid atau bahkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan seperti larangan politik praktis, kewajiban menerima sanksi akademis dan non-akademis, pembatasan kegiatan pengkaderan, dan lepasnya tanggung jawab kampus dari isu kehesehatan mental. Kembali lagi, pakta apabila dilihat sebagai sebuah kesepakatan, tidak dapat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan maupun peraturan internal UI. Pun, berdasarkan asas legalitas sanksi akademis hanya dapat dijatuhkan berdasarkan peraturan baik itu peraturan perundang-undangan maupun peraturan internal kampus.

Daripada membuat baliho besar, dan memaksakan mahasiswanya untuk menandatangani pakta perjanjian untuk menaati nilai-nilai UI. Lebih baik sebagai “guru” yang baik, Universitas Indonesia memberikan contoh, khususnya terkait ketentuan taat peraturan. Taat peraturan sepatutnya dipahami ketaatan pada prosedur pembentukan norma, pengakuan terhadap hak-hak orang lain, dan tidak sewenang-wenang untuk menetapkan kebijakan (atau perjanjian atau apalah itu).

Referensi

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang №12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang №18 Tahun 2014 tenang Kesehatan Jiwa

Undang-Undang №39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Peraturan Pemerintah №68 Tahun 2013 tentang Statuta Universitas Indonesia

TAP MWA Universitas Indonesia No: 008/SK/MWA-UI/2004 Tata Tertib Kehidupan Kampus Universitas Indonesia

SK Rektor Universitas Indonesia №0883 Tahun 2011 tentang Kode Etik Universitas Indonesia

Subekti, Hukum Perjanjian. Ed.1. Cet. 21. Jakarta: Intermasa, 2005

Ramadhan Fahmi, “Mengenal Pakta Integritas dan Tujuannya” https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5e1d72765547e/mengenal-pakta-integritas-dan-tujuannya, diakses 10 September 2020.

--

--

Serikat Mahasiswa Progresif UI
Kolumnar

Memulai langkah pembebasan kaum tertindas dengan membangun gagasan dan gerakan progresif!